Fenomena pemberian bunga tinggi oleh bank digital bukan hal baru. Kebanyakan bank kecil menggunakan strategi bunga tinggi untuk mengumpulkan dana. Faktor apa saja penyebab yang jadikan bunga kredit bank digital tinggi?
Oleh
ARDHIENUS
·5 menit baca
Beroperasinya bank digital memunculkan ekspektasi publik akan bunga kredit yang murah. Ekspektasi ini tak lepas dari keunggulan digitalisasi yang mampu menciptakan efisiensi sehingga biaya operasional menjadi lebih rendah dan ujungnya berimbas pada bunga kredit yang rendah pula. Namun, pada kenyataannya, hingga saat ini bunga kredit murah masih jauh panggang dari api.
Masih tingginya bunga kredit bank digital itu dapat dilihat dari suku bunga dasar kredit (SBDK). Pada posisi Februari 2022, SBDK untuk kredit sektor ritel pada bank digital masih di atas 11 persen, seperti pada Bank Seabank Indonesia (12,09 persen), Bank Jago (12,05 persen), dan Bank Neo Commerce (11,89 persen). Begitu pula bunga kredit segmen mikro yang bahkan lebih tinggi, seperti Bank Seabank Indonesia (13,02 persen), Bank Jago (12,17 persen), dan Bank Neo Commerce (11,89 persen).
SBDK bank digital itu lebih tinggi daripada bank nondigital atau konvensional terutama bank besar, seperti Bank Mandiri, BRI, BCA, dan BNI, yang berada di kisaran 8 persen.
Hal yang perlu dicatat di sini, besaran SBDK tersebut masih belum memperhitungkan premi risiko. Jika ditambahkan premi risiko, suku bunga kredit yang dibebankan kepada nasabah akan kian tinggi.
Secara umum ada beberapa faktor penyebab yang menjadikan bunga kredit bank digital tak kunjung murah.
Mengutip Laporan Tahunan Bank 2021, suku bunga kredit, misalnya untuk Bank Seabank Indonesia berkisar 5-78,42 persen dan Bank Jago sebesar 15,12 persen untuk kredit konvensional dan bagi hasil pembiayaan syariah per tahun berkisar 0,26-26,62 persen.
Secara umum ada beberapa faktor penyebab yang menjadikan bunga kredit bank digital tak kunjung murah. Pertama, biaya dana masih relatif tinggi. Ini terlihat dari tingginya bunga simpanan yang ditawarkan.
Misalnya, Bank Neo Commerce menawarkan suku bunga deposito mencapai 8 persen, sedangkan Bank Jago dan Bank Seabank Indonesia masing-masing 7 persen. Kendati bunga tinggi itu temporer karena sifatnya promosi, rata-rata suku bunga deposito bank digital masih relatif lebih tinggi dibandingkan bank besar.
Selain untuk mendapatkan dana masyarakat, tawaran bunga tinggi itu juga dimaksudkan agar masyarakat mengunduh aplikasi digital bank dan menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan nasabah. Semakin banyak masyarakat mengunduh dan menggunakan aplikasi digital bank, semakin menguntungkan bagi eksistensi bank digital.
Fenomena pemberian bunga tinggi oleh bank digital sejatinya bukanlah sesuatu hal yang baru. Sudah jamak diketahui, kebanyakan bank kecil tak punya pilihan lain selain menggunakan strategi bunga tinggi untuk mengumpulkan dana masyarakat. Bahkan terkadang ditambahi pula dengan pemberian uang (cash back) dan sejumlah gimmick tertentu.
Tentu yang perlu diperhatikan dalam hal ini terkait penjaminan dana nasabah. Pasalnya, bunga tinggi dan ditambah cash back yang apabila melampaui suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dapat membuat dana nasabah tersebut tidak ter-cover oleh skema penjaminan LPS.
Teknologi digital juga akan terus berkembang dan mengalami evolusi dengan sangat cepat sehingga mau tidak mau bank harus terus mengkini-kan teknologi digital ini.
Kedua, upaya membangun digitalisasi memakan ongkos yang tidak murah, seperti untuk pembelian infrastruktur, baik perangkat keras maupun lunak, serta pengembangan teknologi digital. Teknologi digital juga akan terus berkembang dan mengalami evolusi dengan sangat cepat sehingga mau tidak mau bank harus terus mengkini-kan teknologi digital ini. Hal ini akan membuat bank digital harus terus mengeluarkan dana yang tidak sedikit.
Pada sisi biaya SDM, jumlah SDM pada area tertentu berkurang akibat digitalisasi, terutama SDM yang bersifat klerikal dan operasional, seperti teller dan customer service. Namun, dari sisi biaya, gaji SDM lebih tinggi karena SDM yang melek teknologi digital masih terbatas sehingga mereka dihargai mahal. Pada beberapa bank digital, peningkatan biaya SDM juga berasal dari jumlah SDM yang terus bertambah seiring dengan volume usaha yang terus meningkat.
Ketiga, biaya promosi yang melonjak tinggi. Misalnya, Bank Jago yang mengalami lonjakan biaya promosi pada 2021 mencapai 763,15 persen dari Rp 11,76 miliar pada 2020 menjadi Rp 101,51 miliar. Begitu pula Bank Neo Commerce yang untuk mempromosikan sebagai bank digital harus merogoh kocek Rp 535,97 miliar pada 2021, meningkat pesat ketimbang 2020 yang hanya Rp 9,7 miliar.
Promosi mau tak mau harus terus digalakkan, selain untuk memantapkan branding bank digital, juga untuk menggaet dan mempertahankan pengguna aplikasi digital bank. Cara ini sama dengan yang dilakukan perusahaan teknologi finansial, seperti Gojek atau Ovo yang terus memberikan berbagai promo, seperti potongan harga ataupun bebas ongkos kirim.
Keempat, risiko kredit yang tinggi, karena umumnya penyaluran kredit bank digital menyasar kredit konsumsi yang tak beragun. Untuk menghadapi risiko yang tinggi, tentunya bank akan membebankan premi risiko kredit yang tinggi pula. Hal ini berimbas pada bunga kredit yang tinggi pula.
Pekerjaan rumah
Ketidakefisienan bank digital sebenarnya bukan soal transformasi digital, melainkan lebih karena faktor skala ekonomis yang belum tercapai. Aset bank digital memang tergolong masih rendah. Akibatnya, manfaat digitalisasi belum kelihatan.
Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi bank digital untuk mengakselerasi skala usahanya melalui penambahan modal. Namun, tentu yang paling cepat adalah melalui merger. Jika skala usaha terus membesar, terutama dalam bentuk penyaluran kredit, pendapatan yang diperoleh akan dapat menutupi biaya operasional, terutama biaya SDM, teknologi informasi, dan promosi. Selain itu, dengan skala yang besar, nasabah akan merasa lebih nyaman menempatkan dananya di bank digital sehingga mereka lebih sering menggunakan aplikasi digital bank.
Bank digital perlu juga segera beroperasi digital secara penuh atau minimal sebagian besar sudah beroperasi secara digital. Upaya ini akan mengurangi kepemilikan aset bank dalam bentuk fisik yang sebenarnya tak diperlukan lagi, seperti kantor cabang, karena digitalisasi bisa meniadakan itu. Bahkan, bila perlu, cukup satu kantor fisik.
Namun, yang perlu diwaspadai, keberlangsungan usaha bank digital mendapatkan persaingan yang ketat dari bank konvensional, terutama dari bank besar.
Namun, yang perlu diwaspadai, keberlangsungan usaha bank digital mendapatkan persaingan yang ketat dari bank konvensional, terutama dari bank besar. Mereka juga terus-menerus meningkatkan layanan digitalnya melalui pengembangan aplikasi digital menjadi super apps, seperti Livin’ dari Bank Mandiri dan Octo Mobile dari Bank CIMB Niaga. Di samping itu, bank besar telah memiliki keunggulan komparatif yang sulit disaingi oleh bank digital.
Mereka telah memiliki ekosistem tersendiri melalui berbagai anak perusahaan yang bergerak di banyak bidang usaha, jumlah pengguna yang telah banyak, dan dukungan aplikasi yang kian berkembang. Bahkan, mereka telah mengembangkan kantor cabang yang fully digital, seperti strategi yang diambil Bank Mandiri.
ArdhienusAnalis Senior di Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Bank Indonesia.