”Quo Vadis” Lansia Indonesia
Dengan jumlah lansia yang banyak, wajar jika potensi ekonomi, keadaan sosial, kondisi kesehatan, dan akses penduduk lansia terhadap berbagai jenis perlindungan, dan pemberdayaan bagi kualitas hidup penting diperhatikan.
Bahwa jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia akan terus bertambah, tampaknya tidak bisa dihindari.
Hingga 2021, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah warga lansia di Indonesia mencapai 29,3 juta jiwa (10,82 persen penduduk Indonesia). Tiga provinsi dengan struktur penduduk tua terbanyak di Indonesia pada tahun 2021 adalah DI Yogyakarta (15,52 persen), Jawa Timur (14,53 persen), dan Jawa Tengah (14,17 persen).
Selain jumlah terus meningkat, usia lansia juga semakin meningkat. Saat ini tak jarang kita jumpai lansia berusia 80 tahun ke atas. Dengan jumlah lansia yang banyak, wajar jika potensi ekonomi, keadaan sosial, kondisi kesehatan dan akses penduduk lansia terhadap berbagai jenis perlindungan, serta pemberdayaan bagi peningkatan kualitas hidupnya penting untuk diperhatikan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998, lansia didefinisikan sebagai seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Beberapa tahun terakhir, Indonesia sudah berusaha memprioritaskan dan memperhatikan populasi lansia. Lansia menjadi populasi prioritas penerima vaksin Covid-19 yang sudah terbukti bermanfaat dalam berbagai tahap uji klinis. Hal ini juga terlihat dari tema tahunan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN). Pada 2020, tema yang dibawakan adalah ”Negara Hadir untuk Lansia”, sedangkan pada 2021 tema yang diusung adalah ”Lansia Bahagia Bersama Keluarga”.
Di negara berkembang, migrasi kaum muda dapat melemahkan keluarga sebagai struktur tradisional pemberi dukungan untuk lansia.
Pada 2020, 41 persen penduduk lansia Indonesia tinggal bersama keluarga tiga generasi, sedangkan 47 persen tinggal bersama keluarga non-tiga generasi. Namun, persentase ini berubah pada 2021, hanya 34,71 persen warga lansia hidup di dalam keluarga tiga generasi, sedangkan 52,44 persen tinggal bersama keluarga non-tiga generasi. Di negara berkembang, migrasi kaum muda dapat melemahkan keluarga sebagai struktur tradisional pemberi dukungan untuk lansia. Hal ini dapat berujung pada kemiskinan, marjinalisasi, dan pengucilan lansia. Praktik diskriminasi tersebut juga dapat menyebabkan tidak terciptanya kesejahteraan sosial lansia, sekaligus tidak terpenuhinya hak-hak lansia.
Dewasa ini, kita sudah memasuki era penuaan sehat (healthy ageing), yang bertentangan dengan konsep-konsep sebelumnya, antara lain penuaan yang sukses (successful ageing) dan anti-ageing yang terlalu fokus dengan usaha eliminasi penyakit dan proses penuaan lain. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mencanangkan tahun 2021-2030 sebagai dekade penuaan sehat PBB. Empat faktor yang berperan penting untuk mendukung kehidupan sehat lansia, termasuk anggota keluarga dan komunitas mereka, adalah (1) pelayanan kesehatan terintegrasi, (2) lingkungan santun lansia, (3) long-term care, dan (4) pemberantasan ageisme.
Pemberantasan ageisme
Pemberantasan ageisme adalah salah satu faktor yang berperan penting untuk mendukung kehidupan lansia yang lebih sehat. Ageisme adalah stereotipe dan praktik diskriminasi terhadap orang karena usia. Stereotipe terhadap lansia dapat terlihat dari banyaknya lansia yang tinggal di panti wreda, atau hidup sendiri di rumah, hidup dalam kemiskinan, kesepian, serta kerap dianggap menjengkelkan dan menjadi alasan kemarahan.
Ageisme juga terlihat dari layanan kesehatan pada lansia yang tidak diberikan secara baik dan benar, tidak adanya program-program yang dikembangkan untuk kesejahteraan lansia secara terstruktur dan sistematis.
Ageisme berhubungan dengan berbagai luaran buruk. Data WHO menunjukkan ageisme menyebabkan kematian lebih dini (sekitar 7,5 tahun), kesehatan fisik dan mental yang lebih buruk, serta lambatnya pemulihan disabilitas pada lansia. Ageisme juga meningkatkan risiko perilaku hidup tidak sehat, seperti gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, merokok atau konsumsi alkohol berlebihan, dan penurunan kualitas hidup. Di Amerika Serikat, kerugian akibat ageisme mencapai total 63 juta dollar AS tiap tahun.
Terciptanya penuaan sehat di populasi lansia Indonesia dapat dicapai dengan kebijakan dan program yang dibentuk negara yang berhubungan dengan lansia. Kebijakan pemerintah yang sudah baik pada 2020 dan 2021 seyogianya dipertahankan, dengan program-program yang berpihak kepada lansia, baik di tingkat masyarakat maupun fasilitas pelayanan kesehatan.
Stereotipe terhadap lansia dapat terlihat dari banyaknya lansia yang tinggal di panti wreda, atau hidup sendiri di rumah, hidup dalam kemiskinan, kesepian, serta kerap dianggap menjengkelkan dan menjadi alasan kemarahan.
Keteladanan perlu ditunjukkan oleh pemerintah dan semua institusi untuk keberpihakannya kepada lansia. Akreditasi puskesmas dan rumah sakit (RS) sudah semestinya tetap memasukkan persyaratan adanya layanan kesehatan bagi lansia, yang memang sudah terbukti memberikan manfaat signifikan di berbagai penelitian ilmiah.
Puskesmas, juga praktik dokter dan bidan, harus pula mengetahui cara pelayanan dan pengobatan lansia yang benar. Hal ini mengingat data 2021 menunjukkan mayoritas lansia (35,81 persen) berobat jalan ke praktik dokter/bidan ketika mengalami keluhan kesehatan, sedangkan 26,41 persen ke klinik/dokter bersama dan 21,31 persen ke puskesmas/ pustu. Pelayanan kesehatan untuk lansia yang komprehensif seyogianya dipahami dan diterapkan di semua tingkat pelayanan kesehatan, mulai dari puskesmas sampai dengan RS tipe A.
Program yang dibentuk negara perlu juga dibarengi dengan perubahan sikap dan cara pandang keluarga, masyarakat, dan negara terhadap lansia menjadi lebih positif. Walaupun mengalami perubahan dan penurunan kondisi fisik karena usia, lansia tetap harus dipandang sebagai subyek manusia seutuhnya. Budaya ketimuran dalam menjaga dan merawat lansia seyogianya tetap dipertahankan setiap keluarga. Panti wreda juga perlu menyejahterakan lansia dengan cara memperhatikan dan memenuhi standar kehidupan lansia secara holistik. Beberapa lansia yang tinggal di panti wreda juga dapat dilibatkan dalam kegiatan produktif.
Pencegahan dan promosi kesehatan
Kerja sama semua pihak bisa memberikan efek sinergi terhadap kesehatan lansia Indonesia. Kondisi kesehatan di usia senja dapat diakibatkan akumulasi masalah kesehatan sejak usia muda. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan promosi kesehatan harus dimulai sedini mungkin. Pencegahan yang baru dimulai di usia tua dapat dikatakan sebagai usaha yang agak terlambat, tetapi tetap ada manfaatnya agar lansia yang masih sehat tetap sehat dan semakin besar proporsinya, sementara yang sudah sakit dan rapuh tetap terkendali kondisinya dan memiliki kualitas hidup baik.
Walau kesehatan usia muda penting menjadi perhatian, urusan kesehatan dan kesejahteraan lansia seyogianya tak ditinggalkan. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Contoh strategi pencegahan penyakit antara lain gaya hidup sehat (olahraga, makanan sehat, tanpa merokok atau konsumsi alkohol berlebihan), vaksinasi, pencegahan jatuh berulang, serta screening kanker.
Baca juga : Keberpihakan Nyata Desa Panambangan di Cirebon pada Warga Lanjut Usia dan Difabel
Rokok adalah salah satu musuh terbesar di dunia kesehatan. Selain merupakan penyebab tertinggi penyakit yang dapat dicegah, merokok juga penyebab utama kematian dini. Data Indonesia terkini menunjukkan, satu dari lima lansia masih merokok setiap hari. Pada 2021, hampir 50 persen laki-laki lanjut usia di Indonesia masih merokok setiap hari. Kesuksesan pemberian vaksinasi Covid-19 yang sudah terbukti dapat kita contoh dalam penanganan penyakit menular lain.
Lansia berusia 65 tahun ke atas juga membutuhkan vaksin lain, seperti vaksin influenza, pneumokokal, dan hepatitis B. Usaha optimal vaksinasi Covid-19 dapat memberi inspirasi bagi kita semua bahwa cakupan vaksinasi bisa kita tingkatkan dengan program paripurna.
Selain fasilitas pelayanan kesehatan berkualitas yang idealnya tersedia dekat dengan kediaman lansia, lingkungan santun lansia penting bagi penuaan sehat untuk tumbuh, hidup, dan bekerja di usia lanjut. Sektor sosial, transportasi, perumahan, dan pekerjaan juga perlu berbenah untuk memaksimalkan kesehatan lansia. Salah satu inovasi hebat adalah Kartu Lansia Jakarta (KLJ) yang bisa digunakan untuk dapat fasilitas akomodasi naik MRT atau bus Transjakarta secara percuma. KLJ pun bisa digunakan untuk menebus pangan murah.
Pekerjaan rumah kita saat ini adalah melakukan monitoring, evaluasi, dan optimisasi implementasi program ini di lapangan. Prototipe program dapat menjadi acuan perancangan program yang diperuntukkan bagi masyarakat lebih luas di banyak daerah di Indonesia.
Setelah bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, program kerja selalu diprioritaskan pada kesehatan ibu dan anak, tampaknya tak berlebihan dan bahkan suatu keharusan program kerja di berbagai lini, khususnya lini kesehatan dan sosial di negara ini, memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan warga lansia yang jumlahnya sekarang sudah hampir 30 juta jiwa.
Memberikan yang terbaik bagi lansia bukanlah hal yang berlebihan. Pada gilirannya, menjadi lansia adalah sebuah keniscayaan bagi kita semua. Ketika saat itu tiba, kita sudah berpredikat lansia, mungkin sebagian dari kita juga memerlukan layanan kesehatan yang baik dan benar. Semuanya perlu dipersiapkan dari sekarang, jangan tergagap-gagap seperti kita menghadapi puncak pandemi Covid-19 yang baru saja berlalu.
Siti Setiati, Ketua Dewan Guru Besar FKUI; Ketua Umum Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (Pergemi); Staf Senior Divisi Geriatri Penyakit Dalam RSCM-FKUI