Organisasi Profesi untuk Siapa
Organisasi profesi kedokteran sering diwarnai konflik antara kepentingan pribadi dan etika yang ideal. Akhir- akhir ini, pengaruh ekonomi sangat dominan pada asosiasi profesi dan ini bisa menimbulkan masalah etik.
Organisasi profesi, khususnya organisasi profesi kedokteran, akhir-akhir ini menjadi perhatian dan sorotan publik serta beberapa pihak. Hal ini ditengarai dipicu oleh pemberhentian tetap keanggotaan seorang dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena pelanggaran etik berat.
Bagi yang tak memahami benar makna dan esensi dari etika kedokteran yang harus dipatuhi seorang dokter yang telah mengucapkan sumpah Hipocrates, keputusan itu seakan terlalu berlebihan. Namun, ini bisa saja terjadi sesuai dengan ketentuan atau regulasi yang diatur oleh organisasi profesi tersebut.
Sampai-sampai ada yang mengusulkan pembubaran organisasi dokter yang ada di Indonesia, yaitu IDI, organisasi profesi kedokteran yang sudah berumur 72 tahun.
Usulan ini sebenarnya tak perlu muncul seandainya ada pemahaman memadai tentang ciri-ciri, dasar, dan tujuan pembentukan organisasi profesi kedokteran serta untuk siapa organisasi profesi itu dibentuk. Bahkan, selanjutnya, berujung pada munculnya wacana untuk merevisi UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Pradok) yang selama ini sudah cukup baik memayungi praktik kedokteran demi kepentingan dan perlindungan masyarakat.
Revisi suatu UU sejatinya biasa terjadi apabila ada hal-hal substansial dan prinsipiel untuk diperbaiki.
Revisi suatu UU sejatinya biasa terjadi apabila ada hal-hal substansial dan prinsipiel untuk diperbaiki. Namun, usulan jadi tak relevan apabila hanya dicetuskan oleh kejadian pemberhentian seorang anggota organisasi karena pemberhentian tetap atau sementara ataupun sanksi organisasi adalah hal yang lazim terjadi akibat pelanggaran etik di organisasi profesi mana pun berdasarkan AD/ART yang ada.
Apalagi bertujuan untuk mendegradasi peran IDI sebagai organisasi profesi dalam pengaturan dan menjaga jalannya praktik dokter untuk keselamatan masyarakat. Dalam anggaran dasar IDI Pasal 8, antara lain, disebutkan, IDI berupaya membina dan mengembangkan kemampuan anggotanya dengan memelihara dan membina terlaksananya sumpah dokter dan kode etik kedokteran Indonesia.
Baca juga Kolonialisasi Ilmu
Profesi dan organisasi
”Profesi adalah suatu pekerjaan yang butuh dukungan suatu keilmuan (body of knowledge) sebagai dasar perkembangan teori yang sistematis, memiliki banyak tantangan dan karena itu membutuhkan pendidikan dan pelatihan yang cukup lama; memiliki kode etik; serta orientasi utamanya pelayanan dan kepentingan masyarakat.
Flexner dalam tulisannya ”In social work a profession” tahun 1915 menyatakan, aktivitas profesional berdasarkan intelektualitas merupakan karakeristik profesi. Profesi punya tanggung jawab personal, dasar pengetahuan yang kuat, dengan pengalaman praktis dan tak hanya secara akademik dan teoretis; berdasarkan pendidikan profesi menuju kekuatan internal organisasi, dimotivasi oleh rasa sosial yang tinggi, mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang dirinya sendiri.
Berdasarkan ciri-ciri tadi, seseorang hanya dapat disebut sebagai warga profesi (a professional person) jika memenuhi empat ciri berikut: punya keahlian (expertise), bertanggung jawab (responsibility), kesejawatan (corporateness), dan etis (ethics). Jika orang-orang profesional, termasuk dokter, menggabungkan diri dalam asosiasi/organisasi, organisasi yang dibentuk disebut organisasi profesi.
Ini berarti organisasi profesi merupakan kumpulan beberapa orang profesional secara bersama-sama bersepakat untuk mencapai tujuan profesi yang berlandaskan keahlian, tanggung jawab, dan etika. Pembentukan organisasi profesi atau untuk disebut sebagai profesi tak semudah yang diperkirakan orang. Organisasi profesi tak dapat dibentuk atau dibangun dalam waktu singkat tanpa dasar tujuan yang jelas.
Pembentukan organisasi profesi atau untuk disebut sebagai profesi tak semudah yang diperkirakan orang.
Profesi yang menjunjung tinggi profesionalisme tak sama dengan okupasi karena, menurut Tworek (1981), ada beberapa karakteristik profesionalisme.
Yakni: (1) profesi menentukan standar pendidikan dan mereka sendiri. Karena itu ada pemisahan standar pendidikan akademik dan standar pendidikan profesi, (2) pendidikannya juga meliputi pengalaman sosialisasi yang membuat mereka matang, (3) pekerjaan profesi diakui secara legal melalui perizinan, (4) pekerjaan profesi tak saja mendatangkan uang, tetapi juga wewenang dan prestise.
Selain itu, (5) pekerjaan profesi relatif sulit dievaluasi oleh umum, atau oleh orang di luar profesi itu (6) kode etik di kalangan profesi adakalanya lebih keras dari hukum, (7) anggota-anggota organisasi profesi berafiliasi sangat kuat dengan profesinya dibanding pekerjaan lain, (8) pekerjaan profesi biasanya ditekuni seumur hidup. Ahli bioetik, Pellegrino, menulis di jurnal kedokteran Amerika (JAMA) Vol 282 No 10 Tahun 1999, ilmu kedokteran esensinya adalah ”moral enterprise” (medicine is a moral enterprise) dan karena itu asosiasi profesi yang dibentuk harus berdasarkan etik (ethically foundation). Paling tidak apabila dokter membentuk asosiasi/organisasi, harus mengutamakan pelayanan ke masyarakat.
Baca juga Mantan Staf Khusus Terawan Deklarasi Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia
Sayangnya, ini tak selalu terjadi. Adanya agenda ekonomi, komersial dan politik bisa menuntun ke pelanggaran atas kewajiban etis. Dalam perjalanannya, organisasi profesi kedokteran sering diwarnai konflik antara kepentingan pribadi dan etika yang ideal. Akhir- akhir ini, pengaruh ekonomi sangat dominan pada asosiasi profesi dan ini bisa menimbulkan konflik kepentingan dan menyebabkan erosi dasar moral etik pada asosiasi profesi apabila tak dikelola dengan baik.
Dokter dan organisasi profesi
Ketika para dokter membentuk suatu organisasi, maka mereka harus membangunnya secara kolektif dengan kepemimpinan kolektif-kolegial. Mereka menjadi anggota suatu komunitas moral (moral community) yang siap mengabdikan diri untuk mereka yang memerlukan pertolongan, yakni masyarakat.
Oleh karena itu, prinsip-prinsip etik yang diikuti oleh organisasi profesi harus sejalan dengan prinsip etika dokter anggota organisasi itu sebagai individu. Eksistensi organisasi profesi haruslah dapat memproteksi, mendidik, dan mendorong upaya-upaya perbaikan apabila diperlukan. Tanpa komitmen ini, organisasi profesi akan terdegragasi menjadi suatu serikat pekerja atau union.
Ditinjau dari perspektif sejarah, organisasi/asosiasi profesi kedokteran berkembang dari kumpulan dokter yang saling menukar keilmuan dan pengalaman, kemudian membentuk badan untuk membuat regulasi yang peran dan fungsinya berbeda-beda pada masing-masing negara.
Organisasi profesi harus terlibat dalam penyusunan standar pendidikan kedokteran dan pendidikan spesialis-subspesialis (post-graduate), standar pendidikan kedokteran berkelanjutan (CME), sertifikasi dan regulasi, serta isu etik.
Hal ini sebenarnya tak berlebihan karena berlaku secara universal di semua negara di dunia. Di Indonesia sesuai ketentuan UU No 29/2004 tentang praktik kedokteran , standar pendidikan dan standar kompetensi di atas disusun oleh kolegium, suatu badan otonom di lingkungan IDI dan mendapat pengesahan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa dibentuknya suatu organisasi profesi kedokteran pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat melalui praktik kedokteran yang tersandar, kompeten, dan mematuhi etika kedokteran.
Bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, di setiap negara di dunia untuk kepentingan dan keselamatan masyarakat, hanya boleh ada satu organisasi profesi kedokteran sesuai ketentuan organisasi profesi kedokteran sedunia, World Medical Association (WMA).
Sukman Tulus PutraGuru Besar FK-UI, Anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia 2022-2025, Wakil Ketua Umum PB IDI 2006 -2009, Komisioner KKI 2014-2020