Novel Burung Kayu menyajikan realitas yang selama ini berseliweran di media, baik televisi, maupun media sosial. Konflik perebutan lahan antara penguasa dan yang ‘dikuasai,’ yang katanya demi kesejahteraan dan kemajuan.
Oleh
HUBBI S HILMI
·5 menit baca
Peradaban telah hilang, diganti hanya tontonan. Muturuk tak lagi sakral, berubah hanya sebagai festival. Burung kayu tak lagi tertancap di pohon katuka, ia cukup digantung di sebatang bambu. Tak lagi sebagai simbol penjaga martabat uma dengan bertaruh nyawa, kini sebatas sebagai asesoris penghias panggung belaka. Pun ti’ti’ durukat berganti tato-tato dari spidol para guru di sekolah.
Mengeja Burung Kayu karya Niduparas Erlang menciptakan pemahaman terhadap pesan penting dari kisah yang diungkap dalam buku. Novel yang meraup juara Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2020 dan dinobatkan sebagai ‘Naskah yang Menarik Perhatian Juri’ dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2019 ini bercerita tentang kehidupan satu keluarga pada suatu suku di pedalaman Sumatera Barat. Dibuka dengan sebuah ritual sakral, muturuk dan diakhiri dengan sebuah festival yang dinamai dengan muturuk.
Membaca Burung Kayu, membentangkan kita semesta yang ‘asing.’ Mulai dari cerita, penamaan para tokohnya, penggunaan bahasa-bahasa daerah yang digunakan, aktivitas, hingga latar peristiwa terjadi. Penulis terlihat sengaja tidak menyertakan sejumlah arti, makna, dan sejumlah penjelasan terkait diksi-diksi yang tak akrab dalam Burung Kayu kepada pembaca. Tugas penulis telah usai, tugas pembaca ialah menerjemahkannya – mungkin begitu ucap Niduparas Erlang. Pembaca – terutama saya – dipaksa untuk mencari tahu sendiri arti dan makna sejumlah diksi yang asing itu melalui keterkaitan cerita dan sejumlah aktivitas yang dilakukan para tokoh di dalamnya, semisal muturuk.
Mengeja Burung Kayu karya Niduparas Erlang menciptakan pemahaman terhadap pesan penting dari kisah yang diungkap dalam buku.
Burung Kayu secara umum menceritakan satu keluarga dari satu suku di Mentawai, keluarga Bagaiogok yang setelah menikah disebut dalam novel dengan nama Aman Legeumanai dan beristrikan Taksilitoni yang kemudian dikenalkan dengan nama Bai Legeumanai. Aman Legeumanai meninggal karena pako’ yang dibuat adiknya sendiri (Saengrekerei) karena gagal menyembunyikan seorang perempuan dari uma di seberang. Demi menjaga marwah sukunya, Aman Legeumanai menjalankan pako’ dengan menancapkan burung enggang kayu pada pohon yang paling tinggi dan disebut Kakuta. Namun, ia terpanah dan tewas.
Sesuai dengan hukum adat, Bai Legeumanai (Taksilitoni) istri Aman Legeumanai diharuskan menikah dengan adik iparnya, Saengrekerei. Demi menjaga segala warisan yang ditinggalkan Aman Legeumanai termasuk dendam warisan. Aman dan Bai Legeumanai dianugerahi seorang anak, yakni Legeumanai.
Satu keluarga dalam satu suku ini membawa kita berkeliling dan mengecap sejumlah tradisi dan adat istiadat di pedalaman Mentawai. Satu keluarga ini pulalah yang membawa kita meneroka hal lain yang diselipkan penulis di dalam Burung Kayu.
Membaca Burung Kayu karya Niduparas Erlang, selain membaca tata cara hidup dan kebiasaan para suku yang diceritakan, semisal ritual-ritual, pemujaan, tata cara penyelesaian masalah, hingga dendam yang mesti dirawat dan diturunkan. Kita juga diajak untuk melihat sebuah sistem yang berkesinambungan dan dilakukan demi kemajuan-kesejahteraan.
Yang (di) Hilang (kan)
Simbol kesejahteraan dan kemajuan itu dalam cerita disimbolkan dengan barasi. Masyarakat suku di pedalaman Mentawai dipaksa berpindah dari uma – yang dianggap terbelakang - masing-masing menuju satu tempat yang disebut barasi – semisal perkampungan buatan pemerintah dengan dipimpin oleh kepala desa yang ditunjuk oleh perpanjangan tangan pemerintah, polisi.
Pola hidup masyarakat dari suku setiap uma yang berpindah ke barasi dipaksa berubah, mulai dari sandang, pangan, papan, hingga kepercayaan. Dilarang masuk hutan untuk berburu, ‘dipaksa’ memakan nasi dan melupakan sagu, hingga diwajibkan memilih salah satu dari lima agama yang diakui negara dan kepercayaan mereka sebelumnya tidak diakui negara. Dengan begitu, masyarakat suku tiap uma yang sangat mandiri sebelum pindah ke barasi buatan pemerintah dipaksa bergantung pada pemerintah. Salah satunya ketergantungan akan makanan pokok mereka, nasi.
Salah satunya dengan cara mengirim sumbangan pangan ke berbagai barasi di beberapa lembah, menyeret lagi orang-orang yang kembali ke hulu, dan membuat sebagian penghuni barasi mengalami ketergantungan pada pemberian (hlm.87).
Mereka yang tak punya kompetensi dan lahan yang tak memungkinkan menanam padi, kelimbungan ketika bantuan beras dari pemerintah terlambat datang. Hal ini menimbulkan masalah-konflik baru dalam tubuh masyarakat di barasi.
Dan kini, dihadapkan pada persoalan beras yang tak pernah subur di pulaunya ini, Saengrekeri mesti menuntut dirinya untuk berpikir cepat dalam mengambil keputusan (hlm 87).
Seperti pemaksaan adaptasi baru bagi para suku di setiap uma yang pindah ke barasi. Mereka dicekoki dengan sejumlah gaya hidup yang baru.
Di dusun yang baru, di barasi, mereka benar-benar tercerabut dari uma yang melindungi. Tak ada lagi yang menjadi milik bersama saudara se-uma. Tak ada lagi rimata yang akan memimpin upacara-upacara, puliajiat-puliajiat, dan pesta-pesta (hlm 71).
Pun perihal kepercayaan dan keyakinan, masyarakat setiap suku di barasi diminta untuk menanggalkan keyakinannya dan memilih satu dari lima agama yang diakui oleh negara. Pun kebiasaan mereka membuat ti’ti’ pada tubuh mereka sebagai tanda keberhasilan berburu di hutan dilarang oleh pemerintah.
Di bawah tatapan polisi, tak ada lagi anak-anak muda yang bernyali merajah tubuhnya dengan ti’ti’....
Sebagian mengaku telah menanggalkan agama lama dan menggantinya dengan salah satu agama-baru-resmi-pula (hlm 71).
Meski pada akhirnya diadakan sejumlah event yang menampilkan budaya dan adat istiadat yang telah lama hilang, terasa ada yang janggal dan tentu kadar kesakralan berbeda.
Penghilangan identitas, ‘penggusuran’ masyarakat adat tentu akan berdampak pada tidak keorisinilan dan lestarinya budaya, adat dan istiadat. Meski pada akhirnya diadakan sejumlah event yang menampilkan budaya dan adat istiadat yang telah lama hilang, terasa ada yang janggal dan tentu kadar kesakralan berbeda. Hanya sebagai pertunjukan-pertunjukan yang berorientasi pada keuntungan bukan pada kualitas, apalagi pada penghabituasian masyarakatnya.
Membaca Burung Kayu karya Niduparas Erlang merupakan perwakilan dari membaca keseluruhan problematika masyarakat adat yang diharuskan mengorbankan warisan para leluhurnya, mulai dari lahan, tata cara bertahan hidup hingga keyakinannya. Masyarakat adat dalam Burung Kayu karya Niduparas Erlang merupakan citraan masyarakat yang tergusur karena pembangunan, atas nama kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Membaca Burung Kayu setidaknya membuat saya – mungkin juga pembaca yang lainnya – menyadari bahwa ada yang berkorban – lebih tepatnya dikorbankan – dalam tiap pembangunan, apapun bentuknya.
Terakhir, membaca Burung Kayu menyajikan realitas yang selama ini berseliweran di media, baik televisi, maupun media sosial. Konflik perebutan lahan antara penguasa dan yaang ‘dikuasai,’ yang katanya demi kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Entah bangsa yang mana.
Hubbi S. Hilmi Penulis dan Pengajar di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Khairun, Ternate.