50 Tahun Pasca-Deklarasi Stockholm
Deklarasi Stockholm hasil Konferensi tentang Lingkungan Hidup 1972. Hal menarik dari Stockholm ini adalah kesadaran penuh bahwa masalah lingkungan hidup tak hanya terkait dengan ekonomi, melainkan juga politik.
Tanggal 5-16 Juni 1972 adalah hari-hari bersejarah dalam gerakan peduli lingkungan hidup.
Setelah mendapatkan desakan dari banyak pihak, terutama atas inisiatif Pemerintah Swedia, pada akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan, untuk pertama kalinya, konferensi tentang kemanusiaan dan lingkungan hidup, dengan tajuk ”Still Only One Earth”.
Meskipun kemudian diboikot oleh Blok Rusia, konferensi berhasil menelurkan seruan keprihatinan (rekomendasi dan rencana aksi) yang kemudian ditindaklanjuti oleh PBB. Sejak itu, tanggal 5 Juni dijadikan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Selain itu, salah satu buah terpenting dari konferensi itu adalah dilahirkannya United Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun itu juga. Tentu, banyak tindak lanjut sesudahnya, karena konferensi itu memicu banyak upaya multilateral mengingat isu lingkungan hidup tidak bisa dikotak-kotakkan secara teritorial.
Salah satu tindak lanjut yang tak kalah penting adalah diadakannya KTT Bumi di Rio de Janeiro (Rio Earth Summit) pada bulan Juni 1992.
Meskipun kemudian diboikot oleh Blok Rusia, konferensi berhasil menelurkan seruan keprihatinan (rekomendasi dan rencana aksi) yang kemudian ditindaklanjuti oleh PBB.
Sekarang ini, setelah 50 tahun, tepatnya 2-3 Juni kemarin, para wakil pemerintah, lembaga-lembaga internasional, juga lembaga bisnis dan masyarakat warga yang diwakili lembaga swadaya masyarakat, juga berkumpul di Stockholm. Dalam konteks yang baru, tentu dengan permasalahan baru, tema kali ini adalah ”A healthy planet for the prosperity of all – our responsibility, our opportunity” (Sebuah planet yang sehat, untuk kesejahteraan semua—tanggung jawab kita, peluang kita).
Menengok Stockholm
Yang dimaksud di sini adalah Deklarasi Stockholm sebagai hasil dari Konferensi tentang Lingkungan Hidup 1972 tadi. Dari 26 prinsip yang direkomendasikan, ada enam prinsip yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Hal ini mencerminkan bahwa paradigma ekonomi masih dominan.
Memang sesudah itu muncul penerapan lebih konkret atas konsep pembangunan berkelanjutan ini, terutama setelah diluncurkannya dokumen berjudul ”Our Common Future” (1987) dari World Commission on Environment and Development. Dokumen ini pulalah yang ikut melahirkan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs, 2000-2015), yang kemudian dilanjutkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs, 2016- 2030). Dalam SDGs, isu lingkungan hidup lebih menonjol daripada MDGs, termasuk tentang pemanasan global.
Yang sebenarnya juga menarik dari Stockholm ini adalah kesadaran penuh bahwa masalah lingkungan hidup bukan hanya terkait dengan ekonomi, melainkan juga politik. Dikatakan secara eksplisit dalam prinsip-prinsip yang direkomendasikan, bahwa untuk menjaga lingkungan, diperlukan penegakan hukum, kerja sama internasional, dan kebijakan-kebijakan yang tepat. Perkara kehancuran lingkungan adalah masalah struktural, bukan hanya personal. Selama ini hal itu cukup dilalaikan.
Baru kesadaran
Tak bisa disangkal, Konferensi Stockholm telah memantik kesadaran yang lebih masif pada masalah lingkungan hidup. Dalam konteks ini, meski kesadaran tentang perubahan iklim sudah sangat tinggi, kebijakan bersama untuk menjaga bumi masih sangat sulit disepakati. Alotnya perundingan dalam Conference of the Parties (COP) dalam United Nations Climate Change Conference (UNFCCC) untuk menyepakati kebijakan bersama menjadi salah satu cermin.
Selain itu, secara tidak langsung, pokok-pokok yang didiskusikan dalam peringatan Deklarasi Stockholm yang ke- 50 tahun 2022 ini bisa juga menjadi cermin. Dalam acara ini dibahas masalah pemanasan global, kehancuran lingkungan dan merosotnya keanekaragaman hayati, serta masalah polusi, khususnya polusi udara. Ketiganya memang sangat mendesak dewasa ini, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa kondisi bumi 50 tahun sesudah Deklarasi Stockholm makin parah!
Baca juga Indonesia Angkat Tiga Isu Prioritas tentang Lingkungan pada G-20
Perlu diingat bahwa pada 2021 para ilmuwan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), melalui Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, juga sudah membunyikan alarm bahaya pemanasan global. Itu juga berarti upaya politis dan yuridis Deklarasi Stockholm belum cukup kuat untuk mengubah wajah bumi.
Demikian juga di Indonesia. Jika pada level PBB dibentuk UNEP, di Indonesia, pada 1978 didirikan Kementerian Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Pada tataran kebijakan ini, sesudah 1972 memang cukup banyak produk hukum dan kebijakan yang dihasilkan. Pun, jika pencapaian SDGs menjadi indikator penerapan, memang ada peningkatan untuk Indonesia.
Pada 2021 mendapat poin 66, meski itu pun hanya di peringkat keenam di ASEAN. Hal ini sejajar dengan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menunjukkan peningkatan kualitas lingkungan hidup di Indonesia tahun 2021 menjadi 71,43, atau naik 1,16 poin dari tahun sebelumnya.
Ada kesan bahwa upaya-upaya yang bersifat politis dan yuridis yang sudah dibuat itu kebanyakan masih bersifat lip-service.
Di lain pihak, beberapa pemerhati lingkungan, terutama para aktivis lingkungan yang bergerak di akar-rumput, masih memprihatinkan kondisi tanah dan air, juga udara, di Indonesia. Ada kesan bahwa upaya-upaya yang bersifat politis dan yuridis yang sudah dibuat itu kebanyakan masih bersifat lip-service. Itu berarti pula bahwa pada umumnya, keprihatinan Stockholm dan sesudahnya itu baru sampai pada pengetahuan dan kesadaran, belum pada tindakan.
Terkait penerapan kebijakan, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pernah mengamati bahwa ada kaitan erat antara kehancuran lingkungan dengan penyelenggaraan pilkada tahun 2017-2018, sebagai dampak dari banyaknya izin pengelolaan tambang yang dikeluarkan pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembuatan kebijakan itu sendiri, bukan hanya penerapannya, masih jauh dari cakrawala peduli lingkungan hidup!
Selain itu, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), yang mulai diberlakukan tahun 1997, ditengarai banyak pihak masih miskin kualitas, atau hanya sekadar formalitas. Pernah, pada 2006, bahkan seorang menteri lingkungan hidup sendiri yang mengatakan hal itu. Dewasa ini, situasi belum berubah banyak. Pada 2018, seorang pengamat lingkungan di Institut Pertanian Bogor, dalam sebuah wawancara, menyatakan hal yang kurang lebih sama.
Menjelang 2024
Tahun 2024, yang berarti akan menjadi tahun politik di Indonesia, tak lama lagi dijelang. Mengingat, seperti ditengarai Jatam, ada kaitan sangat erat antara politik dan kerusakan lingkungan hidup, supaya hal itu tidak terjadi lagi, atau setidaknya diminimalkan sejauh mungkin, jika masih memungkinkan, pengawasan dari pemerintah pusat perlu lebih diperketat. Tak kalah penting, pencermatan masyarakat warga perlu lebih ditingkatkan dengan peran aktif lembaga swadaya masyarakat.
Pokok perkaranya memang bersifat struktural dan prosedural. Karena itu, dibutuhkan para pengambil kebijakan yang sungguh peduli lingkungan. Untuk ke depan, pendidikan politik masyarakat agar bisa memilih para wakil rakyat dan kepala daerah, atau bahkan presiden, yang sungguh punya kepedulian pada lingkungan hidup menjadi mendesak.
Apakah partai-partai akan bisa menyiapkan kader-kadernya yang berwawasan lingkungan? Bisa diduga, jawabannya tidak terlalu meyakinkan. Lalu, bagaimana dengan para pengambil kebijakan pada masa ini? Mungkin sementara kita harus meminimalkan, atau malah memadamkan, harapan!
Al Andang L BinawanPengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta