Agama sering kali dipahami secara keliru. Kekeliruan itu membuat agama menjadi gelap dan berbahaya. Ramadhan ini sebagai momentum untuk melakukan mawas diri, berharap dapat menghadirkan wajah agama yang lebih sejuk.
Oleh
ABDUS SAIR
·5 menit baca
”Berbicara mengenai agama bagaikan berbicara tentang suatu yang paradoks. Di satu sisi, agama memang sebagai jalan untuk keselamatan dan perdamaian. Namun, di sisi lain, agama justru menjadi sumber kehancuran dan kemalangan. Karena agama, orang bisa saling mencinta. Namun, atas nama agama pula, orang bisa saling membunuh dan menghancurkan” (Sindhunata dalam Kimball, 2003; 13).
Sepenggal kalimat dari Sindhunata di atas cukup menggambarkan keadaan agama belakangan ini. Agama dihadapkan satu realitas sosial yang tampak bertentangan. Di satu sisi, ia sebagai sumber nilai luhur untuk kebaikan, tetapi di sisi yang lain justru menjadi sumber kebencian di antara sesama. Relitas ini memang diakui bukan karena agamanya, melainkan karena pemeluknya atas tarsir terhadap ajaran yang diterimanya.
Di tangan kelompok tertentu, misalnya, agama sangat suci dan menyejukkan. Ia menjadi sumber kebaikan di mana semua orang saling menghormati dan menghargai, saling bekerja sama untuk perdamaian. Namun, di tangan kelompok yang lain, agama justru menjadi busuk yang menjijikkan. Di tangan kelompok ini, agama sering direduksi menjadi cacian dan kebencian.
Yang salah adalah karena agama dipahami secara keliru. Kekeliruan itu membuat agama menjadi gelap dan berbahaya. Kegelapan agama bukan dari dalam (sumber otentiknya), melainkan dari luar (guru dan penganutnya). Carles Kimball (2003) menyebutkan lima sebab agama menjadi gelap, yakni karena klaim kebenaran mutlak (satu-satunya), ketaatan buta terhadap pemimpin karismatik, gandrung terhadap zaman ideal (nabi), menghalalkan segala cara, dan deklarasi perang suci.
Kelima sebab itu bukan tanpa alasan. Dalam konteks Indonesia, ini bisa diterima karena banyak kelompok (aliran) agama yang belakangan mengajarkan agama seperti hitam dan putih. Teks agama diajarkan begitu saja tanpa melalui sumber yang kredibel, termasuk tidak ada penjelasan konteksnya. Klaim kebenaran mutlak muncul dan seringkali berakibat pada penyesatan dan kekesaran terhadap agama atau kepercayaan yang lain.
Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan sikap taklidbuta dari pengikut ke pemimpinnya. Padahal, taklid buta jelas dilarang dalam Al Quran, selain mengabaikan anugerah Allah kepada manusia berupa wahyu, juga karena bertentangan dengan akal sehat, yang meniadakan integritas individu.
Bahaya berikutnya adalah membangun doktrin dan impian, berupa kerinduan terhadap zaman ideal (Nabi) untuk diterapkan ke dalam zaman sekarang. Padahal, ini sangat tidak mungkin. Selain karena perbedaan konteks, juga karena perbedaan persoalan yang dihadapi.
Bahayanya adalah ketika impian itu mulai mau diterapkan. Apalagi ada pemahaman bahwa Tuhan sendiri yang menginginkan, maka menghalalkan segala cara kerap dilakukan, termasuk melakukan ujaran kebencian, pengusiran, bahkan pembunuhan. Pemahaman agama semacam ini sangat berisiko karena kita hidup di tengah heterogenitas yang sangat tinggi.
Bahaya berikutnya adalah membangun doktrin dan impian, berupa kerinduan terhadap zaman ideal (Nabi) untuk diterapkan ke dalam zaman sekarang.
Yang terakhir adalah jihad alias perang suci. Ketika kesalahan sistematis memahami agama di atas terus direproduksi, maka akibatnya sangat fatal. Mereka memekikkan perang suci. Jaminannya adalah surga. Surga kemudian diobral layaknya materi-materi duniawi, di mana untuk mencapainya tidak harus melalui cara suci dan sunyi.
Beberapa kesalahan di atas menjadi tantangan tersendiri bagi agama sebagai institusi sosial, termasuk bagi organisasi keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, untuk terus menjadi keeper kerukunan. Sebab, di yang sama ini, pelbagai masalah masih kita dihadapi, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak, sulitnya minyak goreng, penolakan isu tiga periode, tingginya kekerasan di Papua, dan residu persaingan politik yang tak kunjung selesai. Walau ini bukan penyebab utamanya, agama sering disangkutpautkan.
Modal mencegahnya
Mencegah perkembangan dogma teologi di atas memang tidak mudah, apalagi di alam demokrasi sekarang ini. Orang bisa dengan bebas mempelajari apa pun tentang agama, termasuk mempelajari ajaran di atas. Di tambah lagi perkembangan media yang membuat semua orang dapat mengakses informasi di mana dan kapan saja. Ajaran dogma di atas bisa masuk ke ruang privat setiap orang melalui media informasi yang telah ada.
Tantangan yang kedua adalah kita dihadapkan pada iklim pluralisme yang amat kuat. Tak hanya agama sebagai institusi, tetapi juga teologi sebagai ilmu pengetahuan. Iklim pluralisme ini seringkali telah menjadi pemicu munculnya perilaku dan semangat partikular-eksklusif.
Iklim pluralisme ini seringkali telah menjadi pemicu munculnya perilaku dan semangat partikular-eksklusif.
Namun, Indonesia telah memiliki modal yang amat kuat untuk melawan perkembangan dogma teologi di atas. Pertama, seperti yang ditulis Edward Delman (2016) dalam artikelnya, ”ISIS in the Worlds Largest Muslim Country, Why are so few Indonesians joining the Islamic State?”.
Indonesia telah memiliki pengalaman panjang menangani masalah perkembangan teroris dan kelompok jihadis itu, mulai awal kemerdekaan, seperti Darus Islam, hingga pascareformasi, seperti Laskar Jihad, dan Jamaah Islamiyah. Pengalaman ini menjadi modal bagaimana pemerintah menangkal ajaran itu dengan melibatkan berbagai pihak melalui berbagai pendekatan.
Kedua, Indonesia punya organisasi masyarakat (ormas) keagamaan yang sangat moderat, seperti NU dan Muhammadiyah. Kedua ormas ini memiliki pengikut yang sangat besar dengan sikap toleransi yang sangat tinggi. Indonesia tentu diuntungkan karena kedua ormas ini telah mengajarkan umatnya menjadi agen perdamaian. Sikap dan cara berpikir ormas ini juga telah menjadi kunci bagaimana mencegah gerakan radikal semacam ISIS.
Namun, pemerintah tak boleh enteng. Di saat yang sama, pemerintah juga harus meningkatkan perekonomian dan mengurangi angka kemiskinan. Sebab, kemiskinan adalah pupuk radikalisme. Lewat kemiskinan, ajaran radikal itu bisa tumbuh dengan pesat. Apalagi mereka sering kali memanfaatkan kemiskinan itu untuk merekrut banyak anggota. Walau radikalisme tidak identik dengan terorisme, hubungan keduanya begitu dekat seperti dekatnya kemiskinan dengan kefakiran.
Berangkat dari sini, di bulan Ramadhan ini, sebagai momentum untuk melakukan mawas diri, berharap dapat menghadirkan wajah agama yang lebih sejuk, yang dapat menumbuhkan semangat persaudaran dan solidaritas sosial.
Wajah agama yang demikian ini sangat diharapkan karena merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia yang sedang menghadapi banyak tantangan. Kuncinya adalah bagaimana agama-agama kita sebagai instansi sosial tidak menuntut kebenarannya sendiri-sendiri, tetapi bagaimana agama-agama itu dihadirkan untuk menyumbang kebenarannya satu sama lain demi Indonesia yang maju dan damai.
Abdus Sair,Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya; Mahasiswa S-3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga