Sebagai sesama warga kota, kisah tentang gelandangan juga memantik rasa empati. Salah satunya tecermin dalam komentar netizen di Instagram @hariankompas bersamaan dengan liputan khusus ”Kompas” tentang gelandangan.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rasanya hampir semua dari kita pernah bersua dengan gelandangan atau pemulung di Jakarta. Entah berpapasan dengan mereka saat berada di jalan, ataupun ketika mereka melintas di kawasan permukiman kita. Barangkali juga kita melihat dari kejauhan saat petugas merazia penyandang masalah kesejahteraan sosial ini.
Sebagian dari warga kota spontan merogoh kocek dan mengulurkan sejumlah rupiah, makanan, ataupun barang untuk sesama kita ini. Ada juga yang menyediakan diri atau dana untuk mengorganisasi sejumlah kegiatan sosial, seperti pembagian makan gratis.
Kedermawanan warga kota, tak bisa dimungkiri, membuat sejumlah gelandangan merasa terbantu, terlebih di situasi sulit seperti sekarang.
Firmansyah (50) alias Imang, tunawisma yang baru setahun hidup di Ibu Kota, misalnya, sempat mengandalkan kebaikan hati orang untuk bertahan hidup di awal pandemi.
Gelandangan yang kerap menggantungkan nafkah sebagai kuli panggul ini ikut merasakan sepinya aktivitas di pasar dan pusat belanja saat ini. Bahkan, ia sempat berhari-hari tidak makan lantaran tak ada orang memakai jasanya.
Apa yang dialami Imang ini juga dirasakan oleh banyak gelandangan yang hidup di jalanan. Situasi ini memantik rasa solidaritas di kalangan warga kota.
Ikut merasakan
Empati ini, antara lain, tergambar dalam jawaban netizen saat Kompas via akun Instagram @hariankompas mengajukan pertanyaan: ”Menurut Anda, apa yang dibutuhkan dalam menangani gelandangan?”
Berikut beberapa komentar yang masuk:
@nyowak_ : ”Membuat platform atau wadah donasi untuk gelandangan. Sebarluaskan.”
@rosaliasilaban: ”Program ’nasi gratis’ yang dibuat dalam 1 tempat seperti yogya. Ada 1 tempat beratap tempat tinggalnya.”
@mario.lowleverage : ”Empati dan kepedulian.”
Selain tergugah untuk memberikan donasi yang bisa langsung terasa, sejumlah warga memikirkan ”bekal” yang lebih berkelanjutan, yakni kemandirian para gelandangan, termasuk di sini adalah peran pemerintah untuk memelihara fakir miskin, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Ini beberapa jawaban yang diterima Kompas:
@sola_ahmad23 : ”Belikan rumah..bikinkan usaha sembako di rumahnya.”
@ilhm.skt : ”Memberikan lapangan pekerjaan yang sesuai.”
@iiihsaal : ”Peran negara yang lebih humanis.”
@eugeniatri03 : ”Short term, middle term, and long term (pemerintah daerah supaya penduduk tidak pindah ke kota).”
@ivoalnora : ”Lapangan pekerjaan & sanggar belajar keterampilan dgn santunan modal usaha di awal.”
@bonadore : ”Memberantas akar permasalahannya: kemiskinan.”
@indrawdjayaa : ”Dipindahkan ke sebuah pulau yang layak.”
Banyaknya komentar yang masuk ke harian Kompas memberikan gambaran kepedulian warga kota atas nasib gelandangan yang mengais hidup di sela-sela harum ekonomi kota.
Senin hingga Rabu ini, liputan tentang gelandangan akan diulas di harian Kompas, KompasTV, dan Kompas.com. Semoga saja pemerintah mendengar dan menindaklanjuti persoalan gelandangan ini.