Kerja Bersama Menjaga Bahasa Daerah Tetap Banggakan Bangsa
Bahasa daerah adalah kekayaan negeri yang beragam ini. Namun, bukan perkara mudah menjaganya tetap hidup di tengah masyarakat penuturnya.
Pernyataan anggota DPR, Arteria Dahlan, yang memprotes penggunaan bahasa Sunda dalam rapat kerja mengusik sejumlah pihak. Belakangan, Arteria meminta maaf atas pernyataannya itu.
Akan tetapi, di tengah situasi ini, semua pihak diharapkan memetik pelajaran penting. Sulit dimungkiri, upaya menjaga eksistensi bahasa daerah dan segala turunannya di negeri ini memang kerap tak mudah dilakukan. Namun, dengan ragam usaha, bahasa daerah tetap bisa membanggakan bangsa.
Terkait penyataan Arteria itu, pada pertemuan di salah satu ruang Perpustakaan Ajip Rosidi, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (19/1/2022), beragam pernyataan sikap muncul. Lebih dari 20 pegiat budaya Sunda merespons pernyataan Arteria Dahlan yang viral di media sosial.
Dengan ditolong oleh seni yang mulai populer dan adaptif, bahasa daerah akan tetap lestari karena masih memiliki penggunanya.
Senin (17/1/2022), saat rapat kerja Komisi III DPR dengan Jaksa Agung, Arteria yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ikut membahas penggunaan bahasa daerah dalam rapat kejaksaan tinggi. ”Ada kritik sedikit, ada kajati (kepala kejaksaan tinggi) yang dalam raker (rapat kerja) menggunakan bahasa Sunda. Ganti, Pak, itu. Kita ini Indonesia, kalau pakai bahasa Sunda, orang takut, ngomong apa dan sebagainya. Kami mohon sekali ini dilakukan tindakan tegas,” ujarnya dalam rapat kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Pernyataan tersebut lantas ramai di media sosial pada hari yang sama karena rapat itu bisa diakses melalui akun resmi Youtube DPR. Berbagai pihak menyayangkan ulah wakil rakyat yang seharusnya menjunjung tinggi keberagaman dan kebinekaan.
Ketua Umum Perkumpulan Pendidik Bahasa Daerah Indonesia Encep Ridwan yang ikut dalam pertemuan di Bandung itu pun mengungkapkan kegundahannya. ”Hayu urang sasarengan rojongan dukung basa Sunda (Ayo kita bersama-sama dukung bahasa Sunda),” ujarnya.
Kader PDI-P sekaligus penutur bahasa Sunda, TB Hasanuddin, turut menyayangkan sikap berlebihan koleganya itu. Perbuatan tersebut tidak mencerminkan sikap partai yang menjunjung tinggi kebinekaan. ”Saya pun sebagai sesama kader merasa terpukul. Aing (Saya) Sunda!” ujar Hasanuddin berapi-api.
Kekecewaan Encep dan para pemerhati budaya Sunda ini berujung pada pernyataan sikap yang ditujukan kepada PDI-P. Mereka kemudian tergabung dalam Koalisi Masyarakat Penutur Bahasa Sunda.
”Seharusnya dia (Arteria) paham, masyarakat Sunda tersakiti dengan perbuatan itu. Kami meminta PDI-P menarik Arteria Dahlan dari anggota DPR kalau PDI-P memikirkan masa depannya di Jabar dan tatar Sunda,” ujar Koordinator Koalisi Masyarakat Penutur Bahasa Sunda Cecep Burdansyah.
Baca juga : Hilang Bahasa, Hilang Pengetahuan
Perhatian pemerintah
Pernyataan Arteria itu juga sangat disayangkan peneliti linguistik dari Universitas Padjadjaran, Gugun Gunardi. Dia berpendapat, pernyataan itu keluar sebagai konsekuensi dari mereka yang tidak begitu mengenal bahasa Sunda.
Namun, lanjut Gugun, di balik semua kontroversi ini, terlihat bahasa daerah justru tidak begitu dikenal dan populer. Pernyataan serupa bisa saja disampaikan pihak-pihak lain.
”Bahasa daerah masih sering ditemui di daerah-daerah dan pedesaan, tetapi sulit di daerah perkotaan, seperti Kota Bandung yang multietnis. Selain itu, adanya perkawinan silang dengan daerah lain juga turut memengaruhi berkurangnya penggunaan bahasa ibu,” ujarnya.
Ke depan, dukungan berbagai pihak sangat diperlukan. Ia mencontohkan, dukungan pada kesenian Sunda yang pasti turut menentukan kelestarian bahasanya. Gugun menuturkan, adaptasi dari para pegiat seni Sunda dibutuhkan agar bahasa serta budaya Sunda tetap memiliki penuturnya.
”Bahasa Sunda tidak akan hilang dan akan berkembang sehingga orang-orang akan mendengar kembali. Perkembangannya dengan budaya populer juga menjadi bentuk adaptasi agar tetap digunakan,” ucapnya.
Para pemegang kebijakan, lanjutnya, juga diminta memberikan ruang berkarya lebih bagi pegiat seni daerah. ”Di sekolah juga perlu diajarkan bahasa daerah. Dengan ditolong oleh seni yang mulai populer dan adaptif, bahasa daerah akan tetap lestari karena masih memiliki penggunanya. Bahasa Sunda tidak akan hilang,” paparnya.
Pernyataan itu tidak berlebihan. Di Jabar, masih banyak penjaga eksistensi bahasa ibu dan turunannya yang terpinggirkan, terutama secara ekonomi. Jika sudah begitu, bahasa daerah juga terancam.
Dalam sejumlah perbincangan yang dilakukan dengan beberapa seniman sisingaan, kesenian asal Jabar, misalnya, banyak pelakunya hidup dibelit kemiskinan. Untuk biaya hidup sehari-hari, mereka harus bekerja sebagai buruh kasar hingga tukang becak dengan penghasilan minim. Kondisi itu rentan memutus regenerasi kesenian ini ke depan.
Atau, kisah seniman pembuat topeng di Cirebon yang masih susah payah memasarkan karyanya. Tidak hanya itu, mereka juga terus menantikan generasi yang lebih muda menjaga kearifan lokal Nusantara ini tidak lekas punah.
Komunitas menjaga bahasa
Beruntung, sejumlah komunitas masih giat berjuang di Jabar menjaga bahasa ibu dan karya turunannya. Di Cirebon, pelestarian bahasa daerah malah dilakukan salah satunya oleh komunitas Sketsa Pribumi.
”Kami membuat buku, puisi, dan cerpen yang semuanya berbahasa Cirebon. Kami juga masuk ke beberapa kampus untuk mementaskan teater berbahasa Cirebon,” kata Imam Emje (31), pendiri Sketsa Pribumi, yang fokus dalam pelestarian bahasa Cirebon.
Komunitas yang dibentuk pada 2009 itu pernah membuat kamus bahasa Cirebon daring. Namun, karena keterbatasan keuangan, laman itu tak lagi aktif. Pihaknya juga bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Cirebon. Tahun 2020, misalnya, pihaknya menggelar diskusi Basa Cerbon.
”Sekarang, saya lagi menulis LKS (lembar kerja siswa) Bahasa Cirebon untuk SD dan SMP. Bahasa Cirebon masuk dalam mata pelajaran muatan lokal,” ungkapnya.
Ketika ada pejabat memprotes penggunaan bahasa daerah, Imam dan komunitasnya tetap berjuang melestarikannya. ”Ada pergeseran budaya ke kota. Bahasa daerah dianggap kuno, kolot,” ucapnya.
Padahal, ruang publik seperti forum masyarakat merupakan wadah menjaga bahasa daerah. Protes pejabat soal bahasa daerah, katanya, semakin mengancam keberadaan bahasa ibu yang kondisinya di ujung tanduk. Ia tak bisa membayangkan berapa banyak bahasa daerah hilang.
”Bahasa daerah ini harkat dan martabat kita. Ketika bahasa daerah hilang, unsur budaya yang lain juga ikut hilang, misalnya tradisi yang menggunakan bahasa daerah,” ujarnya. Sementara itu, tradisi mengajarkan nilai-nilai pengetahuan lokal.
Berdasarkan hasil penelitian serta pemetaan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2019, dari 718 bahasa daerah di Indonesia, sebanyak 11 bahasa daerah dinyatakan punah (Kompas, 25/10/2019).
Dari 11 bahasa daerah yang punah itu, sembilan bahasa berasal dari Maluku dan Maluku Utara, yakni bahasa Kajeli/Kayeli, bahasa Piru, bahasa Moksela, bahasa Palumata, bahasa Ternateno, bahasa Hukumina, bahasa Hoti, bahasa Serua, dan bahasa Nila. Dua bahasa daerah lainnya berasal dari Papua, yakni bahasa Tandia dan bahasa Mawes.
Baca juga : Kompas yang Menyatukan
Berselancar di internet
Dalam skala lebih besar, peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional (Poé Basa IndungInternasional) yang setiap tahun digelar di Jabar menjadi oase menyejukan. Februari 2021, Yayasan Kebudayaan Rancage bersama sejumlah lembaga pegiat budaya Sunda kembali menggelar acara ini. Tujuannya, bentuk ikhtiar menjaga bahasa Sunda dengan beragam hal menyenangkan sesuai zaman.
Di sana, digelar Pasanggiri Tarucing Cakra dina Internet (Perlombaan Teka-teki Silang di Internet), Olimpiade Basa Sunda, hingga Saemabara Ngarang Carpon keur Guru Basa Sunda.
Koordinator AcaraPoé Basa Indung Internasional 2021 Miftahul Malik memaparkan, acara ini rutin digelar setiap tahun sejak 2006. Namun, di tengah pandemi, tahun 2021 tidak ada keramaian warga yang antusias melihat pertunjukan atau mengikuti beragam lomba yang digelar.
”Konsepnya terasa sesuai dengan tema kegiatan ini, yaitu ’Mekarkeun Basa Sunda dina Alam Digital’ (Mengembangkan Bahasa Sunda di Dunia Digital),” katanya.
Keluwesan bahasa daerah mengikuti zaman juga terlihat dalam Anugerah Sastera Rancage 2021 yang kembali digagas Yayasan Kebudayaan Rancage. Selain kian fasih menunggangi era digital, karya sastra enggan mati akibat pandemi Covid-19.
Digelar sejak 1989, ajang ini konsisten mengapresiasi beragam karya sastra dari sejumlah daerah. Tahun 2021 adalah yang ke-33 kali untuk sastra Sunda, ke-27 kali untuk sastra Jawa, ke-23 kali untuk sastra Bali, ke-6 kali untuk sastra Lampung, dan ke-2 kali untuk sastra Madura.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, perkembangan sastra tetap menggembirakan. Banyak karya yang muncul tetap tangguh memelihara tradisi, menyiasati pergeseran platform digital, dan memastikan relevansi dengan atmosfer kemasyarakatan di masa pandemi.
Simak kumpulan sajak Keblueks: Kumpulan Sajak Sunda Digital dari Wahyu Heriyadi. Sajak-sajaknya dapat dibaca dengan memindai QR Code di halaman buku. Karya itu ingin mengajak penikmat sastra menggunakan platform digital baru tanpa meninggalkan kertas.
Kiprah Dadan Sutisna dalam digitalisasi teks berbahasa Sunda juga sangat membantunya menyelesaikan novel Sasalad: Sempalan Épidémi di Tatar Garut. Data masa lalu seperti wabah sampar di Garut hingga penumpasan dukun santet diramu menguatkan jalan cerita dalam karyanya.
”Sepanjang masih ada buku sastra daerah yang terbit, kami akan terus menyelenggarakan hadiah ini. Ini tanda cinta kami memajukan kehidupan bahasa daerah melalui sastra dari berbagai wilayah di Indonesia,” katanya.
Lolos festival dunia
Terkini, kabar gembira datang dari dunia film. Film Before, Now & Then (Nana) menjadi film Indonesia pertama yang lolos seleksi kompetisi utama 72nd Berlin International Film Festival. Film Nana disutradarai Kamila Andini dengan produser Jais Darga.
Selain menjadi film dengan sutradara perempuan pertama dari Asia Tenggara yang pernah lolos dalam kompetisi utama Festival Film Berlin, film ini menggunakan bahasa Sunda dengan durasi panjang. ”Kabar ini teh kado istimewa buat Ibu. Beliau kini sudah tenang di alam jauh. Saya terharu dan menangis saat mendengar pengumuman dari Berlin,” tutur Jais (Kompas, 21/1/2022).
Dalam buku Jais Darga Namaku, yang ditulis Ahda Imran, selain bertutur tentang kisah hidup Jais, juga mencuplik kisah hidup Raden Nana Sunani. Nana tak lain adalah ibunda Jais Darga.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil ikut mengucapkan selamat atas pencapaian ini. ”Selamat untuk semua pemain dan kru pendukung yang terlibat di produksi film ini. Selamat untuk film Indonesia!” katanya.
Ujian terhadap eksistensi bahasa daerah ke depan bakal tidak akan habisnya. Semuanya harus dijadikan pelajaran dan semangat untuk terus menjaganya menjadi kekayaan negeri yang beragam ini.
Baca juga : 1.500 Bahasa Lokal Terancam Hilang Abad Ini