Lahirnya Pengaturan Baru Hutan Jawa
Pemerintah melalui KLHK mengurangi hampir 50 persen luas pengelolaan hutan oleh Perhutani. Hal ini diharapkan dapat membawa implikasi positif bagi pembangunan sektor kehutanan dan keagrariaan nasional.
Sebuah langkah berani diambil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum lama ini. Menteri LHK menerbitkan Keputusan Menteri Nomor SK 287 Tahun 2022 tentang penetapan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus pada sebagian hutan negara yang berada dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten.
Kepmen LHK yang terbit 5 April 2022 ini merupakan kebijakan strategis untuk menjawab krisis ekologi, konflik, dan ketimpangan agraria, serta kerugian ekonomi dalam pengelolaan hutan di Jawa. Selama ini, menanti perbaikan hutan Jawa ibarat menunggu godot.
Kepmen ini terdiri dari dua belas bagian. Dasar penerbitan Kepmen LHK ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, Pasal 112 (ayat 4) menyebutkan penetapan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus ditetapkan oleh menteri.
Baca juga: Perubahan Besar Hutan Jawa
Pada poin menimbang disebutkan, berdasarkan Pasal 125 (ayat 7) PP Nomor 23/2021, kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dilimpahkan penyelenggaraan pengelolaannya kepada BUMN bidang kehutanan ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) untuk kepentingan perhutanan sosial, penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan atau pemanfaatan jasa lingkungan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Apanya yang baru?
Menurut Hardiyanto (2022), selama ini Perhutani memegang monopoli pengelolaan hutan di Jawa. Badan usaha milik negara (BUMN) ini mengelola 86 persen dari total hutan di Jawa, setara dengan 18 persen penguasaan daratan di Jawa yang luasnya 13,2 juta hektar. Wilayah kelolanya seluas 2.433.024,7 hektar dengan rincian seluas 642.075,5 hektar (26,40 persen) berupa hutan lindung (HL), seluas 1.410.422,22 hektar (57,97 persen) berupa hutan produksi (HP), dan seluas 380.527,0 hektar (15,64 persen) merupakan hutan produksi terbatas (HPT).
Melalui Kepmen LHK Nomor 287 Tahun 2022 ini, Menteri LHK menetapkan KHDPK di Jawa seluas lebih kurang 1.103.941 hektar. Dari total areal KHDPK tersebut, dirinci posisinya: untuk Jawa Tengah seluas 202.988 hektar, yang berada pada kawasan hutan produksi seluas 136.239 hektar, dan di kawasan hutan lindung seluas 66.749 hektar.
Penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan Perhutani dikurangi hampir 50 persen dari total luas sebelumnya.
Untuk Jawa Timur, seluas 502.032 hektar yang berada di kawasan hutan produksi 286.744 hektar, dan di kawasan hutan lindung 215.288 hektar. Lalu, Jawa Barat seluas 338.944 hektar yang berada pada kawasan hutan produksi 163.427 hektar, dan di kawasan hutan lindung 175.527 hektar. Sementara untuk Banten, seluas 59.978 hektar, yang berada pada kawasan hutan produksi 52.239 hektar, dan di kawasan hutan lindung 7.740 hektar.
Dengan penetapan luas KHDPK ini, konsekuensinya adalah pengurangan luas kawasan hutan yang dikelola Perhutani. Jika sebelumnya Perhutani mengelola 2.433.024 hektar kawasan hutan di Jawa, dikurangi 1.103.941 hektar, sehingga menjadi 1.329.083 hektar. Penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan Perhutani dikurangi hampir 50 persen dari total luas sebelumnya.
Harapan baru
Penyempitan kawasan hutan yang dikelola Perhutani ini diharapkan dapat membawa implikasi positif bagi pembangunan sektor kehutanan dan keagrariaan nasional. Berikut sejumlah harapan baru mengiringi terbitnya Kepmen LHK Nomor SK 287 Tahun 2022 tersebut.
Pertama, harapan akan terjadinya koreksi mendasar atas manajeman usaha yang dijalankan Perhutani sehingga hanya berfokus pada pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan produksi kayu sebagai kegiatan utamanya. Kerugian yang selalu dialami Perhutani disebabkan karena manajemen yang buruk diharapkan bisa diperbaiki dengan penciutan kawasan hutan yang dikelolanya.
Kedua, adanya distribusi dan redistribusi penguasan tanah dan kawasan hutan kepada pihak yang juga membutuhkan tanah. Dalam hal ini, skema perhutanan sosial dan penataan kawasan hutan dapat memungkinkan akses dan kontrol dari masyarakat dan badan usaha pro-ekonomi rakyat lainnya untuk menguasai dan mengelola tanah dan kawasan hutan yang sebelumnya dimonopoli Perhutani.
Penyempitan kawasan hutan yang dikelola Perhutani ini diharapkan dapat membawa implikasi positif bagi pembangunan sektor kehutanan dan keagrariaan nasional kita.
Ketiga, terbukanya peluang baru bagi penyelesaian konflik agraria antara warga yang hidup di dalam atau di sekitar kawasan hutan di Jawa. Mengingat karakter konflik agraria di kawasan hutan yang dikelola Perhutani selama ini mengalami jalan buntu. Sekarang ini ruang bagi penyelesaian utuh menjadi terbuka melalui berbagai skema yang diatur kepmen LHK tersebut.
Keempat, peluang pengakuan hak kepemilikan warga atas tanah yang sebelumnya berkonflik dengan Perhutani. Penguasaan tanah yang sudah berlangsung puluhan tahun, tempat berproduksinya warga dan berkembangnya budaya masyarakat, bisa diselesaikan dengan penataan batas kawasan hutan sehingga jelas, mana yang bisa dimiliki warga dan mana yang tidak.
Kelima, dapat berkembanganya pusat-pusat produktivitas ekonomi baru di areal kawasan hutan yang selama ini tersandera karena penguasan kawasan hutan yang monopolistik di Jawa oleh Perhutani. Berkembangnya pusat produksi pertanian pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, dan berbagai inovasi masyarakat dan dunia usaha pro-ekonomi rakyat kini menjadi terbuka luas.
Keenam, pemulihan kerusakan ekologi di kawasan hutan Jawa bisa dilakukan secara lebih terencana dan terintegrasi. Kerusakan hutan yang menyebabkan banjir dan longsor dapat dicegah dengan pelibatan sebanyak mungkin pihak untuk mengusahakan tanah dan kawasan hutan melalui KHDPK yang terintergasi dengan fungsi pelestarian lingkungan.
Baca juga: Menanam Jati, Memanen Kesegaran
Ketujuh, mewujudkan keadilan agraria di perdesaan Jawa setelah puluhan tahun mengalami ketidakadilan kronis dalam pemilikan dan penguasaan tanah dan kawasan hutan. Kepmen ini memungkinkan penataan kawasan hutan dengan menimbang kebutuhan eksisting di lapangan hingga pengakuan atas desa-desa, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan permukiman warga.
Tantangan ke depan
Kepmen LHK Nomor SK 287 Tahun 2022 lahir bukan tanpa kritik. Kalangan gerakan sosial yang mendorong transformasi pengelolaan tanah dan hutan di Jawa mengkritik kepmen ini tidak mengakomodasi agenda reforma agraria di dalam kawasan hutan Jawa. Selama ini, penguasaan hutan di Jawa telah menjadi faktor penyebab utama ketimpangan penguasaan tanah yang parah sehingga memicu kemiskinan struktural yang berkelanjutan. Kepmen ini tidak secara terang memasukkan tujuan dan kegiatan reforma agraria di dalamnya.
Kalangan DPR dan sebagian pekerja Perhutani juga mengkitik Kepmen LHK ini, bahkan ada yang tegas menolak. Tentu saja kepentingan politik dari kekuatan-kekuatan di parlemen penting untuk menjadi catatan pemerintah dalam mendorong transformasi penguasaan tanah dan pengelolaan hutan di Jawa ini. Semua kritik penting didengarkan pemerintah agar agenda penataan kawasan hutan dan tanah untuk keadilan dan kemakmuran rakyat tak goyah.
Semua kritik penting didengarkan pemerintah agar agenda penataan kawasan hutan dan tanah untuk keadilan dan kemakmuran rakyat tak goyah.
Menteri LHK sudah mengklarifikasi sejumlah kritik atas kepmen yang ditandatanganinya itu di depan Komisi IV DPR. Menteri LHK kurang lebih menyatakan, penataan kawasan hutan untuk penyediaan tanah obyek reforma agraria melalui pelaksanaan kepmen ini tetap dimungkinkan. Sementara kepentingan politik utama dalam penataan kawasan hutan ini adalah kepentingan politik kenegaraan yang menjadi tugas sejarah untuk menuntaskan sejarah sisa-sisa masa lampau, sejak zaman kolonialisme. Presiden Jokowi pada suatu kesempatan pernah berseloroh, ”Masa Perhutani lebih kolonial daripada kolonial?”
Pemerintah bukan mengurangi kekuasaan Perhutani karena pemerintah tidak pernah menyerahkan luas tertentu dari kawasan hutan di Jawa. Pemerintah pusat lintas kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten (khusus di Jawa) harus kompak dalam menggeser skema pengelolaan hutan sebagai agenda besar yang dilakukan bersama-sama dengan rakyat di desa-desa di sekitar hutan di Pulau Jawa.
Baca juga: Kehutanan dan RUU Cipta Kerja
Setelah mencermati harapan dan tantangan tersebut, lebih jauh kini diperlukan perencanaan alokasi penguasaan dan penggunaan KHDPK secara komprehensif, sistematis, dan berkeadilan. Menteri LHK bersama para Direktur Jenderal di KLHK dan jajaran penting untuk segera membangun komunikasi dan bekerja kolaboratif dalam menyusun perencanaan KHDPK dengan pemerintah daerah, akademisi dan pegiat transformasi kehutanan dan reforma agraria.
Proses perencanaan dan pelaksanaan dari penetapan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus perlu disusun separtisipatif dan sedemokratis mungkin agar lebih berkualitas, kredibel, dan visible dalam praktiknya. Semua ini penting untuk dilakukan agar hutan dan tanah membawa berkah dan kebahagiaan bagi segenap anak bangsa.
Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI; Ketua Dewan Eksekutif IKA Antropologi Unpad, Bandung