Benang Kusut Ukraina dan Perluasan NATO
Sejak berakhirnya Perang Dingin—yang mengakibatkan pecahnya Uni Soviet— Rusia menjadi sensitif dan alergi terhadap isu perluasan NATO. Keinginan Ukraina menjadi anggota NATO harus ditolak karena dipandang berbahaya.
Perang di Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Ramifikasi dan kompleksitas konflik Rusia-Ukraina ini kian membahayakan dinamika geopolitik global.
Bukan hanya biaya yang harus ditanggung masyarakat internasional akibat korban manusia, kerusakan infrastruktur, ketidakpastian arus pengungsi, masalah krisis energi (gas), hingga meningkatnya kembali perlombaan senjata. Ancaman instabilitas juga mulai terasa di negara-negara di sekitar Ukraina, khususnya di sepanjang perbatasan dengan Rusia.
Pangkal persoalannya adalah tafsiran atas konsep NATO mengenai membership action plan (MAP) yang disepakati pada KTT organisasi ini di Washington pada 1999. MAP adalah program NATO berupa asistensi dan dukungan praktis bagi negara-negara yang ingin bergabung dengan pakta militer ini.
Bagi Rusia, keinginan Ukraina menjadi anggota NATO harus ditolak karena jika intervensi militer terlambat dilakukan, keamanan nasionalnya bagaikan berada di ”ujung tanduk”.
Pangkal persoalannya adalah tafsiran atas konsep NATO mengenai membership action plan (MAP) yang disepakati pada KTT organisasi ini di Washington pada 1999.
Antrean NATO
Partisipasi dalam MAP memang tidak dengan sendirinya memastikan (prejudge) keputusan negara itu untuk bergabung dalam pakta militer itu. Status keanggotaan Ukraina ini harus melalui proses yang ketat, berdasarkan pengalaman proses aksesi Ceko, Hongaria, dan Polandia (1999), tiga negara yang masuk gelombang pertama perluasan NATO pasca-Perang Dingin.
Dalam gelombang kedua, tujuh negara Eropa lain bergabung, yakni Bulgaria, Estonia, Latvia, Lituania, Romania, Slowakia, dan Slovenia (2004). Selanjutnya bergabung pula Albania dan Kroasia (2009), Montenegro (2017), dan Macedonia (2017). Bosnia dan Herzegovina diundang dalam MAP pada 2010, tetapi hingga kini belum memutuskan.
Meskipun MAP diberlakukan secara ketat, dalam kenyataannya, sejak 1999 hingga saat ini keanggotaan NATO telah berkembang pesat dari 12 menjadi 30 negara. Rusia sebenarnya tidak terlalu ”keberatan” dengan perkembangan itu karena sejauh ini negara utama, seperti Kazakhstan, Belarus, dan Ukraina yang berbagi perbatasan, masih ”netral”.
Masalahnya, selain keinginan Ukraina untuk bergabung ke dalam NATO yang menjadi isu utama, saat ini sudah ada sejumlah aspiran NATO lain, seperti Moldova, Swedia, dan Finlandia, bahkan juga Serbia dan Irlandia, serta Georgia yang juga ingin atau tengah dalam proses bergabung dengan NATO.
Tidak dapat disangkal bahwa sejak berakhirnya Perang Dingin—yang mengakibatkan pecahnya Uni Soviet—Rusia menjadi sangat sensitif dan alergi terhadap isu perluasan NATO. Anders Aslund dan Andrew Kuchins dalam bukunya, The Russia Balance of Sheet (2009), menyatakan, dalam standar realpolitik, para pemimpin Rusia mengukur negara-negara sesuai kekuatan dan pengaruhnya (power and influence). Rusia menghendaki negara-negara eks Soviet ”berkonsultasi” dengan Moskwa dalam isu-isu kebijakan luar negeri dan aliansi militer dengan pihak ketiga.
Rusia tampaknya sudah siap dengan segala risikonya, berusaha mencegah upaya pakta pertahanan tersebut, seperti dibuktikan dengan invasinya ke Georgia pada 2008, yang menjadi perang pertama di Eropa pada abad ke-21. Saat ini Rusia masih menduduki 20 persen wilayah Georgia dan tak mengizinkan tim pemantau Uni Eropa (UE) memasuki wilayah kantong Ossetia Selatan dan Abkhazia yang disengketakan.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina di Jalan Buntu
Ramifikasi dan kompleksitas
Masalahnya, seperti halnya yang terjadi Georgia dan Ukraina (dengan wilayah Crimea dan Donbas yang de facto sudah diduduki Rusia), sejumlah negara aspiran NATO itu memiliki wilayah ”kantong” di mana Moskwa berkepentingan. Di Ukraina, misalnya, selain di kedua kawasan selatan dan timur, di barat laut terdapat wilayah landlock Transnistria yang diapit (sandwiched) bersama Moldova, yang secara konstitusi merupakan negara netral. Secara de facto, Transnistria merupakan wilayah independen, tetapi secara internasional diakui sebagai bagian dari Moldova. Sejak 1992, wilayah ini dikuasai kelompok separatis pro-Rusia.
Transnistria, seperti halnya Abkhkasia, Ossetia Selatan, dan Artakh (Armenia), dikenal sebagai kawasan frozen conflict pasca-Uni Soviet. Uniknya, Transnistria selama ini memiliki ikatan dan kerja sama erat di bidang sosial, budaya, dan ekonomi dengan Ukraina dan Rusia serta militer dengan Moskwa. Seperti halnya AS yang sejak lama menempatkan sekitar 1.500 tentaranya di Ukraina dalam rangka program MAP, Rusia juga menempatkan 1.500-2.000 anggota pasukannya di Transnistria, dengan mandat menjaga depot militer peninggalan Uni Soviet di Cobasna.
Karena alasan ini, Direktur Intelijen Nasional AS Avril Haines menyatakan keyakinannya kepada Senat AS bahwa konflik di Ukraina akan berlarut-larut karena ambisi Presiden Putin bukan hanya sebatas menguasai wilayah Donbas (Balkan Insight/BIRN, 11/5/2022).
Sejak awal perang Ukraina, Rusia juga sudah membombardir dan menduduki kota pelabuhan terbesar Odessa, yang jaraknya hanya 160 kilometer dari Transnistria dan 400 kilometer dari Semenanjung Crimea. Sebagai salah satu negara termiskin di Eropa dengan ketergantungan gas 100 persen pada Rusia, menurut Tatiana Kulakevich dari Institute on Russia University of South Florida, Transnistria adalah tempat ideal untuk mengepung Ukraina dari barat laut (The Conversation, 28/4/2022).
Oleh karena itu, Moldova tampaknya tak jadi target mendesak bagi perluasan NATO, bahkan UE, mengingat salah satu syarat utama perluasan adalah kepastian perbatasan (border) dan penguasaan wilayah (territorial control). Setelah ”kecolongan” di Ukraina, sasaran program MAP tampaknya memang diarahkan pada Swedia, dan Finlandia khususnya. Kebijakan open door NATO pada prinsipnya mendukung setiap negara untuk bergabung, tetapi kedua negara ini jadi prioritas karena ”hubungan dan kemitraan militer yang sudah berjalan lama”.
Baik presiden maupun Perdana Menteri Finlandia sudah menyatakan persetujuannya untuk mengajukan permintaan bergabung, ”tanpa menunda-nunda, dengan proses yang mulus dan cepat”; dan disusul Swedia dalam waktu dekat (Newsweek, 12/5/2022).
Isu keanggotaan NATO ini membuat Finlandia berada di simpang jalan.
Sebagian besar anggota NATO secara tersirat sepakat, tetapi Hongaria masih memiliki reservasi dan dikhawatirkan dapat menggembosi (deflating) aspirasi Finlandia. Menurut Katalin Miklossy dari Universitas Finlandia, Presiden Hongaria Viktor Orban dikenal memiliki kedekatan dengan Presiden Putin. Bahkan, Presiden Orban secara terbuka pernah menyatakan keberatannya terhadap keanggotaan Ukraina di NATO dan diperkirakan juga akan meminta syarat-syarat tambahan bagi keanggotaan Finlandia (Wilson Center, 7/4/2022).
Finlandisasi/Ukrainaisasi?
Isu keanggotaan NATO ini membuat Finlandia berada di simpang jalan. Ketika memutuskan bergabung dengan UE pada 1995 setelah Soviet bubar, menurut Robin Forsberg & Jason C Moyer dari Wilson Center, Finlandia dihadapkan pada pilihan sulit mengenai identitas nasionalnya: tetap netral atau jadi bagian kelompok Barat. Kini, pilihannya adalah tetap nonblok secara militer (militarily unaligned) atau bergabung dengan NATO demi keamanan. Indikasinya, kebutuhan pertahanan Finlandia dinilai sesuai (compatible) dengan NATO, sejalan dengan adanya pembelian 64 pesawat jet tempur supercanggih F-35.
Baca juga:Ramai-ramai Telepon Erdogan untuk Ekspansi NATO
Di lain pihak, saat ini Finlandia mengimpor sekitar 60 persen kebutuhan energinya dari Rusia. Finlandia juga memberikan jaminan kepada Rosatom (BUMN energi Rusia), melalui BUMN Fennovoima, untuk membangun PLTN mulai 2023. Selain itu, seperti halnya Ukraina, di perbatasannya terdapat wilayah-wilayah kantong di mana pengaruh Rusia sangat kuat, yaitu Petsamo, Salla, dan Karelia.
Sebagai catatan, pada masa Perang Dunia II, Finlandia yang berasosiasi dengan Nazi Jerman dua kali berperang melawan Soviet. Oleh karena itu, pada masa Perang Dingin, untuk menjaga hubungan baiknya dengan Soviet, Finlandia menerapkan kebijakan netralitas yang dikenal sebagai Finlandization. Dalam netralitas ini Finlandia menerapkan kebijakan luar negeri yang tak akan bertentangan dengan kebijakan Soviet sehingga bisa menikmati ketenangan dalam melaksanakan diplomasinya.
Rusia jelas akan memanfaatkan seluruh wilayah pengaruhnya dari Crimea, Donbas, bahkan hingga Transnistria, untuk mencegah keinginan NATO.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Presiden AS Joe Biden pastinya menyadari bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin tak akan membiarkan Ukraina jatuh ke dalam pelukan NATO meski pasukan AS sudah berada di sana sebelumnya. Rusia jelas akan memanfaatkan seluruh wilayah pengaruhnya dari Crimea, Donbas, bahkan hingga Transnistria untuk mencegah keinginan NATO. Kenyataan lain, Rusia juga memiliki wilayah teritorinya yang terpisah, yaitu Kaliningrad, yang terletak di antara Polandia dan Lituania. Aspirasi negara-negara yang berbatasan dengan Rusia untuk menjadi anggota NATO jelas bukan perkara sederhana, yang kalau gegabah rakyat negara itulah yang menjadi korban, bukan UE, apalagi AS.
Sebenarnya Presiden Finlandia Saulin Niinisto pernah menyatakan, ”Dalam situasi perubahan yang ekstrem, kita harus tetap berkepala dingin” (EU Observer, 4/3/2022). Oleh karena itu, dalam konteks Perang Dingin yang baru saat ini, mungkin tidak ada salahnya kompromi semacam Finlandisasi atau Ukrainaisasi dapat dipertimbangkan sebagai alternatif bagi solusi damai perang di Ukraina. Masuknya Finlandia ke dalam NATO jelas akan menambah kusut benang penyelesaian masalah Ukraina, tetapi juga memunculkan ramifikasi geopolitik yang lebih luas. Rusia, apalagi Putin, jelas tidak akan tinggal diam.
Dian WirengjuritWakil Dubes RI di Rusia (2010-2012), Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional