Mampukah G20 Menavigasi Krisis Multidimensi
Dunia sedang mengalami badai yang sempurna. Berbagai masalah terjadi secara bersamaan, dengan kompleksitas yang tinggi. Solidaritas dan prinsip multilateralisme G20 sedang diuji efektivitasnya dalam menavigasi krisis.
Dunia sedang mengalami badai yang sempurna (perfect storm), krisis multidimensi, di mana berbagai masalah terjadi secara bersamaan, dengan kompleksitas yang sangat tinggi.
”We are facing a crisis on top of a crisis…. And for the first time in many years, inflation has become a clear and present danger.” Pernyataan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva pada acara IMF Managing Di- rector’s Curtain Raiser–Spring Meetings, 14 April 2022, sarat pesan kekhawatiran terkait kondisi ekonomi global.
Krisis pertama adalah pandemi Covid-19 yang belum selesai. Krisis kedua adalah krisis geopolitik—perang di Ukraina. Georgieva tidak sendirian.
Dua minggu setelahnya, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyuarakan kekhawatiran yang sama, dampak dari perang di Ukraina telah menyebabkan dan memperburuk tiga krisis lanjutan: pangan, energi dan keuangan, khususnya di negara-negara Afrika dan beberapa negara yang rentan lainnya.
Tidak berlebihan apabila banyak kalangan menyebut saat ini dunia sedang mengalami badai yang sempurna (perfect storm).
PBB telah membentuk suatu inisiatif bernama Global Crises Response Group (GCRG) dan mengundang Indonesia menjadi salah satu champion, bersama lima negara lain: Jerman, Denmark, Senegal, Bangladesh, dan Barbados. GCRG adalah ikhtiar untuk membantu mengatasi tiga krisis di atas, yang jika tidak dimitigasi secara baik, dikhawatirkan dapat memicu ketidakstabilan politik, mempersempit ruang diskresi kebijakan ekonomi dan potensi kerusuhan sosial.
Tidak berlebihan apabila banyak kalangan menyebut saat ini dunia sedang mengalami badai yang sempurna (perfect storm). Berbagai masalah terjadi secara bersamaan, dengan kompleksitas yang sangat tinggi.
Krisis multidimensi
Pandemi Covid-19—yang telah menginfeksi lebih dari setengah miliar jiwa, memakan korban lebih dari 6 juta jiwa, menyebabkan 100 juta orang masuk ke dalam kemiskinan ekstrem—telah meninggalkan bekas luka (scarring effect) yang dalam di berbagai sektor perekonomian. IMF mengestimasi ongkos untuk menangani krisis akibat pandemi telah melebihi 13 triliun dollar AS, terbesar dalam sejarah penanganan krisis global. Pandemi belum selesai dan kita semua masih merasakan dampaknya.
Individu kehilangan pekerjaan dan mengalami penurunan kualitas pendidikan dan kesehatan. Aktivitas dunia usaha berhenti dan sebagian bangkrut.
Sementara negara harus menggelontorkan belanja sangat besar, khususnya bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan bantuan kepada dunia usaha. Kita beruntung kerja sama global dalam mengatasi pandemi berjalan cukup baik. Percepatan vaksinasi dan bantuan restrukturisasi utang, khususnya di negara-negara berpendapatan rendah, dan penerapan protokol kesehatan internasional telah terasa manfaatnya.
Dalam konteks program restrukturisasi utang negara-negara miskin, inisiatif G20 juga cukup berhasil dengan dimanfaatkannya program penundaan pembayaran utang (debt service suspension initiative/DSSI) sejak Mei 2020-Desember 2021 oleh 48 negara berpendapatan rendah, dengan nilai total utang 12,9 miliar dollar AS.
Baca juga Indonesia-Jerman Selaraskan Agenda Prioritas G20-G7
Perang di Ukraina telah menyebabkan jutaan orang harus mengungsi dan pemulihan ekonomi global semakin rumit dan lebih lama. Upaya negara-negara untuk melepas berbagai stimulus perekonomian di awal tahun 2022 karena prospek pemulihan ekonomi global (exit strategy) menjumpai jalan terjal.
Efek lanjutan dari perang dan berbagai sanksi ekonomi telah menyebabkan ancaman inflasi global karena kenaikan harga komoditas, khususnya energi dan pangan, serta gangguan sistem keuangan. Dari catatan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), Rusia dan Ukraina merupakan pemain penting pasar pangan global. Keduanya merupakan eksportir 30 persen gandum dunia, 20 persen jagung, dan 60 persen minyak bunga matahari.
Setidaknya ada 50 negara yang bergantung pada Rusia dan Ukraina untuk pasokan gandum mereka.
Selain itu, Rusia merupakan eksportir utama pupuk nitrogen, pemasok kalium terbesar kedua, dan eksportir pupuk fosfor terbesar ketiga di dunia. Ada sekitar 30 negara yang bergantung pada Rusia dalam pasokan pupuk. Perang jelas akan menyebabkan gangguan serius terhadap ketahanan pangan global.
Heryunanto
Selain itu, kenaikan harga energi telah membuat fragmentasi kebijakan global, antara fokus menuju transisi ke sumber energi yang terbarukan atau kembali fokus ke penggunaan energi fosil. Yang terakhir ini akan menomorduakan prioritas transisi menuju ekonomi hijau.
Sementara itu, ada kekhawatiran pembahasan agenda global yang penting lainnya: isu kesehatan untuk pencegahan, kesiapsiagaan dan respons terhadap pandemi di masa depan, isu peningkatan utang negara-negara miskin dan rentan, serta isu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim akan berjalan lambat dan tidak optimal.
Peran G20 dalam menangani krisis
G20 lahir, melewati dan berhasil menangani dua krisis, yaitu krisis keuangan di Asia tahun 1998 dan krisis keuangan global tahun 2008. Krisis multidimensi yang dihadapi dunia saat ini merupakan ujian terhadap solidaritas dan efektivitas G20 sebagai premier forum for international economic cooperation, sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Pittsburgh, AS, tahun 2009. Ada nuansa optimisme bahwa sekali lagi, G20 dapat terus diharapkan dan berhasil mengatasi krisis global. Ada bukti dari keyakinan ini.
Banyak apresiasi dari para anggota G20 dan undangan terhadap Indonesia sebagai presidensi yang berhasil melaksanakan pertemuan secara imparsial dan seimbang.
Pada 20 April 2022, pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral anggota G20 (G20 Finance Ministers and Central Bank Governors/FMCBG Meeting) dalam rangkaian pertemuan musim semi IMF dan Bank Dunia di Washington DC berhasil diselenggarakan. Pertemuan level menteri pertama dilaksanakan dalam situasi yang sangat menantang karena dunia masih berada di tengah hiruk-pikuk global akibat perang di Ukraina.
Banyak apresiasi dari para anggota G20 dan undangan terhadap Indonesia sebagai presidensi yang berhasil melaksanakan pertemuan secara imparsial dan seimbang. Untuk menyiapkan FMCBG di atas, Indonesia menggelar 50 kali pertemuan bilateral dengan setiap anggota G20 dan beberapa negara lainnya, untuk memetakan dan mengorkestrasi berbagai pandangan. Ada nuansa fragmentasi di dalam G20 akibat perang di Ukraina dan ada aksi walk out beberapa anggota G20 pada saat pertemuan berlangsung, tetapi pembahasan agenda global tetap berjalan.
Para menteri keuangan, gubernur bank sentral, dan pemimpin sejumlah organisasi internasional tetap disiplin dan berkomitmen kuat dalam membahas dan mencari solusi terhadap empat agenda global: risiko pemulihan ekonomi, kesehatan global, arsitektur keuangan internasional, dan keuangan berkelanjutan. Agenda global ini akan terus berlanjut pembahasannya di FMCBG ketiga pada Juli mendatang dengan tambahan agenda prioritas jalur keuangan lainnya, yaitu infrastruktur, inklusi finansial, dan perpajakan internasional.
Perang di Ukraina harus segera dihentikan dan sanksi ekonomi harus dicabut sebagai syarat mutlak agar ekonomi global bisa segera pulih. Dalam kondisi ketidakpastian tinggi, kebijakan yang well planned, well calibrated, and well communicated mutlak diperlukan. G20 Indonesia mendorong hal ini.
Inisiatif kesehatan global dalam mencegah, siap-siaga, dan merespons pandemi di masa depan harus diwujudkan dalam bentuk pengumpulan pendanaan global dan koordinasi lebih terstruktur antara para menteri keuangan dan menteri kesehatan serta dengan mengedepankan peran sentral Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Di samping itu, fokus penanganan masalah kesinambungan utang, khususnya negara yang rentan dan berpendapatan rendah, harus dapat disepakati dengan langkah-langkah konkret dan terukur. Lebih jauh lagi, pembahasan transisi menuju ekonomi hijau dengan formulasi kerangka kerja dan peningkatan akses pendanaan global, kerja sama perpajakan internasional, dan pelibatan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur harus terus maju.
G20 harus tetap menjadi pemimpin dunia dalam memberi solusi permasalahan global. Solidaritas dan prinsip multilateralisme G20 sekali lagi diuji efektivitasnya dalam menavigasi krisis dan membuktikan dirinya sebagai forum yang solid dan solutif.
Wempi SaputraStaf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional; Deputi Keuangan G20 Indonesia