Penurunan ”stunting” atau tengkes di Indonesia menjadi 14 persen pada 2024 bukan target mudah. Namun, hal ini harus segera dikejar karena tengkes tidak hanya memengaruhi pertumbuhan fisik, tetapi juga perkembangan otak.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mempunyai waktu kurang dari tiga tahun untuk mengejar target penurunan prevalensi stunting atau tengkes menjadi 14 persen pada 2024. Target itu tidak mudah karena prevalensi pada 2021 masih 24,4 persen. Dibutuhkan konvergensi intervensi lintas sektor untuk mencapai sasaran itu.
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat malanutrisi kronis. Kondisi ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan fisik, tetapi juga perkembangan otak.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian Probhoyekti mengatakan, penurunan tengkes dilakukan dengan intervensi spesifik dan sensitif. Strategi intervensi spesifik dikerjakan oleh Kemenkes dengan memperkuat kapasitas tenaga kesehatan dan kualitas program.
Program tersebut meliputi konseling dan promosi pemberian makanan bayi, suplementasi zat gizi mikro dan makro, serta pemantauan pertumbuhan. Selain itu, diperlukan perbaikan tata laksana gizi buruk, pelayanan imunisasi, serta pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita.
Sementara intervensi sensitif dilakukan oleh sektor lain dengan sasaran yang sama. ”Jadi, dibutuhkan konvergensi intervensi,” ujarnya dalam webinar KompasTalks bertema ”Bersama Cegah Stunting, Wujudkan Generasi Sehat di Masa Depan” yang digelar harian Kompas bersama Danone Indonesia, di Jakarta, Rabu (26/1/2022).
Kementerian Pertanian, misalnya, menyiapkan ketahanan pangan di tingkat keluarga. Sementara Kementerian Sosial turut menanggulangi persoalan tengkes dengan program kesejahteraannya. ”Hal ini dipantau oleh Kementerian Dalam Negeri untuk melibatkan pemerintah daerah,” ujarnya.
Dhian menuturkan, upaya menurunkan prevalensi tengkes bergantung pada inovasi pemda dengan mengedepankan kearifan lokal. Sebab, pendekatan antardaerah tidak bisa disamaratakan dengan metode yang sama.
Ia mencontohkan, penanganan tengkes di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dilakukan melalui kerja sama kelompok masyarakat dalam menyediakan air bersih. Sementara di Gorontalo, pangan lokal, seperti jagung dan ikan, dimaksimalkan untuk mendukung asupan gizi anak balita.
”Kuncinya, memberdayakan apa yang tersedia di sekitar kita. Tantangan di daerah adalah disparitas. Ada yang mampu, ada yang tidak,” katanya.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, diperlukan program darurat untuk mengejar target penurunan tengkes menjadi 14 persen pada 2024. Upaya itu dimulai dengan merinci data potensi tengkes.
Hasto menyebutkan, terdapat 5 juta perempuan yang hamil dan melahirkan di Indonesia setiap tahun. Dengan begitu, dalam 2,5 tahun ke depan, diperkirakan terdapat 12,5 juta bayi yang lahir.
”Ini yang harus dihadang. Bukan dicegah untuk lahir, tetapi jangan sampai ada yang stunting baru,” ucapnya.
Oleh sebab itu, langkah pencegahan menjadi sangat penting. Hasto mengatakan, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Kementerian Agama untuk mengintervensi calon pengantin pada tiga bulan sebelum pernikahan.
Intervensi itu di antaranya pemeriksaan lingkar lengan atas, berat badan, indeks massa tubuh, dan hemoglobin. Menurut rencana, hal ini akan dijadikan program wajib yang dimasukkan dalam aplikasi Elektronik Siap Nikah dan Hamil (Elsimil).
Hasto mengatakan, angka kelahiran di Indonesia berkisar 12.000-16.000 bayi per hari. Sekitar 22 persen mempunyai panjang tubuh kurang dari 48 sentimeter dan 11 persen dengan berat badan tidak sampai 2,5 kilogram.
Dibutuhkan program khusus untuk perempuan yang akan dan sedang hamil serta bayi pada 1.000 hari pertama kehidupan. BKKBN menyiapkan 200.000 tim pendamping keluarga untuk memastikan asupan gizi memadai.
Setiap tim terdiri dari bidan, anggota PKK, dan penyuluh BKKBN. ”Ini langkah membuat program konkret. Waktu tinggal 2,5 tahun lagi. Harus dipetakan (anak) balita yang berpotensi stunting sehingga dapat dicegah,” ujarnya.
Dokter spesialis anak yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Damayanti Rusli Sjarif, mengatakan, tengkes tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kemiskinan keluarga. Dalam beberapa kasus, hal itu juga disebabkan ketidaktahuan orangtua mengenai asupan gizi yang tepat untuk bayi.
Damayanti mengajak semua pihak untuk mengedukasi masyarakat dalam mencegah tengkes. Sebab, selain mengganggu pertumbuhan tubuh, tengkes juga menghambat perkembangan otak sehingga memengaruhi kemampuan kognitif anak.
”Masa depan kita ada di sini. (Anak) Balita yang sekarang akan menjadi pemimpin di masa mendatang sehingga masalah ini (tengkes) harus segera ditangani,” ucapnya.