Dekonstruksi dan Rekonstruksi Pemikiran Ekonomi Pembangunan
Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi tak selalu menyejahterakan rakyat. Tugas perguruan tinggi untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi pemikiran ekonomi pembangunan agar lebih berbasis kepentingan rakyat.
Dalam dunia perguruan tinggi dikenal konsep tri dharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan merupakan wahana transformasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan yang menghasilkan regenerasi para ilmuwan, teknolog, dan budayawan. Sementara, penelitian adalah wahana pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan sehingga terjadi kontinuitas atau disrupsi keilmuan yang dalam perspektif Thomas Khun disebut adanya anomali menuju terbentuknya teori baru (Khun, 1962).
Lebih jauh, dari masyarakat dapat juga terjadi umpan balik tentang relevansi keilmuan yang berkembang di perguruan tinggi. Dengan demikian, ada semacam siklus keilmuan yang tak hanya bersifat linier dengan adanya ilmu-ilmu yang mapan yang kemudian ditransformasikan lewat mahasiwa dan para lulusannya hanya menjadi follower dan agen negara-negara maju.
Bisa juga siklus itu bersifat penyerapan ”ide-ide kemajuan” yang berasal dari negara maju, kemudian secara proaktif melakukan kritik terhadap keilmuan yang mapan sekaligus merekonstruksi nilai-nilai lokal yang luhur dari bangsanya untuk disintesakan dengan keilmuan yang mapan tersebut. Selanjutnya kemudian menjadi body of knowledge dan teori-teori baru yang pada gilirannya melahirkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang relevan di negara-negara berkembang.
Pendidikan merupakan wahana transformasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan yang menghasilkan regenerasi para ilmuwan, teknolog, dan budayawan.
“Epistemonological trap”
Mahasiswa kita dalam pembuatan skripsi S-1, tesis S-2, dan disertasi S-3 baik di perguruan tinggi Indonesia serta studi di perguruan tinggi luar negeri yang merupakan pengerak ilmu pengetahuan, semua lebih sebagai art (Mubyarto 1990). Dalam arti, riset-riset tersebut hanya berjalan untuk mengulang dan mengokohkan paradigma ilmu pengetahuan yang telah mapan yang notabene tidak lepas dari bangsa yang telah mengontruksi ilmu pengetahuannya. Jadi ada semacam jebakan epistemonologi yang hanya mengulang dan lebih mengokohkan kebenaran teoritis sebuah riset yg berbasis ”masyarakat Barat” (western centralism) yang tidak selalu menguntungkan untuk mencapai kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
Riset-riset yang dikembangkan lebih didominasi teori-teori keilmuan (khususnya ilmu-ilmu sosial dan ekonomi) yang dasar-dasar epistemonologi keilmuannya dikontruksi oleh success stories hasil dari renaissance Eropa. Ini menghasilkan kemakmuran ekonomi yang menjadi cikal bakal terbangunnya peradaban Barat dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Dengan kisah sukses pembangunan Eropa dalam memakmurkan masyarakat bangsanya, maka para ilmuwan modern mengonstruksi ilmu pengetahuan berbasiskan sekularisme, materialisme, dan kapitalisme. Ini mengingat renaissans Eropa memang diawali oleh tiga revolusi tersebut.
Kaisar Perancis Louis XIV yang paling berpengaruh di Eropa masa itu mengadopsi prinsip ”pemisahan agama dari negara” (prinsip sekularisme) mengingat traumatisme Eropa dengan adanya dominasi gereja terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini terkait dengan hukuman terhadap Galileo Galilei, astronom yang mempunyai teori baru bahwa matahari sebagai pusat tata surya yang bertentangan dengan pendapat gereja waktu itu.
Kemudian, dengan prinsip sekularisme tersebut terjadi Revolusi Industri diawali dari Inggris yang menjalar ke seluruh Eropa dan menghasilkan kemakmuran material. Sebelumnya, Eropa mengalami masa kegelapan sehingga bangsa Eropa mengalami kemiskinan yang panjang sekitar 1.000 tahun, dari abad ke-5 sampai abad ke-15 (Mason, 2018).
Baca juga: Industri 4.0 dan Masa Depan Ekonomi Indonesia
Sementara Adam Smith, yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Ekonomi Modern, berdasarkan pengalaman sukses pembangunan ekonomi Eropa yang memakmurkan bangsanya, menerbitkan buku yang sangat legendaris hingga kini yang bertajuk ”The Wealth of Nation”. Buku ini mengungkap rahasia bangsa-bangsa Eropa yang mengalami kemakmuran material, antara lain tentang teori pembangunan ekonomi berbasiskan kapitalisme di mana adanya kebebasan pelaku usaha untuk mengembangkan modal finansial dalam industri tanpa campur tangan pemerintah yang pada gilirannya memakmurkan rakyat secara makro-agregat, tetapi lapisan paling bawah mengalami proses pemiskinan. Dengan demikian, Adam Smith boleh juga dibilang sebagai Bapak Kapitalisme berbasis sekularisme dan materialisme.
Kita juga mencatat dalam sejarah, lewat Revolusi Perancis yang menghasilkan prinsip ”egalitarisasi politik” dengan pemikirnya Motesquieu, merumuskan prinsip politik sehingga terjadi demokratisasi dengan adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah, parlemen, dan peradilan. Prinsip demokrasi politik Montesquieu tersebut menjadi satu paket dengan ekonomi modernnya Adam Smith, kemudian diekspor ke Amerika Serikat.
Maka, pasca-dekolonisasi Dunia Ketiga tahun 1950-an, terjadi tranformasi besar-besaran peradaban Barat terhadap masyarakat dan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Apalagi dengan diadopsinya teori Ragnar Nurske (1953) tentang perlunya modal finansial dari negera-negara Barat terhadap negara berkembang untuk memecahkan ”lingkaran setan kemiskinan” sehingga mengalir deras arus masuk modal finansial tersebut sejak tahun 1960, 1970-an, dan berkelanjutan di era develomentalism (1970-2000) hingga era globalisasi (2000 hingga sekarang).
Jadi, kita pahami yang terjadi bahwa pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang adalah juga berarti westernization, baik dalam arti ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Maka dipahami pula, era kemerdekaan negara-negara berkembang sebagai adopsi secara sistematis prinsip sekularisme, materialisme, dan kapitalisme dalam proses pembangunannya.
Meski ada sejumlah kemajuan dalam pembangunan ekonomi, tetapi terjadi pula ketimpangan sosial, budaya, politik, hingga kerusakan lingkungan. Hal ini karena ada semacam ”jebakan epistemonologis”, di mana bangsa-bangsa di dunia ketiga, umumnya sangat kuat dengan peradaban spiritualisme, nilai-nilai religiositas, dan kekeluargaan yang berasal dari agama dan tradisi positif mereka.
Meski ada sejumlah kemajuan dalam pembangunan ekonomi, tetapi terjadi pula ketimpangan sosial, budaya, politik, hingga kerusakan lingkungan.
Dengan pembangunan ekonomi besar-besaran yang terjadi sebagai adopsi dari prinsip-prinsip westernism, maka secara epistemonologis sering kali bersikap kritis, yakni mempertanyakan mengapa harus menanggalkan nilai-nilai kebajikan lokal (agama, tradisi, dan budaya positif) yang harus serta-merta digantikan oleh peradaban Barat yang tak relevan (individualisme, materialisme, kapitalisme, dan sekularisme)?
Mengapa dengan jebakan epistemonoligis berdampak pada masyarakat negara berkembang yang makin sekularistik, materialistik, dan kapitalistik? Hal itu secara teknokratis karena dalam proses pembangunan sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya (gross domestic product oriented) (Michael Todaro,2006) di mana ciri-cirinya terjadi sentralisasi dan financial driven. Hal itu ditambah dengan bank sentral dan perbankan sebagai engine of growth yang makin mengokohkan GDP oriented karena bersifat branch–banking system yang sentralistik dan menciptakan konsentrasi kapital di ibu kota dan kota-kota besar.
Sistem perbankan menyedot dana pihak ketiga (masyarakat) yang ada di daerah dan perdesaan ke ibu kota dan kota-kota besar dan mengalokasikannya hanya ke sekitar ibu kota dan kota besar, serta sektor-sektor yg sensitif terhadap PDB. Dengan demikian, pembangunan ekonomi menciptakan konsentrasi kapital finansial sehingga makin memperburuk ketimpangan. Apalagi mereka umumnya bersifat rent seekers yang kemudian menjadi pelaku kartel dan pada gilirannya mereka membentuk struktur oligarki.
Tetapi di antara negara-negara dunia ketiga (non-Barat), ada yang melakukan penyempalan (heterodoxi) pembangunan, yakni diawali oleh Jepang dan diikuti sejumlah negara-negara Asia lainnya (terutama Korea Selatan, China, Malaysia, Thailand, dan Turki) yang secara sistematis di satu pihak tetap mengadopsi secara teknis kemajuan Barat, tetapi di lain pihak berhasil keluar dari trap Barat, dengan melakukan penyempalan nilai-nilai fundamental.
Hal itu dengan ciri-ciri secara makro adanya (1) idelogi nasional yang kuat untuk mengahadapi hegemoni negara-negara maju; (2) peran active state yang mampu mencegah akuisisi kaum modal terhadap pasar dan mencegah pemilik modal untuk mengendalikan negara menjadi alat untuk akumulasi kapital dan kepentingan mereka sendiri; (3) indepenensi kebijakan pembangunan; (4) kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan aksi kebijakan berbasis suitainable development; (5) kemandirian pangan, energi, finansial, teknologi, dan pelaku bisnis dalam rangka kepentingan nasional.
Tetapi di antara negara-negara dunia ketiga (non-Barat), ada yang melakukan penyempalan ( heterodoxi) pembangunan.
Kemudian juga, secara mikro dan nilai-nilai lokal, adanya ciri-ciri berkembangnya (1) ilmu sosial dan ekonomi berbasis lokal; (2) teori-teori yang dibangun berdasarkan ontologi, epistemonologi, serta aksiologi yang diangkat dari success stories negara-negara berkembang; (3) proses hybrid antara hasil keterbukaan terhadap teori-teori yang berasal dari negara-negara maju dan teori-teori berbasis keilmuan berasal dari bangsanya sendiri; (4) riset-riset berbasis teori-teori heterodox dan berbasis hybrid; (5) program-program pengembangan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan, teori-teori, dan hasil-hasil riset berbasis kepentingan nasional; (6) teknologi-teknologi tepat guna, inovasi-inovasi, invensi-invensi yang otentik serta memberi solusi kepada rakyat dan bangsanya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Bagaimanapun dengan kondisi masyarakat dan bangsa yang telah dicapai hingga 77 tahun merdeka, proses pembangunan ekonomi di negeri ini kiranya belum mencapai apa yang disebut dalam UUD 1945 dalam Pasal 33 Ayat 3, yakni ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk memakmurkan rakyat sebesar-besarnya”. Indonesia dari pemerintahan ke pemerintahan telah sekuat tenaga untuk melaksanakan prinsip-prinsip konstitusi dalam proses pembangunan ekonomi tersebut, termasuk Pasal 33 Ayat 3 tersebut. Namun, banyak faktor yang menjadi penghambat, termasuk dalam tulisan ini, apa yang disebut jebakan epistemonologis (epistemonological trap) seperti telah dijelaskan di atas. Maka, terutama menjadi tugas perguruan tinggi untuk mengatasinya.
Baca juga: Meredefinisi Misi Perguruan Tinggi
Dalam konteks tulisan ini adalah terutama dalam kaitan dengan tugas tri dharma perguruan tinggi. Dalam ranah pendidikan dan penelitian, dengan melakukan apa yang disebut oleh kalangan ilmuwan French School (Derrida, 2017, Bourdieu, 2016, Foucault, 2001 ), yakni melakukan proses deconstruction (pembongkaran) sekaligus dilanjutkan dengan reconstruction (membangun kembali/merekonstruksi) teori-teori keilmuan sosial dan ekonomi sehingga lebih berbasis kepentingan rakyat (people driven economy dan bukan kepentingan segilintir pemilik modal yang malah membentuk struktur oligarki).
Caranya adalah dengan mengembangkan pendekatan eclectic baik dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun dalam proses pembangunan, yakni dengan cara zig-zag dalam mempergunakan metodologi-metodologi dan teori-teori yang relevan untuk memecahkan masalah masyarakat pascakolonial (postcolonial society). Sementara, indikator-indikartornya adalah terjadinya kemakmuran rakyat sebesarnya (bukan sekadar kemakmuran orang per orang).
Didin S Damanhuri, Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB University