Pekerja Migran, ”Pelita” Baru bagi Sesama
Nasib pekerja migran Indonesia tak selalu berakhir merana. Ada yang berhasil di perantauan dan pulang membawa kesejahteraan, bahkan ada pula yang menjadi ”pelita” bagi sesama.
Tiga lantai bangunan pesantren NU Terpadu Baitussalam berdiri kokoh di tengah perkampungan di Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, di tempat itu, ratusan santri dari keluarga yang tak mampu dapat belajar dan mengaji berkat donasi dari pekerja migran Indonesia dari berbagai negara.
Pesantren itu bernama Baitussalam yang berarti rumah kedamaian. Di dalamnya ada dua sekolah, yakni SMP NU Terpadu dan Madrasah Aliyah (MA) setara SMA. Seperti halnya pondok pesantren pada umumnya, setiap pagi para santri mengikuti pelajaran sekolah dan pada sore hari mereka belajar mengaji. Tempat tinggal, makan, dan kebutuhan pendidikan disediakan di sini.
Pesantren ini gratis bagi para santri yatim piatu, mereka bisa tinggal di asrama dan bersekolah dengan bebas. Adapun bagi orangtua yang tak mampu, mereka tetap bisa menitipkan anaknya untuk bersekolah sekaligus berasrama dengan biaya seiklasnya. Total saat ini ada 190-an santri yang mondok di tempat itu.
Tempat pendidikan itu berada dalam naungan Yayasan Yatim Piatu Baitusalam yang donasinya diperoleh dari dana sosial para keluarga pekerja migran yang tergabung dalam Keluarga Muslim Indonesia-Taiwan asal Banyuwangi. Setiap kali para pekerja ini mendapatkan gaji, mereka menyisihkan uangnya sebagai sedekah untuk dikirim ke pesantren ini.
Pendirian Yayasan sekolah itu diawali tahun 2014. Saat itu, Krisna Hadi, pekerja migran yang baru pulang dari Taiwan dan rekan-rekannya, prihatin melihat banyak anak-anak di desanya tak bersekolah. Sebagian anak-anak yang tak sekolah itu bahkan anak dari pekerja migran sendiri. Mereka tak bisa sekolah karena tak mampu, sebagian lain karena tak ada yang mengasuh.
Kegelisahan itu pun menggerakkan Krisna dan rekan-rekannya untuk memfasilitasi anak-anak itu masuk ke pesantren dan sekolah. Kebetulan di daerah itu sudah ada pesantren kecil yang dipimpin oleh KH Abbas Almansyur. Lewat jejaring komunitas para pekerja migran, mereka pun mengabarkan rencana untuk membangun yayasan di pesantren itu agar lebih banyak anak-anak di Desa Tampo, desa kantong TKI, bisa mengakses sekolah.
”Awalnya kami tak berharap muluk, cukup untuk membangun tempat sederhana. Namun, ternyata responsnya luar biasa. Dari teman-teman pekerja migran di Taiwan saja, kami mendapatkan Rp 1,2 miliar,” kata Krisna.
Krisna terharu karena ia tahu betul, bekerja di negeri seberang tidaklah mudah: waktu kerja yang ketat, biaya hidup tinggi, mengirim gaji untuk keluarga di Indonesia, dan masih harus menabung untuk masa depan. Namun, rekan-rekannya masih ada keleluasaan hati untuk berbagi. ”Saya bekerja di Taiwan mulai tahun 2006. Tiga tahun di sana, hidup irit. Saya yakin teman-teman pun demikian, tetapi mereka berlonggar rezeki,” katanya.
Baca Juga: Bertaruh Nyawa demi Mimpi Hidup yang Lebih Baik
Gerakan sosial itu pun terus berlanjut. Donaturnya tak lagi hanya dari para pekerja Taiwan, tetapi bertambah dari Hong Kong, Malaysia, dan pekerja di negara lain yang bertalian dalam komunitas mereka di media sosial. Pada 2016, saat Kompas datang berkunjung, yayasan itu sudah mampu membangun mushala dan menyekolahkan seratusan siswa secara gratis. Kini, 5 tahun setelahnya, bangunan asrama sudah berdiri kokoh tiga lantai, mushala untuk santri laki-laki dan perempuan sudah dipisah, dan mereka sudah membeli dua petak tanah untuk tempat santri belajar berkebun.
Dari teman-teman pekerja migran di Taiwan saja, kami mendapatkan Rp 1,2 miliar.
Pelita yang sama juga dinyalakan Ima Matul Maisaroh, mantan pekerja migran yang menjadi korban perbudakan di AS. Ima yang asli Kabupaten Malang mendirikan Mentari (Mentariusa.org) sebuah yayasan antiperdagangan manusia pada 2014.
Bersama Shandra Woworuntu, sesama penyintas perdagangan manusia, yayasannya membantu warga Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia. Dalam perkembangannya, yayasannya pun banyak membantu warga negara lain yang meminta advokasi.
Berbeda dengan Krisna, Ima memiliki kisah pahit karena ia memilih jalur ilegal. Perempuan itu ”terdampar” di AS sebagai korban perdagangan manusia. Pada 1997, ia ditawari bekerja sebagai pramuwisma di AS dengan gaji 150 dollar AS per bulan (sekitar Rp 600.000 berdasarkan kurs rata-rata saat itu). Ia pun menerima tawaran pekerjaan itu dan mengurungkan niatnya berangkat ke Hong Kong sebagai pekerja migran.
Saat berangkat ke AS, usia Ima baru 17 tahun. Ia menyongsong ”American Dream” dengan sukacita. Kenyataan yang diperoleh sungguh berbeda. Majikannya memperlakukan dirinya bak budak. Ia mendapat perlakuan kasar dan dipaksa bekerja lebih dari 12 jam tanpa digaji selama tiga tahun (1997-2000).
Suatu hari, ia menulis surat dengan bahasa Inggris seadanya kepada tetangganya untuk meminta tolong. Sang tetangga yang baik itu mengulurkan tangan dan menyelamatkannya. Ia kemudian dibawa ke kantor lembaga penghapusan perbudakan, Coalition to Abolish Slavery and Trafficking (CAST).
Di lembaga itu, Ima tidak hanya mendapatkan perlindungan, tetapi juga pengetahuan dan aneka keterampilan. Pikirannya terbuka tentang banyak hal, termasuk praktik perdagangan manusia di banyak negara.
Pada 2005, perempuan—yang sekolah formal hanya sampai kelas I SMA—itu memutuskan menjadi aktivis yang melawan perdagangan manusia. Ia bergabung dengan CAST dan menduduki jabatan koordinator korban yang selamat dari perdagangan manusia. Ia membawahkan lebih dari 200 korban dari 24 negara.
Baca Juga: Tantangan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Sepuluh tahun kemudian, Ima menjadi anggota Dewan Penasihat Gedung Putih (Advisory Council of Human Trafficking United States of America). Di Dewan Penasihat, ia menangani dua dari lima bidang, yakni anggaran dan kewaspadaan.
Kisah keberhasilan yang sederhana dialami oleh Nirul (44), mantan pekerja Taiwan asal Jajag, Banyuwangi, Jawa Timur. Nirul menginspirasi pekerja migran lainnya yang balik kampung untuk berwirausaha. Dengan bekal tabungannya di Taiwan dan kemampuan memasak aneka macam menu Taiwan selama 16 tahun, ia pun membuka warung jajanan khas Taiwan.
Menu utamanya Taiwan chipay atau ayam krispi ala Taiwan dan cencu nai cha atau semacam bubble tea. Warungnya menjadi jujugan orang yang ingin mencicipi makanan Taiwan di Banyuwangi. ”Dulu, juri saya anak-anak majikan saya. Mereka adalah juri paling jujur. Setiap kali mereka bilang tak enak, saya ulang lagi masak, sampai mereka bilang enaak banget ha-ha-ha,” katanya.
Lega menjadi Legal
Para pekerja migran masing-masing memliki kisah pahit dan manis tersendiri. Namun, kisah pahit sebenarnya bisa diminimalisasi jika mereka menjadi pekerja migran lewat jalur legal. Selama menjadi pekerja migran, Krisna tak kesulitan apa pun. Jaminan sosial dan kesejahteraan sudah ada. Saat pulang pun, ia merasa aman dan nyaman karena semua sudah dijamin oleh perusahaan yang memberangkatkan dia. Tak perlu pula kucing-kucingan dengan polisi dan petugas imigrasi. Kondisi yang aman dan terjamin itulah yang membuat dia bisa memikirkan hal lain, yakni kesejahteraan lingkungan sekitarnya.
Terakhir kami menangani kasus pekerja migran ilegal yang meninggal di Rusia. Biaya pemulangannya mencapai Rp 250 juta. Tak ada yang bisa menanggung. Akhirnya almarhum dimakamkan di Rusia.
Beberapa rekannya sesama pekerja migran pun mengakui lega lewat jalur legal karena memudahkan walau harus melalui berbagai tahapan sebelum berangkat. Nirul yang pernah menempuh jalur ilegal dan legal merasakan betul perbedaannya. ”Saat dibawa oleh perusahaan resmi, saya tenang, semua diurus. Bisa mendapatkan majikan dengan gaji yang baik. Gaji saya tahun 2001 bisa 10.000 NT atau setara Rp 3 juta. Namun, saat masuk jalur ilegal, saya tak bisa mendapatkan pekerjaan layak. Jadi, pelipat kertas dengan upah 500 NT pun saya jalani,” katanya.
Tidak hanya itu, ia pun kena tipu dari rekannya sendiri yang mengaku bisa memperpanjang dokumen visanya. Belum lagi ia harus kucing-kucingan dengan petugas dan bertahun-tahun tak ada jaminan sosial serta kesehatan.
Baca Juga: Mengadu ke Jokowi Rokaya Akhirnya Pulang dari Irak
Di Banyuwangi, menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabuaten Banyuwangi Abdul Kadir, pekerja yang berangkat lewat jalur legal biasanya berakhir dengan kondisi baik, seperti kisah Krisna Hadi dan rekan-rekannya. Kalaupun mereka mendapatkan halangan atau musibah, sistem support sudah terbentuk. Ada jaminan kesehatan bagi yang sakit dan santunan bagi yang meninggal. ”kata Kadir".
Namun, tantangannya, pemberangkatan lewat jalur legal ternyata tak murah, tak juga mudah. Aturan pemberangkatan sering berganti-ganti. Untuk bisa ke Taiwan, menurut Krisna, seorang pekerja harus memilliki modal Rp 40 juta-Rp 50 juta. Betapa mahalnya biaya bagi mereka yang rata-rata bercita-cita mengubah nasib keluarga, bahkan kampung halamannya.
Baca Juga: Lembaran Buram PMI Tak Kunjung Berakhir