Di era gegar komunikasi media sosial, vital bagi kita mengevaluasi ortopraksi Pancasila dalam bab tutur kata. Kita perlu merayakan ulang musyawarah, adab, hikmah, gotong royong dalam Pancasila dalam tutur kata di medsos.
Oleh
FATHURROFIQ
·4 menit baca
Apa itu ortopraksi? Satu asal kata dengan praksis. Tindakan nyata, perilaku amal perbuatan yang dipraktikkan secara nyata dalam kehidupan. Dengan wawasan ini, ortopraksi Pancasila tidak lain adalah mempraktikkan, mengamalperbuatkan ajaran, dogma, nilai Pancasila dalam perilaku nyata.
Dalam ranah ortopraksi, Pancasila tidak semata-mata diceramahkan, disuarakan, apalagi diperebutkan tafsirnya oleh segelintir kelompok untuk menunjang status quo kekuasaan. Ortopraksi Pancasila menggariskan bahwa ajaran Pancasila disempurnakan dengan pembuktian berupa praktik perbuatan yang sesuai dengan Pancasila itu sendiri.
Belajar dari rezim Orde Baru, bangsa ini diserukan melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun perilaku politik ekonomi penguasa rezim itu justru menodai nilai Pancasila sendiri. Pancasila sebagai ajaran dijunjung setinggi langit, tetapi sebagai pengamalan justru dikubur dalam-dalam.
Ortopraksi Pancasila menggariskan bahwa ajaran Pancasila disempurnakan dengan pembuktian berupa praktik perbuatan yang sesuai dengan Pancasila itu sendiri.
Evaluasi tutur kata
Di era gegar komunikasi media sosial, vital bagi kita mengevaluasi ortopraksi Pancasila dalam bab tutur kata. Bagaimanapun, antropologi komunikasi dengan platform media sosial jauh berbeda karakter dengan komunikasi media massa dan lisan.
Sebagaimana dimaklumi, karakter tutur kata di media sosial: bebasis selera dan atensi audien, kurang reflektif apalagi kontempelatif, kurang klarifikasi, lemah verifikasi, miskin pemaknaan penerima pesan, serta sering kali jauh melampui maksud dan konteks pengirim pesan. Implikatur percakapan atau apa yang dimaksud oleh penutur sering kali berbeda sama sekali dengan yang diterima audien (petutur), bahkan tuturan joke bisa berdampak delik hukum jika menyerempet soal politik atau tokoh yang berpengaruh.
Gejala yang menyeruak dari tutur kata politik adalah antagonisme bahasa. Bahasa politik yang menghasilkan permusuhan, segregasi antarsesama anak bangsa. Bisa dingat kasus cuitan guru besar UGM tentang Ade Armando yang menuai sidang kode etik. Demikian pula cuitan seorang rektor interviewer LPDP dari Kalimantan menuai amarah kelompok umat Islam.
Hanya karena berbeda aviliasi politik, seorang politisi memposting gambar editan seorang gubernur berpakaian adat Papua, tetapi dengan bahasa yang mengolok. Daftar contoh lain dari antagonisme tutur kata ini sangat massif, akumulatif, dan menjadi landslide komunikasi politik di media sosial negeri ini.
Sebenarnya dari cara framing tutur kata politik: ada framing menjelekkan tokoh (negatif-pejoratif). Ada pula framing yang memuja-puji tokoh (positif-ameleoratif). Tak terhitung kiranya jumlah di antara kita yang menjadi korban framing ini seiring dengan demam media sosial di tengah masyarakat kita. Hanya saja naluri dasar (basic instict) mengemukakan bahwa jika ter-framing secara negatif, itu adalah korban. Sebaliknya jika ter-framing secara positif, itu ”anugerah”.
Naasnya, naluri dasar itu juga berlaku dan membiak secara primitif dalam mentalitas dukungan pada elite politik atau tokoh masyarakat. Masing-masing elite dan tokoh tentu saja memiliki pendukung setia fanatik. Jelas saja, para pendukung fanatik tidak terima jika tokohnya menjadi korban framing. Namun, saat yang sama akan girang jika elite atau tokoh yang didukung mendapat ”anugerah”.
Mencermati antagonisme tutur kata yang memicu permusuhan sesama anak bangsa jelas saja secara ortopraksi tidak sesuai dengan Pancasila. Bukankah Pancasila mengajarkan persatuan, musyawarah, adab, hikmah, gotong royong? Semangat bertutur kata yang berdab, penuh hikmah, membuka musyawarah antara yang berbeda, menggalang gotong royong semakin menjauh ke titik nadir dalam perilaku dukung-mendukung perebutan kekuasaan.
Kritik dan apresiasi
Bukanlah barang haram dalam demokrasi Pancasila untuk berbeda pendapat secara keras karena perbedaan aviliasi politik. Di bumi Pancasila, kebebasan dan perbedaan pendapat dijamin konstitusi. Berbeda pendapat dengan penguasa sama sahnya dengan mendukungnya. Mengkritik dan mengapresiasi rezim sama halal dan mulianya dalam kehidupan masyarakat demokratis yang merdeka.
Sebagaimana kritik pada sastra berharga dan bernilai sama dengan apresiasi pada sastra. Kritik dan apresiasi sama-sama penting dan dibutuhkan untuk pengembangan sastra. Jika kritik adalah menyanggah berbasis data dan fakta data, apresiasi adalah dukungan berbasis data dan fakta pula.
Dengan kriteria ini, kritik dan apresiasi sebagai wujud menyatakan pendapat sangat konstruktif. Akan tetapi, kritik yang miskin data, kurang fakta argumentatif, dan dilancarkan karena dorongan amarah dan permusuhan hanya akan menjadi serangan pribadi yang yang menghujat penuh caci maki atau lazim distilahkan ad hominem. Demikian pula apresiasi yang kosong data dan fakta argumentatif tidak lebih adalah bualan yang bersifat menjilat.
Di bumi Pancasila, kebebasan dan perbedaan pendapat dijamin konstitusi. Berbeda pendapat dengan penguasa sama sahnya dengan mendukungnya.
Komunikasi media sosial sering membuat kita tidak jernih mencerna. Secara terburu-buru kritik dianggap serangan pribadi penuh kebencian. Sementara jilat-menjilat dianggap apresiasi belaka.
Para elite negeri ini jangan sampai mudah terlena dengan jilatan yang menjerumuskan dan menjadi modus agar pelakunya mendapatkan jatah kekuasaan. Jangan sangat reaktif pula dengan kritik. Lupakah bahwa kritik juga bisa mengoreksi kebijakan agar lebih bijak terarah.
Layaknya sastrawan dan pekerja seni, elite negeri ini, baik yang di dalam kekuasaan maupun di luar kekuasaan, harus membaca dengan saksama dan mencerna secara kontemplatif kritik ataupun apresiasi. Syukur jika bisa menauladankan kepada pendukung fanatik mereka agar bijak menerima kritik dan apresiasi.
Dengan cara ini, semoga kita mendapat jalan untuk menghentikan antagonisme tutur kata. Kita berusaha merayakan ulang musyawarah, adab, hikmah, gotong royong dalam Pancasila untuk dibuktikan dalam tutur kata di era media sosial. Dengan demikian, praksis Pancasila selaras dengan dogma Pancasila itu sendiri.
Fathurrofiq, Dosen Linguistik Sekolah Tinggi Ilmu Al Quran dan Sains Al Ishlah (STIQSI), Lamongan