Banyak pemikiran dan pandangan jurnalistik yang dilahirkan Jakob Oetama. Kekayaan itu abadi hingga kini dan menjadi pedoman bagi banyak jurnalis.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
Pendiri Kompas Jakob Oetama (88) berpulang, Rabu (9/9/2020). Pemikirannya tentang jurnalisme berbuah dua gelar doktor kehormatan, penghargaan yang dia terima dengan sikap tahu diri. Bagi Jakob Oetama, jurnalisme lebih kompleks dari sekadar menyampaikan fakta. Lebih dari itu, jurnalisme harus mencerahkan publik.
”Mengapa saya. Mengapa bukan rekan-rekan yang lain? Disertai pernyataan itu, kehormatan ini saya terima dengan sikap tahu diri noblesse oblige, kehormatan itu membawa tanggung jawab,” demikian Jakob menutup pidato bertajuk ”Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna”.
Risalah setebal 21 halaman itu merupakan pidato promosi Jakob untuk memperoleh gelar doctor honoris causa (HC) di bidang komunikasi dari Universitas Gadjah mada, Kamis (17/4/2003) di Yogyakarta. Jakob memaparkan dua kondisi: apakah jurnalis hanya melaporkan fakta atau memberi gambaran menyeluruh tentang fakta tersebut.
Jakob lebih condong pada pilihan kedua. Kerja jurnalistik bukan sekadar melaporkan fakta menurut urutan kejadiannya, bukan fakta secara linier, melainkan fakta yang mencakup. Laporannya disertai latar belakang, proses, dan riwayat. Ada usaha untuk mencari korelasinya dengan hal lain. Kemudian, diberi interpretasi atas dasar interaksi fakta dan latar belakang.
”Dengan cara itu, berita bukan sekadar informasi tentang fakta. Berita sekaligus menyajikan akan arti dan makna peristiwa,” ujarnya.
The search of meaning dan the production of meaning. Menghadirkan konten semacam inilah yang menjadi pekerjaan rumah dan tantangan media ke depan. Dalam praktiknya, jurnalisme makna melampaui jurnalisme obyektif. Mengutip Prof De Volde, ahli etika media dari Universitas Leuven, Belgia, Jakob menyebutnya sebagai obyektivitas yang subyektif.
Subjektivitas yang dimaksud tidak berangkat dari suka dan tidak suka, prasangka, apalagi kepentingan pribadi dan partisan. Menurut Jakob, subyektif berarti secara serius, secara jujur, secara benar, dan secara profesional mencoba mencari tahu secara lengkap mengapa peristiwa terjadi serta apa arti dan maknanya.
Laporan jurnalistik bermakna membutuhkan wartawan yang berpikir dan merasa, yang rasional sekaligus sensitif, yang berdedikasi kepada dunia obyektif di luar ”sana” dan kepada dunia subyektif di dalam ”sini”. Sikap dan cara kerja yang dibutuhkan adalah cara kerja bebas dan independen tetapi disertai pertimbangan akal sehat, kepekaan, serta komitmen.
Ini tak lepas dari gemblengan dan suasana batin tempat jurnalis bekerja. Di, Kompas, humanisme transendental menjadi pegangan. Humanisme transendental terkait dengan realitas kemanusiaan dan kemajemukan Indonesia, yakni manusia itu sama, tetapi agama dan keyakinan bisa berbeda-beda (Syukur Tiada Akhir, 2015).
Dalam buku yang sama, penulis disertasi tentang Kompas (1965-1985) Cornelius Antonius de Jong meyakini istilah itu berasal dari Jakob Oetama. Penamaan ini merupakan pengembangan makna compassion, yang antara lain memuat harapan manusia untuk bisa bertenggang rasa karena setiap orang bisa berbuat salah.
Menurut budayawan Sindhunata, manusia, pengalaman akan kemanusiaan menjadi kunci pokok keprihatinan Jakob Oetama. Kemanusiaan itu menentukan cara pergaulan hidupnya, cara mendekati orang, dan cara mendekati persoalan. Ini menjadi landasan hidup dan cara kerja koran yang didirikan dan dipimpin Jakob.
”Visi itu perlu terus didialogkan dan dihidupi, yang disampaikan dalam berbagai kesempatan kepada karyawan dan wartawannya. Humanisme menjadi inti, berpusat pada manusia dengan persoalan kemanusiaan menjadi sumber perhatian,” tulis Sindhunata, wartawan Kompas 1977-1980.
Selain menggeluti kandungan jurnalisme, Jakob menaruh perhatian terhadap relasi media dengan kondisi aktual, seperti dalam Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2014 serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014. Dalam pidato ”Perpolitikan dan Profesionalitas Media” ketika menerima gelar doctor honoris causa (HC) bidang ilmu jurnalistik dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jumat (5/9/2014), Jakob menekankan bahwa media massa sebagai bagian dari masyarakatnya tidak terlepas dari kondisi aktual.
Media massa adalah bagian dari penyadaran atau pencerahan tentang hak asasi merdeka. Dalam kondisi aktual, media massa dituntut menjadi penyedia bagi ”pasar gagasan” agar ide-ide berkompetisi. Media massa harus berusaha tetap independen dalam menyediakan keberagaman gagasan. Harapannya agar tidak terjadi asimetri informasi yang menyebabkan sebagian besar orang kehilangan kesempatan.
Kerja jurnalistik bukan sekadar melaporkan fakta menurut urutan kejadiannya, bukan fakta secara linier, melainkan fakta yang mencakup. Laporannya disertai latar belakang, proses, dan riwayat. Ada usaha untuk mencari korelasinya dengan hal lain. Kemudian, diberi interpretasi atas dasar interaksi fakta dan latar belakang.
Menteri Pendidikan Nasional Indonesia (22 Oktober 2009-20 Oktober 2014) M Nuh ketika memberikan sambutan dalam penganugerahan gelar doktor kehormatan Jakob Oetama menjelaskan, media massa merupakan guru. Ia harus punya peran untuk selalu how to educate the people atau berfungsi edukatif.
Begitu orang membaca koran, bukan sekadar informasi yang dia dapat, bukan sekadar data, tetapi juga mendapatkan pengertian dan pemahaman tentang persoalan. Ujungnya, pembaca akan mendapatkan kebijaksanaan (wisdom). Data, informasi, understanding, dan wisdom. Demikian rincian M Nur tentang keilmuan.
”Kalau media massa diperankan dalam fungsi tersebut, tidak sekadar menyampaikan berita, tetapi di balik berita itu ada sesuatu yang ingin dipesankan tentang pentingnya fenomena yang muncul yang diberitakan, masyarakat kita akan jadi well educated (terdididik),” tulis Nuh (Kompas, 23/9/2014).
Berkaca pada uraian itu, tergambar begitu besar dan mulia tugas media massa. Oleh sebab itu, tak heran Suryopratomo dalam Kompas dari Belakang ke Depan (2007) terkesan sangat ”keras” kepada wartawan, terutama wartawan Kompas.
Dia menekankan agar wartawan harus mampu mengendalikan egonya, tidak merasa besar, tidak merasa sudah sempurna, tidak cepat berpuas diri, tetapi sebaliknya menyadari betapa banyak hal yang harus terus diperbaiki, terus diasah untuk mencapai kesempurnaan.
Sikap rendah diri dan kemauan untuk menyadari masih banyak kelemahan harus ada pada diri wartawan. Sebab, hal itulah yang akan memacu tiap individu wartawan selalu meningkatkan kemampuan, mau untuk terus belajar. ”Tidak boleh ada kata akhir untuk belajar dan meningkatkan kemampuan diri. Dunia jurnalistik bukanlah dunia statis, tetapi terus berkembang, yang menuntut kemampuan wartawan untuk mengejarnya.”