Selamat Tinggal Proletariat
Saat ini Serikat Buruh menghadapi perubahan eksternal yang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Perubahan bentuk kerja konvensional ke arah pekerjaan tanpa hubungan kerja menjadikan hubungan kerja majikan-buruh kabur.

Didie SW
Seymour Lipset (1990) pernah mengatakan, dalam sejarah serikat buruh, kesadaran kelas pekerja jadi faktor penentu aksi serikat buruh.
Itulah sebabnya, tak semua serikat buruh (SB) bisa disebut gerakan buruh. Hanya SB yang memiliki kapasitas sebagai gerakan ideologis-politik yang layak disebut gerakan buruh. Lipset mengutarakan pendapat ini berdasarkan tiga bentuk SB sebagai berikut: Business unionism (SB dengan aksi utamanya membela kepentingan ekonomi buruh di pasar); Guild unionism (SB yang terutama membela kepentingan buruh melawan perusahaan atau manajer perusahaan); dan yang terakhir adalah Labor movement (SB dengan kesadaran kelas melawan dominasi kapitalisme).
Tentu saja proses terbentuknya tiga model SB di atas terjadi dalam sebuah proses waktu yang panjang. Bentuk pertama dan kedua dicirikan adanya pemisahan yang tegas antara organisasi dengan aksi politik dan ideologi. Sementara bentuk ketiga mengharuskan integrasi aksi dengan politik. Dari sinilah awalnya mengapa ada SB yang memutuskan men-dirikan parpol (partai buruh), sementara SB lain tidak. Dengan demikian, di seluruh dunia integrasi gerakan buruh dan parpol hanya terjadi di negara-negara dengan situasi sejarah tertentu.
Saat ini SB menghadapi beberapa perubahan eksternal yang berbeda dari masa-masa sebelumnya.
Partai buruh, misalnya, diterima di negara-negara persemakmuran Inggris (commonwealth countries); di negara dengan tradisi sosial-demokrat yang kuat; dan di negara dengan ideologi komunis. Beberapa negara yang pernah mencoba di luar tradisi di atas selalu gagal membuat partai buruh bertahan.
Perubahan eksternal
Saat ini SB menghadapi beberapa perubahan eksternal yang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Situasi ini memaksa SB melakukan beberapa penyesuaian model aksi. Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam buku Social Dialogue and the Future of Work (2018) mengidentifikasi empat mega-drivers yang mengubah pekerjaan di masa depan: kemajuan teknologi, pergeseran demografi, perubahan iklim, dan globalisasi.
Perubahan bentuk kerja konvensional ke arah pekerjaan tanpa hubungan kerja (pekerja tanpa majikan jelas) menjadikan hubungan kerja majikan-buruh kabur sehingga SB lebih sulit menetapkan sasaran utama perlawanan.
Baca juga G-20 dan Kontrak Sosial Baru
Ini akibat munculnya jenis pekerjaan yang secara definisi mengalami kekaburan pengertian. Secara ekstrem kejadian ini sering disebut sebagai the end of the employment, yakni saat revolusi industri mengaburkan relasi kerja buruh dan majikan. Contoh, munculnya istilah ”kemitraan” atau ”kontraktor bebas” pada bisnis platform digital. Jenis baru peker- jaan ini lahir dari kecerdasan kapitalis- me yang memanfaatkan teknologi, menjalankan bisnis secara lebih efisien, karena bisa mengalihkan sebagian besar ongkos buruh menjadi dibayar mitra kerja.
Misalnya melalui sistem kemitraan sebagaimana dibuat dalam regulasi Indo- nesia di mana orang yang bekerja pada platform, online, start up, dianggap bukan pekerja penerima upah, tetapi dikategorikan sebagai mitra pengusaha. Akibatnya, pemilik aplikasi tak wajib membayar upah minimum buruh, tak perlu membayar iuran jaminan sosial (BPJS), tak menyediakan alat kerja (motor, mobil, komputer), dan tak perlu perundingan kerja bersama, sebagaimana diatur dalam regulasi dasar ketenagakerjaan.
Tetapi, walau SB dibedakan dalam tiga bentuk seperti dijelaskan di atas, tantangan yang dihadapi semua SB umumnya sama, yaitu menghadapi perubahan teknologi dengan perubahan komposisi tenaga kerja; terjadi peningkatan pekerja dengan hubungan kerja terselubung; dan menguatnya kebijakan pasar kerja liberal yang terpaksa diadopsi pemerintah akibat tekanan kompetisi global.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F05%2F01%2F6c0a9de6-8e12-47dd-9692-aeaedf751ea0_jpg.jpg)
Berbagai serikat buruh merayakan Hari Buruh, Rabu (1/5/2019), bersama pemerintah provinsi Sulawesi Utara.
Ini berbeda dengan situasi masa lalu, pasca-Perang Dunia II. Saat itu tantangan utama SB datang dari tekanan rezim diktator yang mengusung kepentingan kapitalis. Saat ini tantangan terbesar datang dari pengaruh revolusi teknologi yang melahirkan disrupsi dan transformasi masif. Dunia secara perlahan didominasi model bisnis berbasis platform digital, sebagai model bisnis baru yang kecenderungannya terus bertumbuh sebagai kebutuhan yang tak terelakkan.
Mengutip Nick Srnicek (2017), situasi di atas terjadi dalam sistem kapitalisme yang tak berubah, yaitu selalu berupaya mendapatkan untung baru, pasar baru, komoditas baru dan cara eksploitasi baru. Dengan meningkatnya tekanan kompetisi global, pebisnis secara konstan terus mencari cara memenangi kompetisi dengan berproduksi lebih efisien, mengurangi biaya produksi secara signifikan, mengadopsi teknologi yang lebih efisien, memilih berinvestasi di negara yang ramah ke dunia usaha (business-friendly) ketimbang ramah buruh (labor-friendly).
Ini senada dengan pendapat Godard (1997) bahwa eskalasi fleksibilitas kerja di sebuah negara tergantung pada tiga hal: tekanan pasar, penataan institusi, dan tingkat intervensi negara. Itu bermakna fleksibilitas sistem kerja akan lebih kecil di negara dengan kebijakan ramah buruh ketimbang di negara penyokong sistem fleksibilitas kerja (state-sponsored flexibility work system).
Itulah sebabnya SB dalam perjuangannya kerap mendesak pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO, sebagai cara mengempas eksploitasi kerja.
Apa yang dulu diingatkan dengan slogan ”buruh bukan barang komoditi” (labor is not a commodity), secara perlahan, menjadi ancaman nyata. Padahal, pernyataan ini dulu diekspresikan oleh ILO dalam kalimat pembukaan pendiriannya tahun 1919. Seluruh konvensi ILO dibuat untuk mencegah terjadinya kompetisi antarpemilik modal dan kompetisi antarpemerintah menuju perlombaan ke bawah (a race to the bottom).
Itulah sebabnya SB dalam perjuangannya kerap mendesak pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO, sebagai cara mengempas eksploitasi kerja. Ini karena, dalam praktiknya, hanya ada dua cara melindungi buruh agar terhindar dari nasib buruk, yaitu melalui legislasi dan perjuangan kolektif buruh (dalam bentuk perjanjian kerja bersama). Bukan karena niat baik pengusaha.
Menuju paradigma dialog
Industri secara perlahan berubah ke arah unit-unit yang lebih kecil dalam geografis yang terpecah, dengan sistem kerja fleksibel. Searah dengan kecenderungan itu, ILO memperkenalkan paradigma baru hubungan industrial, yang dikenal dengan konsep ”dialog sosial”.
Konsep ini dimaksudkan sebagai cara menyelesaikan konflik hubungan industrial, dengan mengubah perjuangan paradigma konflik ke arah perundingan. Dialog sosial dilakukan melalui konsultasi, tukar informasi, dan negosiasi.
Baca juga Pekerjaan Tanpa Perlindungan
Mengapa konsep baru ini diciptakan? Diyakini karena dua alasan. Pertama, terjadi pergeseran akar masalah. Pada era sebelumnya, SB banyak menghabiskan waktu melawan rezim-rezim diktator, yang memberangus kemerdekaan buruh berserikat. Namun, saat ini, sekalipun masih ada rezim buruk, SB lebih sibuk menghadapi operasi korporasi multinasional yang mengembangkan model hubungan kerja terselubung.
Kemudian, muncul tantangan bersama yang mengancam kesinambungan perusahaan dan pekerja akibat transisi iklim dan teknologi. Sebagai konsekuensi dari program penurunan emisi karbon untuk perubahan iklim, banyak perusahaan penyumbang emisi harus tutup sehingga memicu PHK massal. Begitu juga transisi teknologi akan menghilangkan banyak badan usaha konvensional, yang berakibat PHK massal.
Tantangan eksternal ini memaksa pengusaha dan pekerja bekerja sama mencari formula untuk menghadapi transisi iklim dan teknologi yang adil.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F01%2F24%2F28ff3610-5d70-46af-b319-a872c80b07f8_jpeg.jpg)
Hari Buruh - Ribuan buruh dari berbagai organisasi memenuhi Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Minggu (1/5). Mereka datang dari berbagai penjuru tempat, seperti Tangerang, Bekasi, Depok dan Bandung. Kedatangan mereka untuk menghadiri puncak peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Jakarta. Berbagai atribut, bendera dan spanduk turut di bawa para buruh.
Fakta ini menegaskan bahwa peta konflik hubungan industrial di masa depan akan lebih diwarnai dimensi internasional ketimbang isu domestik. Proses adaptasi atas transisi di atas akan lebih sulit dilakukan di negara berkembang karena masih menghadapi tantangan ganda: adaptasi atas transisi dan masih tingginya ketidakpatuhan pengusaha atas hak-hak dasar pekerja.
Sementara di negara maju fokus perjuangan tak lagi urusan hak normatif, tapi program menambah kesejahteraan pekerja. Keharusan melakukan kerja sama bipartit dan tripartit menjadi keniscayaan untuk menyelamatkan pekerjaan dan menghentikan erosi keanggotaan SB. Kerja sama dilakukan dalam tiga aspek: berpartisipasi langsung dalam kesinambungan produksi barang dan jasa; merumuskan pengupahan yang tepat untuk mempertahankan tingkat konsumsi; dan mempromosikan mobilitas pekerja dengan pelatihan kerja.
Bahkan, dalam kasus tertentu, banyak SB mengembangkan usaha bisnis dan koperasi buruh untuk menolong anggotanya mendapatkan barang murah dan bantuan pendanaan bunga rendah. Intinya, serikat ke depan dituntut berperan sebagai mitra ketimbang oposan.
Sebab, tanpa dukungan publik, eksistensi SB akan menuai reputasi buruk di mata publik.
Selain kolaborasi di atas, SB diharuskan membangun aliansi dengan organisasi masyarakat sipil yang memiliki kesamaan nilai perjuangan untuk menguatkan institusi demokrasi dan penguatan relevansi SB di mata publik. Kemudian, keharusan melakukan kolaborasi dengan organisasi buruh internasional untuk penguatan advokasi buruh di perusahaan multinasional. Aliansi dengan aktor ”non-tripartit” penting dalam rangka meningkatkan legitimasi dan citra positif SB ke publik yang lebih luas.
Sebab, tanpa dukungan publik, eksistensi SB akan menuai reputasi buruk di mata publik. Masa depan SB nantinya akan tergantung pada penerimaan sosial, tak semata karena disukai buruh dan pemerintah. Jadi, SB perlu melakukan transformasi peran, dari sekadar membela kepentingan khusus kelompoknya, menjadi mitra utama dalam menjalankan demokrasi ekonomi dan kohesi sosial di masyarakat.
Sebagai bahan refleksi kepada para pejuang buruh, pengalaman sejarah telah menunjukkan tak ada satu masa yang sungguh-sungguh melumpuhkan SB, walau ada masa di saat SB dikooptasi dan ditekan. Perlawanan akan selalu muncul berbanding lurus dengan penekanan. Bahkan, dalam beberapa kasus, revolusi terjadi ketika tekanan yang diberikan penguasa begitu besar.
Kehadiran SB adalah sebuah kebutuhan fundamental buruh, sebagai sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi ekonomi.
Kehadiran SB adalah sebuah kebutuhan fundamental buruh, sebagai sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi ekonomi. Karena itu, tugas sejarah SB adalah memastikan terjadinya keadilan dan kesempatan untuk semua pekerja. Tugas ini akan terus valid di masa depan, sebagaimana sudah berlaku pada abad sebelumnya. Bedanya, tidak lagi dalam perlawanan saling meniadakan, kecuali kita rela digelari sebagai ”accidental proletariat”.
Rekson Silaban Analis Indonesia Labor Institute