Tenunan Kisah Didiet Maulana
Alih-alih menekuni batik yang sudah dikenalnya sedari kecil, Didiet justru menjajal mengolah tenun ikat. Bertepatan dengan ibunya yang kebetulan membawa kain dari Nusa Tenggara dan ingin dijahit menjadi baju.
Jalan hidup seseorang tak pernah bisa ditebak. Meyakini tidak ada yang sia-sia dalam hidup, membawa perancang mode Didiet Maulana (39) pada tenunan kisah yang menuntunnya ke sebuah muara. Pelestarian budaya yang nyemanak, merangkul yang muda.
”Ini enggak boleh lho. Itu enggak boleh lho. Kebanyakan enggak boleh, terus gimana budaya bisa hidup?” ujar Didiet, yang belum lama ini merayakan satu dekade berkarya dengan meluncurkan lini Griya, saat berjumpa secara virtual pada Jumat (8/10/2021).
Dalam perjalanannya lewat selembar kain yang membuahkan lini Ikat Indonesia by Didiet Maulana, diakuinya tidak mudah. Dari upaya menciptakan pasar, tantangan kepercayaan diri hingga banyaknya pakem dalam mengolah wastra yang semula membuatnya bingung harus bagaimana. Namun, berbekal langkah nekat yang diambilnya sekitar 10 tahun lalu, Didiet tiba pada titik kehidupannya kini.
Kedekatannya dengan kain sebenarnya sudah terjadi ketika melihat nenek kakeknya rutin menggunakan kain Indonesia, yakni batik. Bahkan, sang nenek sangat telaten merawatnya dari meratus, mencuci dengan lerak, hingga tetap terjaga sampai larut malam untuk membuat mewiron jarik yang dimilikinya. Kultur yang hidup di tengah keluarganya juga menyuburkan rasa ingin tahunya terhadap kain.
”Di keluarga banyak acara, banyak upacara. Saudara berapa bulanan ada upacara. Ulang tahun harus bikin ini itu. Dari situ timbul pertanyaan. Menarik juga bahwa ternyata tiap barang yang dipakai itu ada cerita, ada kesadaran dalam menggunakannya. Jadi, momen waktu kecil itu memang yang membentuk aku sekarang,” ucap Didiet.
Akan tetapi, ketertarikannya terhadap kain tadi belum tersalurkan. Hingga ketika batik coba diakui negara lain dan banyak orang yang mengomel, Didiet terpantik berkarya. Pilihannya jatuh untuk memulai lini baju siap pakai dengan mengangkat kain tradisional Indonesia yang menyasar anak muda yang berada pada usia 25-35 tahun.
Alih-alih menekuni batik yang sudah dikenalnya sedari kecil, Didiet justru menjajal mengolah tenun ikat. Bertepatan dengan ibunya yang kebetulan membawa kain dari Nusa Tenggara dan ingin dijahit menjadi baju. Didiet pun pelan belajar dan tertantang mengolah kain yang pada saat itu—sekitar 2009-2010—belum banyak dikenakan.
“Mencoba dan ternyata seru. Eksplorasi pelan-pelan, enggak terlalu penting untuk tahu semuanya di awal. Yang penting pelan-pelan, tapi dilakukan terus, babystep. Ternyata dapat filosofinya banyak banget. Semakin tahu pakemnya, semakin bisa menghormati, dan semakin bebas untuk berkreasi,” kata Didiet.
Menurut dia, hambatan yang terjadi dalam upaya pelestarian budaya, bahkan regenerasi, kepada yang muda karena minimnya paparan, tetapi banyak aturan yang menjadikannya sulit dijangkau oleh anak muda. Bukan kebudayaannya yang salah, melainkan orang-orang yang mengerti kebudayaan kadang merasa paling tahu sehingga anak muda merasa takut dan berjarak ketika ingin mencoba tahu.
Melihat fenomena yang jamak terjadi, Didiet memanfaatkan akun media sosialnya untuk melancarkan pengetahuan yang diperolehnya secara bertahap dari perjalanannya mengenali beragam wastra. Dari jenis motif hingga makna dan cerita yang terkandung, ia bagikan kepada pengikutnya di sosial media.
”Memang harus walk the talk. Jangan omdo (omong doang)! Di awal, jiwanya masih liar. ya bablas aja. Pelan-pelan akhirnya melihat, kalau memang ingin melakukan usaha di sana, ya harus menghormati pakem yang sehingga jalannya selaras,” ujar Didiet.
Strategi perlu untuk menjaga momentum ini. Gen Z ini kayaknya memang memiliki atensi yang besar. Anak muda sekarang ke mal atau ke pasar berkain.
Geliat anak muda yang kini makin akrab berkain merupakan sinyal positif. Apalagi para anak muda memulainya dengan tertarik dan suka hingga mengubahnya menjadi tren yang berpotensi menjadi penyelamat kebudayaan. Akses informasi dari berbagai media juga membuat anak muda lebih mudah terpapar dan belajar. Meski demikian, semua ini harus dikelola dengan strategi yang tepat agar tidak hanya viral, tetapi kemudian meredup.
”Strategi perlu untuk menjaga momentum ini. Gen Z ini kayaknya memang memiliki atensi yang besar. Anak muda sekarang ke mal atau ke pasar berkain. Kemarin, lihat di Sabang, makan di Claypot Popo, cowoknya pada pakai kain. Cara pakai kain dibahas di Tik-tok. Ini hal yang sangat baik karena tiap wastra itu punya energi untuk bertransformasi dan jadi relevan,” ujar lulusan Teknik Arsitektur Universitas Parahyangan ini.
Baca juga : William Wongso, Diplomasi dan Kekuatan Bumbu-bumbu
Bukan kebetulan
Menyinggung latar belakang pendidikannya, Didiet mengakui, sempat diremehkan. Namun, Didiet memilih terus berjalan meski sempat terguncang. Didiet pun mengambil kelas menjahit selama tiga bulan di awal kariernya yang dimulai dari sebuah garasi karena dirinya belum bisa menjahit saat itu.
Tak disangka, pendidikannya di teknik arsitektur membantu cara berpikirnya dalam berkarya. Ilmu yang mendasar, seperti membuat konsep, mendesain konstruksi, dan memulai semuanya dari fondasi terimplementasi dengan baik dan memperkaya tiap karya yang dikerjakannya dari Ikat, Svarna, Sarupa, hingga Griya. ”Jadi, tidak ada yang kebetulan,” katanya.
Seiring berkembang dan bertambahnya usia bisnis yang dijalaninya, ia pun menggaet para anak muda untuk masuk ke timnya untuk bersinergi dengan nilai dan ilmu yang dipegangnya itu. Untuk tetap relevan dengan zaman, Didiet meminjam kacamata para anak muda dan tren yang sedang digandrungi saat ini. Sebab, target pasarnya masih berada pada kisaran 25-35 tahun, bahkan lebih muda dari 18-35 tahun. Sementara itu, dirinya sudah melampaui target pasarnya.
Menggandeng anak muda dalam timnya merupakan salah satu strategi juga agar momentum anak muda bangga berkain Indonesia tak padam.
Tidak hanya memikirkan pasarnya, Didiet yang juga rutin melakukan pelatihan dan lokakarya kepada para perajin dan pelaku UMKM ini makin gencar bergerak. Terlebih kepada para perajin yang kini sudah beralih pada generasi kedua dan ketiganya yang umumnya berusia muda. Lewat platform #jadiginibelajarbersama, sekitar 12.000 perajin wastra menjadi lulusannya. Salah satu yang diajarkan adalah seputar pemasaran secara digital yang perlu dikuasai.
Ia juga menginisiasi gerakan yang muda yang menenun dengan bekerja bersama beberapa perajin dan pemerintah daerah. Para anak muda ini dibekali ilmu dan diajak berbagi keseruan menenun di media sosial yang nyatanya cukup efektif membawa rekan-rekannya untuk tergerak belajar. Di sini juga diberikan gambaran bahwa ekosistem ekonominya terbangun. Ada jenjang karier dan penghasilan dari menjadi perajin wastra.
Baca juga : Harmoni Islam dan Budaya "Kiai Kampung"
Dengan demikian, keberadaan wastra ini tetap lestari. Memang, ada ketakutan kini pupusnya wastra karena tak lagi ada penerusnya. Anak muda mampu memasarkan dan mengenakan, tetapi untuk memproduksi, bahkan membesut motif, hanya segelintir. Untuk itu, gerakan yang muda yang menenun berupaya meregenerasi.
Pendidikan formal, seperti menenun dan membatik yang tersertifikasi, pun menjadi impiannya bagi anak-anak muda. ”Ini bukan lagi mengimbau, melainkan pemerintah harus memasukkan ini ke dalam kurikulum atau menyediakan sekolah khusus atau SMK batik atau tenun. Ini untuk membuat jadi lestari,” ucap Didiet.
Harapan Didiet ini tak muluk. Karena, siapa lagi yang akan menjaga budaya di negeri ini kalau bukan kita yang tinggal di sini. Hal yang semestinya dilakukan tidak hanya lewat jargon, tetapi juga aksi nyata.
Didiet sudah melangkah jauh. Teruslah melangkah.
Didiet Maulana
Lahir: Jakarta, 18 Januari 1982
Pendidikan: Teknik Arsitektur Universitas Parahyangan
Pengalaman:
- Production team in Talent and Artist Department MTV Indonesia
- Marketing and Communication Head FJ Benjamin Group Retail(2005)
- Mendirikan IKAT Indonesia by Didiet Maulana (2011)
Karya, antara lain:
- Official Designer for Puteri Indonesia 2012, 2013, 2014, 2015, 2018
- Kolaborasi dengan Barbie untuk membuat Barbie Loves Indonesia (2013)
- Official Designer for APEC 2013
- Kolaborasi dengan TUMI untuk mendesain tasmerchandise Grammy Awards 2016
Penghargaan, antara lain:
- The It Designer 2012 by Prestige Indonesia Magazine
- 40 under 40s Fashion Enterpreneur by Prestige Indonesia Magazine and Mercedes-Benz Indonesia
- Hot List 2013 by DAMAN Magazine
- Best Dress in 2012 by Herworld Magazine