Sekolah Jangan Gila Belajar
Pendidikan adalah alat untuk membebaskan manusia dari penindasan, bukan tempat untuk menindas siswa guna mendapatkan nilai tinggi. Karena itu, sekolah harus menjadi tempat asyik untuk belajar melalui berbagai aksi nyata.
Pernah jagat maya kita dihebohkan berita tentang seorang anak berumur enam tahun yang depresi. Kabarnya, anak itu berakhir di rumah sakit jiwa (RSJ). Konon, anak itu terganggu jiwanya karena terlalu diforsir belajar.
Saya tak mau membahas apakah berita itu fiktif atau tidak. Saya hanya membicarakan betapa memang arah pendidikan kita sudah semakin gila. Belajar menjadi ibarat kerja paksa dan kejar target sehingga pendidikan sangat mekanis. Anak pun pada akhirnya dipandang sekadar robot, bukan lagi sebagai manusia saja.
Maka lihatlah, sedini-dininya kita sudah memasang berbagai target kepada anak. Anak-anak menjadi mesin mimpi bagi setiap orangtua. Anak bulat-bulat menjadi milik orangtua. Karena milik orangtua, anak tak lagi punya otoritas pada mimpi dan imajinasinya.
Baca juga: Arah Baru Pendidikan
Anak menjadi tubuh yang kosong, bahkan jiwa yang kosong. Tubuh dan jiwa kosong inilah yang sering diisi oleh orangtua untuk mengejar mimpinya. Dengan kata lain, anak menjadi alat orangtua untuk mewujudkan mimpi-mimpinya yang memang pernah tertunda.
Maksudnya, jika dahulu orangtua dendam kepada ayah-ibunya, maka anaknya dibuat menjadi alat untuk melampiaskan dendam itu. Jika orangtuanya dahulu gagal karena salah jurusan, karena kurang kesempatan, karena kurang persiapan, maka orangtua akan mempersiapkan anaknya sekaligus membekalinya dengan senjata. Namun, senjata itu bukan untuk meremukkan musuh-musuh anaknya, melainkan untuk menghunus pedang setiap musuh orangtuanya. Anak menjadi prajurit orangtua. Dalam hal ini, anak serupa menjadi budak orangtua. Mereka menjadi orang lain.
Bukan karena ”passion”
Setidaknya, hal-hal itulah yang sering kami hadapi. Tak jarang, di hadapan kami, anak dan orangtua seperti berantem. Kami, misalnya, akan menyaksikan ketika orangtua akan tetap kukuh dan memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Kami tentu saja tak bisa berbuat apa-apa karena kami bukan pemilik.
Memang, berkali-kali orangtua akan melunak dan mengalah hingga mengizinkan anaknya menjadi dirinya sendiri. Namun, sering kali di balik izin itu ada terselip ancaman. Ancaman itu adalah bahwa anak sama sekali tak bisa gagal dan tak bisa sesal di kemudian hari.
Padahal, kesuksesan adalah deretan dari berbagai kekalahan. Kesuksesan adalah ujung dari kegagalan. Tak ada keberhasilan tanpa kegagalan. Namun, ironisnya, orangtua malah mengancam harus tanpa kegagalan. Maka itu, agar aman, tak jarang anak malah balik mengalah kepada orangtuanya. Dia merelakan dirinya diperbudak untuk menghadiri setiap les walau harus pulang malam larut. Dia merelakan menghabiskan waktunya bukan untuk dirinya. Pada posisi seperti inilah anak disulap menjadi mesin pembelajar.
Seorang anak belajar bukan lagi karena passion (minat), melainkan karena target.
Artinya, seorang anak belajar bukan lagi karena passion (minat), melainkan karena target. Dia melahap buku bukan karena ingin mencecap pengetahuan, melainkan karena ingin lulus ujian. Singkatnya, dia melakoni hidup bukan untuk dirinya, melainkan untuk orangtuanya.
Maka, jadilah anak menjadi pengagum orangtua. Dia terlalu mengagumi orangtua hingga lupa mengagumi orang lain, bahkan dirinya sendiri. Gejala terangnya sudah banyak kita lihat di mana sesama anak sekolah saling menghantam. Atau anak itu sendiri menabung racun di tubuhnya melalui keluyuran, miras (minuman keras), bahkan beberapa berujung pada bunuh diri.
Kenyataan ini semakin diperparah karena sekolah pun tak bisa menjadi alternatif. Sekolah terkadang justru menjadi beban. Belum lagi karena memang adalah fakta bahwa banyak orangtua menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah ternama. Sebab, sekolah demikian akan menyajikan pembelajaran demi pembelajaran dengan gesit. Sekolah begini, bagi orangtua, adalah sekolah terbaik karena mampu menyanggupi hasrat orangtua yang berorientasi target. Sebab, demi menjaga nama tenarnya, sekolah yang demikian akan memaksa anak mendapatkan nilai yang maksimal.
Baca juga: Mengapa Pendidikan di Indonesia Sulit Maju
Akhirnya, sekolah berorientasi nilai sehingga sekolah tak lagi mengajarkan anak bagaimana belajar, tetapi bagaimana mendapatkan nilai bagus. Nilailah yang menjadi fokusnya, bukan siswa, karena nilai bisa dijual kepada khalayak, sementara siswa tidak. Nilai menjadi barang dagangan. Maka itu, di sekolah, anak-anak diperbudak guru untuk mendapatkan nilai-nilai tinggi karena sekolah pun sudah memperbudak guru untuk menghasilkan nilai yang baik. Untuk mendapatkan nilai itu, guru memberikan tawaran kepada siswa melalui remedial, les tambahan, atau menyuruhnya mengikuti bimbel (bimbingan belajar).
Celakanya, tawaran ini tidak beraroma anjuran, tetapi beraroma paksaan. Bagai gayung bersambut, orangtua pun menerimanya dengan senang hati. Orangtua lantas mendaftarkan anaknya ke bimbel. Orientasinya adalah mencari nilai, bukan belajar. Hak anak untuk bermain, bersosialisasi, lalu digantikan dengan pekerjaan baru, yaitu mendapatkan nilai. Kalau tawaran ini tak juga berhasil, pilihan terakhir adalah guru bersekongkol dengan murid dan orangtua. Istilahnya cuci rapor. Di sini, nilai benar-benar menjadi hasil transaksi.
Waktu senggang
Jadi, adalah benar apa yang dikatakan James Marcus Bach bahwa angka-angka yang tinggi ternyata bukan perwakilan dari pembelajaran yang baik. Angka-angka yang jelek pun bukan menjadi cerminan bahwa pembelajaran itu buruk. Ini lalu dikuatkan oleh Alfie Kohn bahwa sebagus-bagusnya nilai tes yang tinggi di suatu sekolah atau distrik, bisa jadi tidak ada artinya. Dan, seburuk-buruknya nilai tinggi sebenarnya adalah berita buruk karena cara pengajaran yang digunakan untuk menghasilkan nilai tersebut.
Maksud saya adalah, betapa memang sekolah kita saat ini menjadi perusahaan pembuat anak menjadi gila belajar, bahkan menjadi toko penjual dan pemonopoli nilai. Sekolah sudah lebih penting daripada lingkungan dan kehidupan itu sendiri. Lebih rinci lagi, sekolah sudah lebih mementingkan nilai ketimbang proses pertemuan guru dengan anak, atau pertemuan anak yang satu dengan anak yang lain. Itu terbukti dari kenyataan bahwa pelajaran akan berakhir pada anak yang tak membawa buku/LKS karena dia akan dihukum atau dikeluarkan.
Baca juga: Kembali ke Makna Pembelajaran
Ini memang sangat menggelikan. Sebab, apakah kehadiran buku lebih penting daripada kehadiran guru, bahkan kehadiran siswa? Atau, apakah itu artinya bahwa ketika anak tidak membawa buku sama saja dengan kenyataan bahwa anak itu tidak hadir? Kalau demikian, tugas guru sebenarnya mengajar anak atau mendata buku? Saya tidak sedang bermaksud mengatakan agar anak tak membawa buku. Akan tetapi, apakah kita harus memaksa anak membawa banyak buku ke sekolah seakan mereka sedang membuat tesis dan penemuan baru?
Sekolah adalah tempat menyenangkan, bukan tempat menggarong hak anak. Justru itu, dari akar katanya, bahasa Latin, yaitu schola(e), skhole, scola, skhola, sekolah adalah waktu senggang. Sekolah adalah waktu rileks. Mengartikan sekolah menjadi tembok-tembok penimbun nilai akan merampas hak anak, memperbudak anak, bahkan membunuh karakter anak.
Padahal, seperti kata Pulo Freire, pendidikan adalah alat untuk membebaskan manusia dari penindasan. Maka itu, ke depan, marilah agar sekolah tidak lagi sebatas menjadi tempat gila belajar. Sekolah harus menjadi tempat asyik untuk belajar melalui berbagai aksi nyata, seperti mengadakan proyek. Dengan itu, anak akan riang bersekolah!
Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan; Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional; Calon Guru Penggerak; Pengurus PGRI Humbang Hasundutan