Wiliam Wongso, Diplomasi dan Kekuatan Bumbu-bumbu
Betapa tak terbendungnya semangat seorang William Wongso. Pandemi Covid-19 pun seolah tak sanggup menghentikan sepak terjangnya untuk terus memperkenalkan budaya kuliner Tanah Air ke seluruh dunia.
Bumbu adalah kunci untuk membuka pintu-pintu diplomasi kuliner Indonesia ke seluruh dunia. Lewat bumbu, William Wongso (74) membuat budaya kuliner Tanah Air mendapat tempat layak di panggung dunia.
Betapa tak terbendungnya semangat seorang William Wongso. Pandemi Covid-19 pun seolah tak sanggup menghentikan sepak terjangnya untuk terus memperkenalkan budaya kuliner Tanah Air ke seluruh dunia.
Saat pandemi mengungkung aktivitas sosial manusia, ia berpindah ke platform daring. Dia banyak melakukan IG Live, Zoom meeting, webinar, serta membuat acara memasak atau makan-makan secara virtual.
”Surprise, ya, banyak hal baru yang dulu enggak pernah terpikirkan di bidang kuliner. Selama pandemi tahu-tahu timbul. Aku bisa sehari melanglang tiga benua (secara virtual), IG Live dengan expert-expert di seluruh dunia. Exciting banget,” kata William dengan mata berbinar, Kamis (14/10/2021), di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Penjelasan itu menggambarkan betapa padatnya jadwal William meski acara-acara luring sementara waktu harus ditunda hingga situasi membaik. Salah satunya acara tur kuliner rombongan dari Amerika yang membayar paket seharga 4.900 dollar AS per orang untuk menikmati kuliner di Jakarta, Medan, Lombok, hingga Bali.
Dengan penuh semangat, dia menceritakan aktivitas daringnya yang sangat banyak. Mengobrol ditemani sepiring lumpia Semarang dan tahu goreng. ”Kalau online, aku bisa bikin tandem masak di Indonesia dan AS. Yang ikut 40 orang tersebar di seluruh AS. Catatannya, aku punya partner di sana, tak suruh cek, ada bumbu Indonesia apa di sana. Patokanku, kan, bumbu. Lalu bikin market list bahan apa yang dia harus beli,” kata William.
Di hari-H, semua peserta siap di depan gawai masing-masing. Dipandu William, mereka memasak bersama. ”Masak selesai dalam 30 menit,” imbuhnya.
Awal tahun ini, William menjadi tuan rumah untuk acara yang digagas Kedutaan AS, memperkenalkan kuliner Indonesia kepada 50 keluarga diplomat yang baru tiba di Indonesia. Setiap kali, ada enam jenis makanan dengan tema berbeda. Makanan-makanan itu dikirim ke alamat para diplomat, lalu mereka mencobanya bersama-sama secara daring bersama William.
”Kerjanya cuma duduk manis di depan screen, enggak usah ke mana-mana,” katanya. Hal serupa dia lakukan dengan acara dan peserta berbeda di negara lain, seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Untuk pengelola restoran, William melakukannya dengan Restoran Garam Merica di Melbourne, Australia. Dia melakukan mentoring kepada restoran itu menggunakan bumbu-bumbu Indonesia yang dibeli langsung dari Indonesia. Proyek ini merupakan program rintisan Indonesia Spice Up The World yang tengah dikembangkan William bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
”Kalau bumbu semua Indonesia, dampaknya ke pertanian, ke devisa negara. Indonesia, kan, kalah di situnya. Sekarang udah dipicu, mereka ngirim bukan saset, tapi kiloan,” tutur William.
Untuk proyek itu, William membina sejumlah ibu-ibu di Aceh dan Sumatera Utara. Bumbu masakan Aceh harus dibuat oleh orang Aceh, begitu pun bumbu Batak, harus dibuat oleh orang Batak.
”Aku enggak percaya kalau bumbu Batak dibikin oleh orang Jawa. Harus otentik. Jadi saling ’membumbui’. Aceh membumbui Jawa, Jawa memperkenalkan bumbu ke Aceh, supaya kita kenal lewat makanan, bersatu, ndak ribut aja soal politik,” kata William.
Rekaman rasa
Berpuluh tahun menekuni dunia kuliner, awalnya tak pernah terlintas di benak William untuk berada di sana. Lulus SMA, berbeda dengan adik-adiknya yang bersekolah di Eropa, William memilih tak meneruskan sekolah. Padahal, ayahnya ingin dia sekolah. Sang ayah, Wong See Hwa, berprofesi sebagai kamerawan pertama Berita Film Indonesia sekaligus fotografer Istana era Presiden Soekarno.
William akhirnya mencoba beberapa bidang, mulai dari siaran radio, periklanan, percetakan, biro travel, fotografi, hingga kuliner. Ia akhirnya fokus di dunia kuliner setelah membuka bakery pada 1977.
Secara otodidak, William belajar seluk-beluk dunia kuliner ke berbagai tempat hingga jauh ke Eropa. ”Comot-comot. Bukan sekolah yang 1-2 tahun seperti anak-anak sekarang. Ini karena kita punya toko aja, jadi belajar,” imbuh William yang sejak kecil dibebaskan untuk mencicip berbagai jenis rasa makanan oleh sang ayah.
Rekaman tentang aneka rasa makanan itu membuat William selalu penasaran. Ia pun bertualang di dunia kuliner hingga jauh. Awal tahun 1980-an, setiap kali bepergian ke luar negeri, William selalu membuat daftar panjang untuk makan di berbagai tempat dan bertemu dengan chef ternama untuk mengobrol.
”Faktor kesempatan untuk tasting ini penting. Ini yang selalu aku ingatkan sama anak-anak sekarang. Kamu enggak akan jadi seorang ahli kalau enggak punya lidah yang tajem. Enggak cuma lidah tajem, tapi juga wawasan soal rasa,” kata William.
Pengalamannya bertualang rasa ke berbagai tempat di berbagai belahan dunia itu kemudian membuat William sadar, betapa berbedanya budaya kuliner di luar negeri dengan budaya kuliner di negerinya sendiri. Budaya kuliner Indonesia masih ”sunyi”.
”Mungkin 20 tahun lalu aku mulai sadar. Indonesia, kok, adem ayem budaya kulinernya. (Padahal) Semua orang itu mempertegas budaya kulinernya masing-masing. Bukan sekadar enak dan enak sekali,” kata William.
William banyak merekam soal tradisi kuliner dari pasar-pasar tradisional di seluruh belahan dunia. Saat ini setidaknya ada koleksi foto-foto dokumetasi tentang pasar tradisional selama 40 tahun yang dia ambil sendiri setiap kali datang ke sebuah tempat.
”Buat aku, pasar itu unik. Dari orangnya, produknya, dan storytelling-nya. Kan, mereka yang jualan itu bisa 2-3 turunan, enggak jualan macem-macem kayak supermarket. Jadi, udah mendarah daging,” ungkap William.
Dia berharap, sebagai salah satu aspek penting kehidupan di Indonesia, pasar-pasar tradisional tidak beralih fungsi menjadi gedung pencakar langit seperti yang terjadi salah satunya di Shanghai, China.
Hal lain adalah soal pentingnya rambu-rambu bagi dunia kuliner di Tanah Air. Tanpa rambu-rambu yang tepat, kuliner di Tanah Air bisa terbawa arus dan malah menjadi kacau. ”Bikin fusion, bikin makanan Indonesia dikasih kembang, itu kan tren plating. Kalau enggak sekolah di SMK, kompetisi bikin rendang dikasih parsley. Dari mana orang Minang pakai parsley. Terus tomato roast. Itu bukan kita,” tutur William.
Dia tak melarang hal-hal seperti itu. Namun, alangkah baiknya apabila kreasi yang dihasilkan lebih orisinal, lebih Indonesia. ”Karena kita (Indonesia) belum dikenal,” katanya.
Pendidikan kuliner
Agar Indonesia sejajar dengan negara lain di bidang kuliner, menurut William, diperlukan peran dari seluruh masyarakat, tentu juga pemerintah. William mengingatkan soal kurikulum pendidikan kuliner yang hingga kini belum mendapat perhatian serius.
”Jangan mengabaikan budaya kuliner kita. Bayangin kalau nanti 10 tahun lagi anak-anak Indonesia, makanan Indonesia juga enggak ngerti,” ucapnya.
Pendidikan kuliner penting karena memasak bukan pekerjaan robot. Memasak adalah kultur. ”Enggak bisa masukin program terus suruh baca. Aku pernah bilang di forum di AS, you can google everything, but you can’t google taste,” katanya.
Pendidikan kuliner di Indonesia, menurut William. masih di bawah dasar. ”Ada tata boga. Tapi, lihat aja kurikulumnya. Kenapa sampai sekarang kita mau cari yang menguasai, mendalami kopi, misalnya, susah. Dubes-dubes kalau mau berangkat suka minta tolong koki dibawa ke sana, nyatanya susah. Banyak yang sekolah di luar negeri, café society, lihat rawon jijik,” ujar William mengkritik.
Makanan Indonesia, lanjutnya, terbuka untuk diberi sentuhan modern. Dia mencontohkan menu brongkos yang dia sajikan di sesi gastronomy diplomacy set menu di Perancis dengan judul rawon espreso. ”Cangkir espreso yang kecil itu tak isi rawon dan tak bikin vegetarian enggak pake stock, cuma air sama kluwek,” katanya.
William juga memimpikan adanya sebuah pusat kuliner agar memudahkan setiap orang yang ingin belajar tentang kuliner Indonesia. Dia mencontohkan Korea yang telah memiliki institusi tersebut sebagai upaya untuk mempromosikan kuliner mereka secara intens, termasuk dengan bahan baku atau bumbu-bumbu mereka. Begitu pun negara-negara lain, seperti Vietnam dan India.
Perjalanan tentu masih panjang. ”Ya, harus dimulai biarpun berat,” kata William.
William W Wongso
Lahir: Malang, Jawa Timur, 12 April 1947
Pendidikan formal: SMA Kolase Santo Yusuf Malang (1965)
Pendidikan di bidang kuliner (antara lain):
- Observer di East Sydney Technical College, Baking Program (1978)
- Hands on professional training untuk bakery, pastry, chocolate & ice cream di Belanda, Jerman, Perancis, dan Italia (1983-1987)
- Sommelier Program California Wine Education Program, University of California, di Davis. Cochran Fellowship Program United States Department of Agriculture (September 1992)
- French Culinary & Gastronomic Program, Arts Culinaires et de L’hotellerie, Lyon France, Chateau de Chailly, sur-Armacon, Puilly-en-Auxois, Burgundy France
Organisasi (antara lain):
- President of Chaine des Rotisseurs, Indonesia Chapter an International Gourmet Association, Paris (1986-1993)
- Director of Culinary Institution Indonesia (1989-1992)
- Chairman of Jakarta Wine Society (1991-1994)
- Council Member of Indonesian Hotel & Restaurant Association/PHRI (2002-2010)
- Founder of ACMI (Aku Cinta Makanan Indonesia) (2012-sekarang)
Acara TV:
- Kulinaria (2003)
- Ceritarasa William Wongso/Cooking Adventure with William Wongso (2006-2009)
Buku (antara lain) :
- Periplus Mini Cookbook Series (Indonesian Home Cooking, Western Sumatra & Indonesian Dessert)
- Flavors of Indonesia
Penghargaan (antara lain):
- Chevalier dans L’Ordre du Merite Agricole (18 September 2001)
- Anugerah Universitas Gadjah Mada (Februari 2016)
- The Best Cookbook of the Year 2017 (28 Mei 2017)