Meredefinisi Misi Perguruan Tinggi
Dengan tuntutan reformasi di segala bidang di Indonesia, perguruan tinggi harus senantiasa bebenah diri. Kuncinya, harus berkontribusi/lebih mampu menunjukkan jati dirinya sebagai institusi ”alternatif” di masa depan.
Perguruan tinggi sebagai penyedia layanan di bidang pendidikan sudah seharusnya menunjukkan performa yang lebih baik, bermutu, dan berkualitas sebagai wujud tanggung jawab dan sekaligus menarik kepercayaan di hati masyarakat. Lebih-lebih seiring dengan tuntutan reformasi di segala bidang di Indonesia, semua lembaga pendidikan tinggi harus senantiasa bebenah diri dan menampilkan citra positif dengan perubahan paradigma baru birokrasi sebagai public servant.
Bagaimana dengan nasib perguruan tinggi di Indonesia saat ini? Disadari atau tidak, meskipun sudah berganti menteri dan kebijakan, sistem perguruan tinggi di Indonesia tampaknya masih jalan di tempat. Semua perguruan tinggi, baik yang di bawah Kemendikbudristek maupun Kemenag, belum optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Oleh sebab itu, semua perguruan tinggi dituntut untuk senantiasa melakukan inovasi, improvisasi, dan terobosan-terobosan cerdas dalam kerangka optimalisasi pelayanan di bidang Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut kepada masyarakat luas.
Agar tetap survive dan mampu berkompetisi dengan perguruan tinggi luar negeri, semua perguruan tinggi harus ikut berkontribusi/lebih mampu menunjukkan jati dirinya sebagai institusi ”alternatif” di masa depan. Selain itu, perlu meningkatkan mutu lulusannya agar mampu bersaing di tingkat global. Tak kalah pentingnya adalah mampu memberikan peningkatan proses pelayanan (public service) yang mendukung ke arah peningkatan mutu yang diinginkan.
Baca juga : Dosen, Intelektual Kampus atau Administrator Pendidikan
Adapun substansi pelayanan publik yang perlu ditingkatkan perguruan tinggi adalah selalu memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat yang memiliki keanekaragaman kepentingan dan tujuan—dalam rangka mencapai tujuan mereka.
Untuk mewujudkan layanan publik secara optimal, perguruan tinggi harus responsif terhadap dinamika semakin menguatnya kemampuan masyarakat, baik melalui mekanisme pasar maupun mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan. Untuk keperluan ini, tidak ada salahnya setiap perguruan tinggi meredefinisi misi yang berbasis kearifan lokal (local wisdom) dan kebutuhan masyarakat. Pengalaman membuktikan bahwa birokrasi yang menghasilkan ”penyeragaman” sering kali tidak cocok dengan situasi dan kondisi pada variabilitas antardaerah/masyarakat yang mempunyai latar belakang berbeda.
Bukankah banyak program unggulan gagal memperoleh dukungan penuh dan partisipasi masyarakat? Karena hal ini, sekali lagi, tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Seharusnya perbedaan kultural, geografis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan yang berbeda dan menuntut program-program pembangunan yang berbeda pula. Selain itu, perguruan tinggi perlu melaksanakan pelayanan publik dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau.
Sinergi
Selain persoalan peningkatan mutu dan public service di atas, terutama sekali dalam melahirkan generasi masa depan yang kredibel, bermutu, dan berkualitas, perguruan tinggi juga perlu serius memikirkan lahirnya generasi ”holistik integratif”. Perguruan tinggi perlu menyinergikan pengembangan ilmu-ilmu umum, agama, dan seni sekaligus.
Perguruan tinggi yang ada di bawah Kemendikbudristek tidak melulu dengan kajian keilmuan yang terkesan sekuler an sich, tetapi juga bisa mengembangkan disiplin ilmu-ilmu keagamaan dan kebudayaan. Dengan demikian, memungkinkan bisa menggambarkan ekspresi dan geliat untuk memadukan berbagai unsur keilmuan, yang biasanya dipandang terpisah dan berlawanan—dalam sebuah pendidikan integratif dan memungkinkan digelarnya ilmu-ilmu yang masuk katagori liberal art, tetapi tidak melupakan ilmu-ilmu keagamaan. Lebih-lebih dengan ration detre untuk menjawab kebutuhan pasar, perkembangan sains dan teknologi dengan tetap berpijak pada kultur masyarakat Indonesia yang agamais.
Sementara perguruan tinggi di bawah Kemenag perlu mengeksplisitkan secara jelas keterhubungan yang bersifat cross displine daripada sekadar interkoneksi yang selama ini telah nyata banyak menimbulkan masalah. Sebab, kalau sekadar menjejerkan dan menghubungkan dua keilmuaan dalam satu institusi—yang memiliki sumber keilmuan berbeda, ke depan dikhawatirkan mengalami sejumlah masalah, seperti bagaimana penyusunan kurikulum, metode, dan penyediaan tenaga ahlinya.
Bahkan bisa jadi, kalau sekadar integrasi dan interkoneksi, dikhawatirkan ilmu-ilmu agama akan mengalami peripheral science alias termarjinalkan dan kalah dengan keilmuan umum. Tetapi, yang perlu dilakukan adalah sebuah dialog dalam posisi yang equal dan komplementer yang memungkinkan antar-ilmu tersebut saling memperkuat dalam konteks pengembanganan ”keilmuan” dan bersifat non-bipolar.
Baca juga : Tridharma PT, Tugas Lembaga dan Individu Dosen
Paradigma keilmuan perguruan tinggi baik yang di bawah Kemendikbud maupun Kemenag ke depan, selain harus menunjukkan ontologi dari hakikat dan struktur keilmuan, epistemologi dari obyek, cara memperoleh dan ukuran kebenaran keilmuan juga harus menunjukkan aksiologi. Kegunaan keilmuan yang diharapkan dan dikembangkan, selain mampu menghasilkan ilmu-ilmu baru yang bersifat teo-antroposentris, juga discovering indigenous science dan memiliki kepedulian terhadap kearifan lokal.
Dengan harapan teo-antroposentis dan berbasis kearifan lokal bisa selalu menginspirasi visi dan misi serta bisa dijadikan sebagai end-in-view setiap perguruan tinggi di Indonesia. Harapannya, perguruan tinggi dengan paradigma pendidikan integral seperti ini akan mampu menjadi institusi yang membiasakan sivitas akademikanya untuk berperilaku sebagai masyarakat global, tanpa tercerabut dari akarnya atau tanpa kehilangan jati dirinya sebagai manusia dengan karakter lokal. Maksudnya tiada lain adalah karakter cendekiawan yang berkepribadian sebagai bangsa Indonesia, yaitu bangsa yang bertalian erat dengan Pancasila sebagai identitas lokal di tengah-tengah gempuran budaya global.
Langkah ini sangat penting segera dipikirkan dan direalisasikan, dengan realitas munculnya sikap-sikap keberagamaan transnasional yang disadari atau tidak telah tumbuh subur di sejumlah perguruan tinggi, sebagaimana hasil penelitian para ahli. Fenomena radikalisme ini sungguh telah menjadi semacam diskursus yang tiada henti dan santer dibicarakan oleh semua pihak. Karena radikalisme agama telah menimbulkan persoalan serius bagi tatanan dan struktur masyarakat Indonesia yang pluralistik dan multikultural.
Fenomena berkecambahnya radikalisme agama perlu diwaspadai oleh setiap perguruan tinggi. Sebagai langkah antisipatif, perlu penyadaran kepada sivitas akademika, terutama melalui pendidikan yang moderat, inklusif, dan berwawasan kemajemukan serta menolak setiap gerakan atas nama apa pun yang secara nyata sangat berlawanan dengan negara kita yang berideologi Pancasila.
Semangat kembali pada penegakan negara khilafah yang terus digelindingkan oleh kelompok-kelompok radikal akibat ketidakpuasan atas sistem yang telah ada dan secara nyata telah mengganggu hubungan mesra antar-agama di Indonesia. Terbukti dari sebagian besar kerusuhan sosial yang terjadi di Tanah Air, hampir semua melibatkan sentimen keagamaan. Persoalan seperti ini akan terus berlanjut manakala tidak dicarikan pemecahan dan mencoba membendung arus infiltrasi jaringan radikalisme agama tersebut yang notabene telah merusak pemikiran anak-anak muda, termasuk para mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi.
Maka, semua perguruan tinggi di Indonesia perlu melakukan upaya penanggulangan merembesnya ajaran-ajaran radikalisasi agama tersebut. Semua perguruan tinggi harus selalu mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai agama yang moderat dan humanis. Hal ini supaya terhindar dan tidak kecolongan dengan ditemukannya sejumlah aktivitas pencucian otak di dalam kampus yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal.
Untuk bisa keluar dari persoalan serius seperti itu dan demi menyelamatkan masa depan generasi muda, semua pihak harus bekerja sama dan saling introspeksi diri dengan mencoba melakukan terobosan-terobosan cerdas guna mengonter semua gerakan radikalisme agama. Dalam konteks ini, perguruan tinggi perlu merealisasikan proses pendidikan yang membekali para mahasiswa berpikir inklusif dan memberikan pendampingan dalam persoalan agama (kalau perlu dengan bekerja sama dengan para pakar/ahlinya), selain membatasi ruang gerak masuknya radikalisme agama, dengan kembali mengorganisasi peran masjid atau organisasi kampus sebagai sarana dakwah/pencerdasan masyarakat.
Baca juga : Masa Depan Pendidikan Tinggi dan Universitas
Perguruan tinggi perlu menawarkan kurikulum-kurikulum yang berbasis kearifan lokal, seperti pengenalan kitab-kitab karya ulama Nusantara yang mampu meningkatkan kebersamaan dan ukhuwah. Tidak ada salahnya, perguruan tinggi meningkatkan keberagamaan mahasiswa dengan keyakinan agama mereka masing-masing dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi.
Tak kalah pentingnya, semua perguruan tinggi perlu mempraktikkan pendidikan antiradikalisme dengan menolak setiap metode pembelajaran yang bersifat doktrinal, monolog, dan cenderung menolak realitas pluralitas. Selain perlu melakukan upaya penguatan masyarakat sipil bagi mahasiswa/sivitas akademika. Dengan demikian, memungkinkan diterapkan pendekatan yang multidisiplin dalam memahami sebuah ajaran agama agar mahasiswa dapat memperoleh pandangan yang luas dan mengerti substansi ajaran agama yang substantif.
Syamsul Ma’arif, Guru Besar dan Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Walisongo