Satu dari 10 lansia Indonesia hidup dari hasil kerjanya. Kemungkinan mereka terus bekerja sampai usia lanjut jika tak ada bantuan sosial atau jaminan pendapatan. Lansia kita belum bisa hidup dari tabungan atau investasi.
Oleh
SRI MOERTININGSIH ADIOETOMO
·6 menit baca
Pesan ini sangat mendalam artinya karena menjadi tua perlu persiapan matang sebelum pensiun atau berhenti bekerja; dan ini terkait kondisi ekonomi makro, ketenagakerjaan, pasar kerja, kualitas pekerja. Dampak penuaan penduduk pada pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan fiskal berbeda antarnegara tergantung waktu dan tahapan transisi demografi (Yoshion dkk 2019).
Penuaan penduduk mengurangi pasokan dan rasio pekerja, perubahan pola investasi, menipisnya pemupukan tabungan, penurunan produktivitas, yang berisiko perlambatan pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak, meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan karena penyakit tak menular, jaminan pendapatan dan bantuan sosial meningkatkan pengeluaran pemerintah dan mengganggu keseimbangan fiskal. Tantangannya, bagaimana mempertahankan pertumbuhan ekonomi sekaligus memperluas jangkauan perlindungan sosial para lansia dan jaminan pendapatan masa tua.
Proses penuaan Eropa dan Amerika berjalan lambat karena perubahan pola melahirkan jauh sebelum alat kontrasepsi modern ditemukan (Knodel dan van De Walle, 1979). Urbanisasi industrialisasi menyebabkan banyak anak mengganggu kemajuan individu. Penurunan kelahiran dan kematian berjalan bertahap seiring peningkatan kesejahteraan dan usia harapan hidup/UHH (Coale, 1973).
Tantangannya, bagaimana mempertahankan pertumbuhan ekonomi sekaligus memperluas jangkauan perlindungan sosial para lansia dan jaminan pendapatan masa tua.
Sistem perlindungan sosial mulai tertata memudahkan pemerintah mengubah kebijakan memenuhi kebutuhan penduduk lansia. Namun, penurunan kelahiran mencapai di bawah replacement level, yang lahir tak cukup menggantikan yang mati, sehingga terjadi pengurangan pasokan pekerja. Di negara maju, proses penuaan telah berhenti, solusinya imigrasi inovasi teknologi dan IT (T20 Tokyo).
Di Thailand, Indonesia, Vietnam, China, India, dan Bangladesh, proses transisi demografi dipicu program KB yang menurunkan kelahiran dengan cepat seiring penurunan kematian bayi dan peningkatan UHH. Hasilnya, ledakan penduduk usia kerja dan proses penuaan yang cepat.
Idealnya jumlah penduduk usia kerja tinggi menyumbang PDB tinggi, seperti perkiraan East Economic Miracle (Bloom and Williamson, 1997). Namun, hasil investasi modal manusia tak secepat penuaan penduduk. Negara tak siap menghadapi, sementara sistem dan cakupan perlindungan sosial rendah. Negara ini growing old before getting rich dan proses penuaan penduduk berlanjut dengan kecepatan tinggi di atas 70 tahun.
Laos, Kamboja, dan Timor Leste baru bersiap menurunkan fertilitas, tapi lambat laun menua juga. Dampak ekonomi dan solusi kebijakan pemerintah tergantung kecepatan penuaan dan tahap transisi demografi.
”Life cycle deficit”
Perubahan struktur umur penduduk dan produktivitas tenaga kerja menyumbang pertumbuhan ekonomi. Ada life cycledeficit, anak sudah mengonsumsi, tetapi belum berproduksi, sedangkan produktivitas lansia menurun cepat, padahal biaya perawatan kesehatan meningkat. Pekerja harus mempunyai surplus penghasilan untuk menutup life cycle deficit.
Dampak langsung terlihat pada penyusutan rasio dukungan (support ratio), yakni rasio jumlah pekerja mendukung seorang lansia. Di Indonesia, persentase penduduk 65 tahun ke atas naik cepat dari 10,7 menjadi 19,9 persen di 2020-2045. Meski jumlah penduduk usia kerja masih 70 persen dari total penduduk (270 juta tahun 2045), kecepatan penuaan penduduk tak bisa diimbangi dengan jumlah pekerja yang lambat laun menurun. Rasio dukungan menurun dari 10 menjadi 5 pekerja tahun 2045 (Adioetomo, 2021).
Pekerja ini harus menutupi kebutuhan sendiri, rumah tangganya, membiayai tumbuh kembang anak, membayar pajak, menabung dan berinvestasi untuk jaminan pendapatan masa tua dan masih harus menyantuni lansia. Surplus inilah yang jadi dilema di negara kita. Pasar kerja saat ini masih didominasi sektor informal dengan penghasilan minimal dan sistem perlindungan sosial belum menjangkau mereka. Mereka akan menjadi tua sebelum kaya.
Lansia kita belum bisa hidup dari tabungan atau hasil investasi semasa bekerja.
Kecukupan penghasilan
Satu dari 10 lansia Indonesia hidup dari hasil kerjanya. Kemungkinan mereka terus bekerja sampai usia lanjut jika tak ada bantuan sosial atau jaminan pendapatan. Lansia kita belum bisa hidup dari tabungan atau hasil investasi semasa bekerja.
Sepertiga lain hidup dari santunan anak menantu atau famili yang tak mengikat kapan dan berapa besarnya. Guncangan seperti pandemi dan PHK berisiko terhentinya transfer informal seperti ini. Cakupan pensiun dan bansos minimal sekali. Ada 40 persen lagi yang hidup dari bekerja plus transfer (Supas, 2015, diolah Sanjaya, 2016).
Sebanyak 78,5 persen lansia mengatakan, sumber dana itu cukup untuk hidup sehari-hari. Namun, persepsi subyektif ini bisa berubah sesuai apa yang dirasakan saat ditanya pencacah. Sisanya 21,5 persen, yang umumnya hidup dari transfer informal, bilang tak cukup.
Kelompok ini berasal dari mereka yang tak lulus SD (26,2 persen), perempuan (22,8 persen), usia lebih dari 70 tahun (23-24 persen) hidup sendiri (24 persen), tak sehat (30 persen). Kelompok lansia yang hidupnya dari hasil kerja/tabungan/transfer umumnya mengatakan cukup (83,4 persen), tetapi ada 16 persen yang tak puas dan menyatakan penghasilannya tak cukup untuk menghidupi dirinya.
Jaminan pensiun
East Asia Retirement Survey dengan responden pensiunan dan pra-pensiun sektor formal perkotaan mengindikasikan adanya penurunan ketergantungan pada peranan keluarga. Meski masih ada kelompok kecil pra-lansia atau generasi lebih muda mengharapkan santunan dari anak atau keluarga (11 persen), 18 persen ingin memenuhi kebutuhan sendiri setelah berhenti bekerja, 25 persen dari mantan pemberi kerja, dan 45 persen lain mengharap pemerintah bertanggung jawab untuk jaminan pendapatan masa tua (Richard Jackson, 2016).
Meski temuan ini tak sepenuhnya representatif, polanya bisa dipakai untuk mulai memikirkan pengembangan skema jaminan pendapatan masa tua, baik kontributori maupun nonkontributori. Untuk kelompok yang ingin mandiri setelah pensiun, mereka harus mulai menabung dan investasi sejak mulai bekerja. Ini butuh pekerjaan layak penghasilan layak umumnya sektor formal.
Pemerintah harus menciptakan lapangan kerja bagi mereka ini, sama halnya kelompok yang mengharapkan mantan pemberi kerja yang bertanggung jawab. Ini terkait skema jaminan hari tua yang dibayar patungan antara pemberi kerja dan pekerja. Ditambah skema pensiun yang juga kolaborasi pekerja dan pemberi kerja.
Di sini terlihat pekerja sektor informal tetap tertinggal. Meski sudah ada skema jaminan hari tua pekerja informal, tingkat kepesertaannya masih sangat rendah. Bagaimana memenuhi harapan 45 persen lain yang khawatir akan hidupnya di hari tua, yang berharap jaminan pendapatan masa tua dari pemerintah?
Kondisi di Indonesia ini sesuai negara Asia Timur yang disurvei. Sebesar 61 persen responden Korea Selatan, 48 persen Singapura, 40 persen Taiwan, dan 44 persen Hong Kong merasa sanggup mandiri setelah pensiun. Untuk responden Indonesia hanya 18 persen, Vietnam (22), Filipina (10), China (9), dan Thailand (18) yang ingin mandiri setelah pensiun (Global Ageing Institute, 2016).
Nyata di sini pengembangan jaminan pendapatan masa tua sangat terkait kondisi ekonomi, ketenagakerjaan, pasar kerja dan kualitas pekerja masing-masing negara. Pemerintah harus berhati-hati menyeimbangkan ruang fiskal dalam rangka memperluas jangkauan perlindungan sosial semua umur termasuk jaminan pendapatan masa tua dengan kebutuhan hidup mendesak sambil tetap memicu pertumbuhan ekonomi.
Pengembangan skema jaminan pendapatan masa tua harus mulai dipikirkan. Tahun 2045 akan ada 63 juta lansia yang didominasi kelompok lansia tua.
Sri Moertiningsih Adioetomo,Adjunct Peneliti Lembaga Demografi dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI