Api Jakob Oetama yang Terus Menyala di Lereng Menoreh
Sosok Jakob Oetama meninggalkan kenangan tak terlupakan di benak kawan-kawan lamanya di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Mereka mengenang Jakob sebagai sosok sederhana dan murah hati.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Jauh di mata dekat di hati. Sekalipun lama tinggal di Jakarta, almarhum Jakob Oetama, pendiri harian Kompas, terus menjaga hubungan baik dengan kerabat dan rekan-rekan lamanya di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di lereng perbukitan Menoreh, beragam perhatian Jakob terus dikenang dan menjadi memori kebajikan.
Jakob Oetama tutup usia pada Rabu (9/9/2020) di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, pada usia 88 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Kamis (10/9/2020). Ia lahir di Dusun Jowahan, Desa Wanurejo, yang berjarak hanya sekitar 500 meter dari kompleks Candi Borobudur.
Dani Syailendra (60), warga Desa Borobudur, mengatakan, ibunya, almarhum Maria Theresia Sutresia, adalah teman baik Jakob Oetama semasa keduanya tinggal di Kecamatan Borobudur. Dani juga mengenal Jakob karena dirinya sering ikut ibunya bepergian.
Meski tahu Jakob adalah teman baik ibunya, Dani terkejut saat tahu almarhum juga sangat memperhatikannya. Hal itu dirasakannya saat menerima bungkusan kado besar dari Jakob pada hari pernikahannya, 31 Desember 1988.
Setelah dibuka, bungkusan besar itu berisi sebuah kompor gas. Yang membuat Dani sangat terharu karena di dalamnya terdapat tulisan tangan, pesan kepada dirinya agar membangun keluarga dengan sebaik-baiknya.
”Bangunlah keluarga Kristiani yang baik dan teruslah berusaha agar kompor ini menyala terus,” ujar Dani mengutip pesan Jakob, saat ditemui di rumahnya di Desa Borobudur, Kamis (10/9/2020).
Kerap bertemu dengan Jakob saat di Jakarta, Dani tahu Jakob terbiasa menyampaikan segala sesuatu secara tersirat. Dengan membaca pesan tersebut, dia paham Jakob ingin memberikan semangat agar dirinya terus berusaha dan bekerja demi keluarga.
Dengan membaca pesan tersebut, dia paham Jakob ingin memberikan semangat agar dirinya terus berusaha dan bekerja demi keluarga.
Dari cerita almarhum ibu dan anggota keluarga yang lain, Jakob dan keluarga, dahulu tinggal di Dusun Jowahan, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang kurang baik, Jakob sempat berusaha menambah penghasilan dengan bekerja, membantu pekerjaan dari Nitiharjan, kakek Dani yang saat itu menjadi lurah Borobudur.
Perhatian sama pernah dirasakan AS Murtini Kandar (70), anak dari tokoh dalang Borobudur, Joyokandar. Keluarga Joyokandar masih merupakan kerabat dari Nitiharjan yang juga berteman baik dengan Jakob.
Hingga saat ini, Murtini mengaku dirinya tidak pernah lupa bahwa pada hari pernikahannya pada tahun 1988, Jakob pernah mengirimkan ucapan selamat lewat telegram kepada ibunya. ”Karena memang ketika itu belum ada media lain, maka ketika itu beliau (Jakob Oetama) mengirimkan pesan tercepat melalui telegram,” ujarnya.
Ucapan selamat tersebut bahkan masih disusul kiriman uang dari Jakob kepada kakak laki-lakinya, yang ditunjuk sebagai penyelenggara hajatan.
Tidak saja kepada Murtini, perhatian Jakob juga terus berlanjut kepada keponakannya, atau anak-anak dari kakaknya. Tidak hanya datang ke acara resepsi, Jakob bahkan juga memberikan hadiah kulkas kepada salah satu keponakannya.
Murtini yang sempat melihat Jakob dua kali datang pada acara resepsi dua orang keponakannya mengatakan, Jakob adalah sosok yang sangat sederhana dan tidak banyak bicara.
”Biasanya, dia hanya datang, memasukkan sumbangan, dan hanya selanjutnya pergi begitu. Dia selalu bilang, kalian tidak perlu repot memikirkan makan saya bagaimana,” ujarnya.
Tidak hanya pada kawan lama dan anak-anaknya, Jakob juga murah hati serta perhatian terhadap anak-anak dari Suraparngat, pemilik rumah tempat Jakob dan keluarga sempat mengontrak rumah di Jowahan. Menurut Rohadi (57), anak Suraparngat, saat terakhir bertemu sekitar tahun 1970, Jakob yang saat itu sudah pindah ke Yogyakarta, sesekali masih mampir dan memberinya uang jajan.
”Ketika itu, Pak Jakob sudah mengajar sebagai guru dan saya masih duduk di bangku SD,” ujarnya.
Semangat perjuangan untuk total dalam berkarya dan mencari nafkah juga ditularkan Jakob kepada para sahabatnya di desa. Saat sudah mendirikan perusahaan, Jakob pun tetap menjaga integritasnya. Salah satu hal masih dikenang Dani Syailendra hingga kini.
Ketika itu, Dani sempat kesulitan mencari pekerjaan dan pernah mengungkapkan keinginannya bekerja di Kompas Gramedia, perusahaan yang didirikan Jakob. Namun, permintaan itu ditolak Jakob secara halus.
”Ketika itu, Oom Jakob bilang, di satu sisi, dia merasa harus menggaji saya besar karena merasa tidak enak dengan ibu saya. Namun, di sisi lain, dia pun merasa kurang enak karena gaji besar itu nantinya membuat dia dinilai tidak adil oleh karyawan-karyawan lain yang lebih senior,” kenang Dani.
Dani memahami pernyataan tersebut dan menangkap pesan bahwa Jakob ingin agar dirinya bekerja dan berusaha sendiri terlebih dahulu. ”Sebagai sosok yang juga pernah menjadi guru, Oom Jakob cenderung ingin mendidik dengan memberikan kail, bukan ikannya langsung,” ujarnya.
Setiap kali tetirah ke Borobudur, Dani mengenang, Jakob selalu mampir ke rumahnya. Kunjungan ke rumahnya itu terakhir kali terjadi pada 2004.
Dalam kesempatan apa pun, dia pun selalu teringat bahwa Jakob adalah sosok yang sangat sederhana. ”Dia selalu berpakaian sederhana. Biasa saja dan kerap pergi ke sana-kemari dengan mengenakan sandal,” ujarnya.
Di Jakarta, juga telah terbentuk Paguyuban Warga Borobudur Jakarta, di mana Jakob juga bergabung di dalamnya. Sekalipun tidak bisa aktif mengikuti kegiatan, Jakob selalu berupaya membantu dan memfasilitasi apa pun kebutuhan paguyuban.
”Menurut cerita ibu saya dulu, kalau paguyuban perlu ruang pertemuan, maka Oom Jakob akan langsung mempersilakan untuk memakai salah satu hotel milik Kompas Gramedia Group. Ketika perlu bantuan barang dan berbagai peralatan, tiba-tiba saja Oom Jakob langsung mengirimkan barang yang dibutuhkan,” ujar Dani. Ibunda Dani sempat menjabat sebagai Ketua Paguyuban Warga Borobudur Jakarta pada 1972-1989.
Tak bisa dimungkiri, Borobudur memang selalu istimewa di benak Jakob. Maidar Soetomo (61), istri almarhum Ariswara Soetomo, budayawan dan penulis yang sering menulis buku terbitan Gramedia mengatakan, dahulu, saat beberapa kali menemani suaminya mengurus royalti buku di Jakarta, dia sempat bertemu dengan Jakob.
Karena kebetulan Ariswara merupakan kerabat dari keluarga Nitiharjan dan juga sering menulis buku tentang Borobudur, Ariswara dan Jakob juga sering mengobrol tentang Borobudur. ”Dia (Jakob) sering bertanya tentang kondisi Borobudur dan meminta suami saya untuk menulis lebih banyak hal lagi tentang Borobudur,” ujarnya.
Dia (Jakob) sering bertanya tentang kondisi Borobudur dan meminta suami saya untuk menulis lebih banyak hal lagi tentang Borobudur.
Saat kebetulan tidak sibuk, Jakob juga sering mengajak Ariswara dan keluarga makan bersama di Jakarta. Tidak hanya itu, dia juga kerap memberi buku-buku pada anak-anak ataupun keponakan almarhum Ariswara.
Rekaman memori kebajikan Jakob Oetama di jiwa para sahabatnya di kampung tak mungkin dilupakan. Dari sebuah kampung kecil di lereng Menoreh, api Jakob Oetama selalu menyala dan ditularkan kepada kawan, sesama, dan bangsanya.