Solusi masalah pendidikan jarak jauh di masa pandemi ini hendaknya berpijak pada makna pembelajaran. Cara belajar yang dilakukan harus mengacu pada tujuan pendidikan, teknologi hanya alat.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Zikro, guru taman kanak-kanak (TK), mengajar anak didiknya dengan memanfaatkan telepon seluler di ruang kelas TK Kartini, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Senin (10/8/2020). Pandemi Covid-19 memaksa para guru dan siswa belajar dengan sistem daring, tak terkecuali bagi siswa TK.
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah mengizinkan pembukaan sekolah di zona kuning menimbulkan polemik terkait keamanan siswa dari paparan virus korona jenis baru. Melanjutkan pembelajaran jarak jauh banyak kendala. Berkutat pada permasalahan tersebut, melupakan makna belajar yang sesungguhnya.
Peran guru di sekolah memang tak tergantikan dalam proses pembelajaran. Namun, ketika sekolah ditutup untuk mencegah penyebaran Covid-19, peran guru seolah terlupakan karena perhatian tertuju kepada teknologi digital dan akses internet yang sebenarnya hanya salah satu sarana pembelajaran.
”Jarang yang berpikir, sebenarnya makna belajar itu apa. Kita jadi bingung. Semua protes. Siswa merasa tidak belajar, tetapi guru merasa sudah mengajar. Orangtua merasa bahwa tanggung jawab mengajar itu ada di guru,” kata Ouda Teda Ena, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ketika dihubungi, Selasa (11/8/2020).
Ouda mengatakan, belajar tidak sekadar transfer ilmu. Ketika guru menyampaikan materi dan tugas-tugas kepada siswa melalui sarana teknologi digital ataupun dalam bentuk cetak kepada siswa, belajar di rumah melalui program TVRI dan juga RRI baru sebatas menyampaikan informasi kepada siswa. Tidak ada interaksi dan umpan balik dalam proses tersebut.
”Pendidikan itu juga dialog. Distribusi informasi harus diikuti dengan interaksi berupa diskusi atau dialog, serta peneguhan atau pemberian umpan balik yang bermakna. Kalau tidak, informasi yang diberikan kepada siswa hanya menjadi informasi, tidak berubah menjadi pengetahuan,” tutur Ouda.
Teknologi hanya membantu tercapainya tujuan belajar, membantu peristiwa belajar menjadi lebih baik. Jangan keasyikan dengan teknologi dan lupa tujuan belajar.
Hal tersebut yang seharusnya menjadi perhatian untuk mengoptimalkan pembelajaran di masa pandemi ini, sesuai makna belajar dari Ki Hadjar Dewantara. Teknologi hanya membantu tercapainya tujuan belajar, membantu peristiwa belajar menjadi lebih baik. ”Jangan keasyikan dengan teknologi dan lupa tujuan belajar,” kata Ouda.
Tanpa memahami makna pembelajaran, peralatan yang lengkap dan kemampuan menggunakan peralatan secanggih apa pun tak akan dapat mencapai tujuan belajar. Demikian juga kendala akses teknologi dan internet bukan kendala dalam pembelajaran jika memahami makna pembelajaran.
Kompas/AGUS SUSANTO
Siswa dibantu pegawai kelurahan mengerjakan tugas dengan memanfaatkan jaringan nirkabel gratis untuk koneksi internet dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) di aula Kelurahan Jatirahayu, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (29/7/2020). Aula kelurahan tersebut digunakan oleh siswa SD dan SMP untuk PJJ sejak Senin (29/7/2020) mulai pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB. PJJ berlangsung dengan menjalankan protokol kesehatan.
Modal kuat
Dihubungi secara terpisah, Laurentia Sumarni, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan USD Yogyakarta, menambahkan, dalam konteks pembelajaran daring, interaksi guru dan siswa dimediasi dengan alat. Namun, ini tidak akan sempurna jika guru tidak memiliki alat kedua (secondary tools) berupa bahasa, kemampuan berinteraksi, kerangka berpikir, dan berbagi gagasan.
”Kekurangan dalam hal alat dikompensasi dengan secondary tools. Kemampuan menggunakan bahasa, interaksi, dan kerangka berpikir merupakan modal kuat guru karena telah digunakan sejak dulu (dalam pembelajaran tatap muka). Yang membuat panik dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) itu primary tools (teknologi digital). Sayangnya masih banyak yang berkutat dengan masalah ini,” tuturnya.
PJJ, kata Sumarni, tidak akan benar-benar maksimal meskipun banyak pihak sudah melakukan usaha terbaik. Ini harus disadari bersama, termasuk dampak PJJ yang bisa membuat kualitas pendidikan menurun.
”Kita tidak bisa berorientasi pada produk (dalam pendidikan). Namun, dalam proses ini (pembelajaran selama pandemi), banyak kesadaran-kesadaran atau pemahaman-pemahaman baru yang kita dapatkan. Ini mutiara dari peristiwa (pandemi) ini,” katanya.
Selain dimediasi peralatan, kata Sumarni, pendidikan juga dimediasi oleh komunitas, ada pembagian tugas antarpihak terkait. Peran komunitas sangat penting untuk memaksimalkan PJJ. Sejumlah orang dan kelompok sudah melakukannya dengan memfasilitasi internet bagi anak-anak yang terkendala kuota internet.
”Banyak orang sudah bergerak. Jangan langsung berpikir hasil, yang jelas ada usaha dari masyarakat untuk membuat perubahan baik,” katanya. Idealnya, gerakan ini lebih masif karena pasti banyak yang bisa melakukan, termasuk oleh pemerintah dan partai politik.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan, pemerintah berperan mendorong partisipasi publik dalam menangani masalah pendidikan di masa pandemi ini. Partisipasi publik sudah ada, tetapi masih rendah. Namun, terlebih dahulu pemerintah, baik pusat maupun daerah, menunjukkan peta masalah agar publik tahu apa yang dibutuhkan untuk pendidikan.