Kolonialisasi Ilmu
Reaksi politikus dan elemen masyarakat atas pemecatan Dr Terawan sebagai anggota IDI menandai lembaran baru perjalanan terjal ilmu pengetahuan. Intervensi politik ini merupakan bagian kolonialisasi ilmu yang berbahaya.
Belum lama ini kita dikejutkan oleh reaksi politikus dan elemen masyarakat atas pemecatan Dr Terawan Agus Putranto sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia.
Mereka menuntut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membatalkan pemecatan itu karena penemuan brain washing oleh Terawan bermanfaat atas kesehatan mereka. Mereka juga berargumen bahwa Terawan telah mempertahankan hasil risetnya di depan sidang ujian doktor di universitas ternama dan menerbitkannya di Bali Medical Journal, jurnal ilmiah kedokteran.
Peristiwa ini menandai lembaran baru perjalanan terjal, bukan hanya ilmu kedokteran, melainkan juga disiplin ilmu lain di Indonesia. Ilmu pengetahuan sebagai bagian dari kemajuan bangsa kini berada dalam persimpangan jalan paling berbahaya. Jika intervensi politik ini berhasil, perkembangan ilmu kedokteran dan bahkan disiplin ilmu lain akan mengalami kemunduran ditandai dengan kepincangan, academic inbreeding, dan menutup diri (introvert).
Kolonialisasi ilmu, suatu proses campur tangan berlebihan oleh kekuatan dari luar atas universitas atau asosiasi keilmuan di Indonesia, akan menemukan bentuknya paling sempurna apabila intervensi politik ini berhasil. Hampir semua universitas di Indonesia sebagai wadah ilmu pengetahuan telah lama mengalami kesulitan mengembangkan dirinya karena campur tangan berlebihan kekuatan dari luar.
Ilmu pengetahuan sebagai bagian dari kemajuan bangsa kini berada dalam persimpangan jalan paling berbahaya.
Artikel ini menyatakan bahwa kekokohan masyarakat ilmiah (community of scholars) memainkan peran penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu negara. Kekokohan ini mendorong penemuan baru lewat hasil riset yang telah diterbitkan di jurnal ilmiah kredibel.
Publikasi ilmiah ini pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pengajaran di universitas dan kualitas sumbangannya terhadap kebijakan publik. Dengan kata lain, scientific basedevidence akan melandasi mutu lulusannya dan mutu kebijakan publik di suatu negara.
Ideologi dan konstitusi dunia ilmu pengetahuan
Communalism, universalism, disinterested, organized scepticism (CUDO) merupakan ”ideologi” dan ”konstitusi” dunia ilmu pengetahuan di muka Bumi. Penemuan baru, sekecil apa pun, merupakan kelanjutan dari serangkaian hasil riset terdahulu yang dilakukan ilmuwan lain dan telah diterbitkan di jurnal ilmiah yang menjadi rujukan ilmuwan internasional.
Oleh karena itu, penemuan baru merupakan hasil karya komunitas akademis (communalism) bukanlah hasil karya individu. Ilmuwan tidak boleh berpihak kepada siapa pun dalam menentukan obyek penelitian dan bagaimana menelitinya (universalism). Ia juga tidak boleh memiliki kepentingan politik dan komersial (disinterested) serta terus-menerus mengembangkan analisis kritis terhadap apa yang ia teliti (organized scepticism).
Asosiasi ilmu
Doktrin CUDO ini meletakkan peran strategis komunitas ilmuwan (communities of scholars) dengan keahlian yang teruji dalam mengawasi perkembangan ilmu pengetahuan suatu negara. Mereka adalah penjaga gerbang utama kualitas produksi ilmu pengetahuan.
Di hampir semua negara, mereka terhimpun dalam asosiasi ilmu dengan kegiatan utamanya mengembangkan sub-subdisiplin ilmu agar berguna meningkatkan kualitas riset dan publikasi ilmiah, pengajaran, dan engagement dengan publik. Asosiasi ini bukanlah arena politik seperti yang dapat kita saksikan di masyarakat kita.
Asosiasi ilmu juga memainkan peran penting dalam membahas jurnal ilmiah yang dapat menjadi rujukannya, mendefinisikan mitra bestari (peer-review), membahas peta jalan riset dan pendanaannya dengan kelompok di luar universitas. Posisi tawar mereka berbeda di setiap negara.
Baca juga Dukungan Menguat untuk PB IDI sebagai Organisasi Profesi Tunggal
Asosiasi ilmuwan Jepang, misalnya, memiliki posisi tawar yang tinggi sehingga penetrasi negara dapat dijinakkan terutama dalam pengaturan anggaran riset (Christensen, 2011).
Sebaliknya di Singapura, negara memiliki pengaruh besar, tetapi konstruktif dalam menentukan kualitas produksi ilmu pengetahuan. Negara ini menggunakan sistem meritokrasi dengan mewajibkan setiap ilmuwan menerbitkan karya ilmiahnya di jurnal yang menjadi rujukan ilmuwan di negara maju.
Di Indonesia, hampir semua asosiasi ilmu, kecuali asosiasi ilmu kedokteran, belum mampu berperan sebagai penjaga gerbang ilmu pengetahuan (iptek). Akibatnya, perkembangan iptek mengalami kepincangan. Sungguhpun tergolong masih lemah, asosiasi ilmu kedokteran relatif lebih baik dibandingkan dengan asosiasi ilmu lain di Indonesia.
Mereka mampu secara teratur menyelenggarakan konferensi tahunan, membahas state of the art bidang ilmunya. Pertumbuhan publikasi di jurnal internasional bermutu oleh anggotanya terus meningkat dan menjadi acuan asosiasi ilmu lain. Sungguhpun jarang berhasil menerbitkan karya ilmiahnya di jurnal top dunia seperti Lancet, mereka sepakat pentingnya menerbitkan karyanya di jurnal-jurnal yang menjadi rujukan ahli ilmu kedokteran internasional.
Jurnal ilmiah semacam ini bukanlah jurnal sekadar tercatat di Scopus atau Scimago journal rank.
Kehadiran asosiasi ilmu yang kokoh merupakan prasyarat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu negara.
Sudah menjadi konvensi bahwa penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan hanya akan diakui jika diterbitkan di jurnal rujukan tersebut, karena artikel yang berhasil terbit di jurnal tersebut biasanya telah melalui proses review yang ketat oleh para ilmuwan terkemuka (expert peer-reviewers).
Asosiasi ilmu kedokteran sesungguhnya telah lahir dan berkembang di Indonesia. Negara, politikus, universitas, dan ilmuwan sendiri perlu terus-menurus memperkuat asosiasi ilmu ini termasuk ilmu-ilmu lain. Kehadiran asosiasi ilmu yang kokoh merupakan prasyarat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu negara.
Tanpa asosiasi, substansi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia akan selalu tergantung dari Barat, ilmuwannya tidak memiliki kepercayaan diri, dan tidak mampu mengkritik dan memperbaiki ilmu pengetahuan dari Barat. Universitas sebagai tempat pengembangan ilmu hanya menjadi sarana memindahkan ilmu dari Barat, bukan produksi ilmu yang dihasilkan oleh para dosen.
Tanpa asosiasi, dan di tengah menjamurnya jurnal internasional, ilmuwan dan dosen menerbitkan karya ilmiahnya di jurnal terindeks di Scopus, tetapi belum tentu menjadi rujukan para sejawat di tingkat internasional. Publikasi semacam ini tentu kurang bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Studi Achwan dkk (2020) tentang produksi dan publikasi dosen fakultas ilmu sosial dan ilmu politik di tujuh perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH) se-Indonesia melaporkan sebagai berikut. Rata-rata hanya 1-5 artikel terbit di jurnal rujukan internasional setiap tahun yang dihasilkan setiap fakultas selama sepuluh tahun (2008-2018).
Sebagian besar dosen hanya mampu menerbitkan artikelnya di jurnal yang bukan rujukan sejawat internasional. Produksi pengetahuan semacam ini tentu tidak dapat meningkatkan kualitas pengajaran, riset, ataupun kontribusi kepada masyarakat.
Jika intervensi politik ini berhasil, ilmu pengetahuan di Indonesia bukan hanya bertambah pincang dan menutup diri, melainkan juga mengalami kekerdilan.
Pincang dan kerdil
Intervensi politikus dalam kasus Dr Terawan akan merusak tidak hanya kemandirian asosiasi ilmu, tetapi juga ilmu kedokteran itu sendiri. Ilmuwan kedokteran cenderung tidak termotivasi menerbitkan karyanya di jurnal top dunia karena menerbitkan karya ilmiah di jurnal medioker juga dapat diakui.
Kualitas pengajaran juga akan mengalami penurunan karena rendahnya kualitas hasil riset mereka. Jika intervensi politik ini berhasil, ilmu pengetahuan di Indonesia bukan hanya bertambah pincang dan menutup diri, melainkan juga mengalami kekerdilan.
Pernyataan Panglima TNI baru-baru ini membesarkan hati dunia ilmu pengetahuan. Ia mengungkapkan bahwa TNI akan menerima apa pun keputusan IDI tentang masa depan Dr Terawan.
Rochman Achwan, Sosiolog FISIP Universitas Indonesia