Peringkat PISA Indonesia konsisten rendah. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, OECD sebagai penyelenggara PISA menyarankan pembenahan dan pemerataan infrastruktur sekolah, bukan mengubah kurikulum.
Oleh
WAODE NURMUHAEMIN
·5 menit baca
Di antara enam peringkat Program Penilaian Pelajar Internasional atau PISA terbawah pada 2018, ada Filipina di peringkat juru kunci. Meskipun Indonesia bernasib sedikit lebih baik karena masih ada di posisi enam terbawah, Filipina boleh sedikit berbangga karena baru pada 2018 mengikuti tes PISA. Sementara Indonesia tidak pernah absen sekalipun, yaitu sejak tahun 2000 sama seperti Thailand dan juga Singapura. Malaysia baru mengikuti PISA pada 2009 dan Vietnam pada 2012, sementara Brunei Darusalam mulai tahun 2018.
Semua negara ASEAN itu posisi peringkatnya berada di atas Indonesia, kecuali Filipina. Negara-negara ASEAN tersebut infrastruktur pendidikannya lebih baik daripada Indonesia. Sebut saja Brunei Darussalam. Meskipun baru sekali mengikuti tes PISA, posisinya ada di peringkat ke-61 dan Indonesia di peringkat ke-74 dari 79.
Semua negara ASEAN itu, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam, memiliki sekolah dengan infrastruktur yang bagus hingga ke pelosok–pelosok negara mereka. Melihat data di atas, menjadi menarik dan menimbulkan satu pertanyaan, apakah hal itu berkorelasi terhadap kemampuan peserta didiknya dalam bidang sains, matematika, dan juga literasi?
Bagaimana Indonesia dan Filipina? Laporan dari Adoracion M Navora, dari Philipine Institute Development Studies, bulan Maret 2022 yang berjudul ”School Infrastructure in the Philippines: Where Are We Now and Where Should We Be Heading” melaporkan bahwa sekolah-sekolah di pelosok masih jauh dari standar kelayakan. Baik dari sarana air bersih, standar keselamatan, maupun akses internet yang sangat tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Laporan itu didukung oleh Louise Moureen Simon, yang menguraikan satu artikel panjang lebar di koran Phil star global berdasarkan laporan dari M Navora di atas.
Bagaimana Indonesia? Sebelum pandemi Covid-19, data tahun 2019, jumlah sekolah rusak semua jenjang di Indonesia 251.316 ruang kelas. Tahun 2021, data ruang kelas rusak masih di kisaran 250.000 unit.
Kurikulum Merdeka
Tahun 2022, tepatnya pada bulan Februari, Mendikbudristek meluncurkan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini diklaim telah berhasil memperbaiki learning loss dan juga bertujuan secara jangka panjang menambal pendidikan Indonesia yang telah gagal selama 20 tahun terakhir.
Masih banyak kontroversi seputar kurikulum ini. Keberhasilan penerapan kurikulum ini adalah dipakai di sekolah-sekolah unggul Kemendikbudristek yang berjumlah 2.500 sekolah, yang dikenal dengan nama sekolah penggerak. Itu pun setiap sekolah mendapat bantuan Rp 100 juta.
Keberhasilan penerapan kurikulum ini adalah dipakai di sekolah-sekolah unggul Kemendikbudristek yang berjumlah 2.500 sekolah.
Tentu saja yang lolos menjadi sekolah penggerak bukan sembarang sekolah. Ada banyak komponen dan kriteria yang harus dipenuhi dan kepala sekolahnya unggul luar biasa. Dengan demikian, tidak berlebihan Kurikulum Merdeka diklaim berhasil diterapkan.
Sedangkan alasan lainnya diterapkannya kurikulum ini karena pendidikan kita jalan di tempat selama 20 tahun terakhir. Tentu saja ini terkait dengan hasil PISA sejak tahun 2000 sampai 2018, konsisten bertengger di peringkat sepuluh besar terbawah.
Menilik Kurikulum Merdeka memang membawa angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia. Kurikulum di negara-negara maju pun demikian adanya. Kita tengah melakukan lompatan luar biasa mengatasi ketertinggalan dengan lebih menumpukan pada kreativitas siswa, guru-guru yang lebih merdeka mengatur jumlah jam mengajar, adanya proyek 30 persen dan kolaborasi lintas mata pelajaran, serta dihapuskannya jurusan IPA, IPS, dan Bahasa begitu menjanjikan masa depan gilang gemilang pendidikan Indonesia. Benarkah demikian?
Mengapa saya mengangkat peringkat Indonesia dan Filipina di PISA tahun 2018 pada pembahasan awal? Peringkat PISA Indonesia dan Filipina sama-sama buruk dan terpuruk. Infrastruktur sekolah juga sangat tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain yang mengikuti tes PISA dan peringkatnya lebih tinggi dibandingkan dengan dua negara ini.
Ada 250.000 ruang kelas yang rusak di Indonesia. Sekolah-sekolah itu bisa dikategorikan sebagai ”sekolah paria”. Sekolah yang tidak bisa memilih dan hanya bisa menerima kondisi yang buruk baik infrastruktur maupun tenaga pengajar. Mereka hanya memiliki sedikit fasilitas yang membuat mereka layak disebut sekolah. Ketiadaan guru PNS, sekolah yang model kandang kambing, dan masih banyak model keprihatinan lainnya.
Kurikulum Merdeka mensyaratkan 30 persen proyek pembelajaran yang hasil akhirnya adalah Profil Pelajar Pancasila. Penerapan kurikulum yang model Barat ini apakah sudah melihat ketersediaan guru di setiap sekolah? Rasio guru dan murid bagaimana? Dengan model kurikulum ini, idealkah satu kelas diisi 40 bahkan 40 lebih siswa dalam satu kelas? Apakah mampu seorang guru mengajar dan melaksanakan proyek dengan maksimal di kelas riuh dan padat?
Penerapan kurikulum yang model Barat ini apakah sudah melihat ketersediaan guru di setiap sekolah?
Di kota-kota besar, kelas rusak dan sekolah tidak layak mungkin tidak banyak. Bagaimana di pelosok? Apakah tidak ngilu ketika kita membicarakan kurikulum modern di sisi lain siswa-siswa dan guru-guru yang tengah belajar di 250.000 kelas rusak dihantui perasaan harap-harap cemas, berdoa semoga sampai akhir jam sekolah mereka tidak tertimpa atap dan gedung yang hampir ambruk? Bagaimana bisa memikirkan pembelajaran yang menyenangkan dan kreatif jika setiap saat mereka harus melalui jam-jam pelajaran dengan kondisi memprihatinkan?
Memakai kurikulum baru sah-sah saja. Kondisi zaman memang berubah drastis. Namun, jangan lupa, setiap siswa berhak menikmati fasilitas sekolah yang layak, dari Sabang sampai Merauke. Peringkat PISA negara ASEAN dengan infrastruktur sekolah yang lebih baik sudah terbukti lebih tinggi dari Indonesia. Untuk meningkatkan peringkat PISA, tidak bisa hanya dengan mengubah kurikulum.
Mari melihat saran OECD sebagai penyelenggara PISA tentang sekolah-sekolah di Indonesia? Bagaimana fasilitas sekolah desa dan kota? Disparitas fasilitas ini malahan menjadi sorotan OECD. Apakah ada saran OECD yang mengusulkan agar Indonesia memakai kurikulum baru? Justru pembenahan dan pemerataan infrastruktur sekolah menjadi salah satu saran OECD.
Sampai saat ini Kemendikbudristek sudah mendeklarasikan episode demi episode Merdeka Belajar dan yang teranyar adalah merdeka dana kebudayaan. Bagaimana merdeka infrastruktur sekolah? Episode berapa akan dideklarasikan?
Bagaimanapun sekolah adalah jantung pembelajaran dan memastikan setiap siswa Indonesia mendapatkan sekolah yang layak, sangat pantas untuk dimasukkan dalam satu episode khusus Merdeka Belajar. Jangan sampai Kurikulum Merdeka hanya bisa diterapkan di sebagian sekolah yang bagus fasilitasnya dan hanya menjadi mimpi untuk sekolah-sekolah paria yang masih bertebaran dan berjumlah signifikan di seluruh wilayah Indonesia.
Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta