Detik-detik Mengenang Kerendahhatian Seorang Jakob Oetama
Pak Jakob selalu menyapa kami, selalu menanyakan, ”Bagaimana kabarnya, Bung?” Sebagai bawahan, saya merasa tenteram. Dia seperti sosok seorang bapak yang mengelus dan mengayomi anaknya.
Oleh
DIV/SHR/SPW/DAN/SKA/FRD/FAI/ERK
·4 menit baca
Anen (55), loper koran di Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat, sudah sejak usia tiga tahun mengalami gangguan penglihatan. Namun, Anen bersyukur, pekerjaannya sebagai loper koran mampu menghidupi keluarganya.
Meski kondisi keuangannya kini semakin sulit, dia tetap merasa harus berterima kasih karena punya penghidupan dari berjualan harian Kompas sejak 1983. Anen tak mengenal Jakob Oetama. Namun, kabar meninggalnya pendiri harian Kompas itu tak urung membuatnya teringat betapa rezeki dari berjualan koran membuatnya mensyukuri hidup.
”Di masa lalu, saya bisa membiayai anak hingga kuliah dan membangun rumah dari berjualan koran. Meski tidak begitu mengenal pendiri Kompas, saya sangat berterima kasih karena koran selalu ada,” ujar Anen, Kamis (10/9/2020).
Banyak orang di luar Kompas memandang Jakob berjasa besar. Ahmad Sukri (52), warga yang berpuluh tahun tinggal di lingkungan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, merasakan jasa itu dalam bentuk pertolongan saat warga sedang kesusahan.
Pada tahun 1998 hingga 2000-an, ada bantuan berupa bahan kebutuhan pokok dan bantuan tunai yang kerap dibagikan untuk warga sekitar kantor Kompas.
Pernah, saat musibah banjir besar tahun 1998, Ahmad dimintai bantuan oleh Kompas untuk mendukung dapur umum korban terdampak. Dia pun bersedia melakukannya karena mengingat sosok Jakob Oetama yang berjasa besar bagi warga sekitar.
”Saya berpikir, sosok Jakob Oetama dengan Kompas saja mau bantu korban musibah. Jadi, ketika diminta, saat itu saya jadi merasa tergerak. Intinya, saling bantu agar warga tidak kesusahan,” tuturnya.
Tercerahkan
Itu pula yang dirasakan Lilis (46) yang tergerak melayat jenazah Jakob sebelum dikebumikan. Meski belum pernah bertemu dan mengenal Jakob, perempuan yang menjadi agen koran itu mengaku tergerak melayat sosok di balik Kompas yang dikenalnya selalu memberitakan isu kemanusiaan.
”Saya banyak belajar dan tercerahkan oleh tulisan Kompas yang sangat perhatian dengan orang kecil seperti saya,” ujar warga Jakarta Barat tersebut.
Bagi orang dalam Kompas Gramedia pun, sosok Jakob adalah teladan kehidupan. Pensiunan bagian percetakan, Suwadji Sudarsono, kemarin, datang seorang diri ke Gedung Kompas Gramedia dengan menenteng foto dirinya bersama Jakob. Di foto itu, Suwadji bersama tiga orang lainnya berdandan dengan karakter punakawan.
Berkaus hitam yang dibalut rompi denim usang abu-abu, celana jins biru, masker kain hitam, dan kartu identitas purnakaryawan berwarna kuning yang disematkan di dada, pria beruban itu datang melayat.
”Saya begini enggak pakai rasio, tetapi hati yang omong. ’Kamu kalau enggak pakai foto, enggak bisa masuk’. Jadi, kayaknya sudah diatur,” ujar Suwadji (67).
Suwadji, yang tidak pernah kuliah, menjadi pegawai percetakan Kompas Gramedia pada 1976-2007. Pertemuannya dengan Jakob tidak hanya ketika ia dan rekan kerjanya menampilkan hiburan wayang orang pada ulang tahun ke-54 Jakob.
Ia mengaku pernah mendapatkan ucapan terima kasih secara langsung ketika membantu perusahaan bekerja sama dengan perusahaan dan institusi lain melalui kegiatan olahraga di kantor. ”Terima kasih, ya, Mas. Anda juga membantu perusahaan lewat olahraga,” katanya mengulang ucapan Jakob kepadanya.
Sejak saat itu, pria asal Madiun, Jawa Timur, ini menghormati Jakob sebagai pemimpin yang rendah hati.
Sejak saat itu, pria asal Madiun, Jawa Timur, ini menghormati Jakob sebagai pemimpin yang rendah hati.
Pemimpin langka
Kerendahhatian Jakob juga dirasakan karyawan percetakan lainnya. Sulaeman (46) masih mengenang momen ketika dirinya diajak berbicara langsung dengan pemimpinnya itu belasan tahun lalu. ”Waktu itu, kami baru ada kenaikan uang makan harian. Lalu, suatu hari Bapak pernah berbicara langsung kepada saya, ’Habis makan, Mas? Bagaimana, apa uang makan yang diberikan sudah cukup?’,” kata karyawan yang bekerja sejak 1996 tersebut.
Perhatian itu membuatnya terenyuh dan merasakan kepedulian Jakob. Menurut dia, pemimpin yang mau memperhatikan keadaan karyawan kecil seperti dirinya terbilang langka. ”Itu sangat luar biasa bagi saya,” ujarnya sambil sedikit terisak.
Berpulangnya Jakob juga meninggalkan kesedihan bagi Sarju (60), sopir keluarga Jakob. Mata Sarju berkaca-kaca saat prosesi misa pelepasan jenazah. Kamis pagi itu, dia mengantar sanak keluarga Jakob dari tempat persemayaman menuju pusara mendiang tokoh pers nasional tersebut di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Sarju terharu, di pengujung hidup seorang tokoh bangsa, dirinya dipercaya sebagai sopir yang mengantarkan keluarga. Baginya, kepercayaan itu adalah penghormatan besar seumur hidup selama mengabdi untuk keluarga Jakob.
”Saya merasa terhormat. Sejak 1980, saya bekerja untuk keluarga Pak Jakob. Saya bersyukur bisa menjadi sopirnya, lalu kini turut mengantar ’kepergian’ beliau,” ungkapnya.
Kehangatan sosok Jakob juga dirasakan betul oleh karyawan di bagian satuan pengamanan, seperti Yosep Kurniawan. Baginya, kepergian mendiang Jakob meninggalkan rasa pedih yang begitu dalam. ”Pak Jakob selalu menyapa kami, selalu menanyakan, ’Bagaimana kabarnya, Bung?’ Sebagai bawahan, saya merasa tenteram, seperti sosok seorang bapak yang mengelus dan mengayomi anaknya,” ucap Yosep.
Pak Jakob selalu menyapa kami, selalu menanyakan, ”Bagaimana kabarnya, Bung?”
Pengalaman Sarju, Yosep, dan banyak orang kecil lainnya mungkin mewakili rasa hormat saat melepas kepergian Jakob. Kepergiannya tak hanya menyisakan duka bagi orang-orang besar, tetapi juga untuk rakyat kecil yang hidupnya bergantung pada keberadaan harian Kompas, monumen abadi peninggalan Jakob Oetama.