Semua agama adalah untuk mengasah spiritualitas dan menekankan pentingnya pembumian kasih sayang. Idul Fitri sangat tepat dijadikan momen pembumian Islam sebagai rahmat bagi semesta.
Oleh
ABD A'LA
·5 menit baca
Kehadiran Idul Fitri kali ini sangat tepat untuk dijadikan momen pembumian Islam sebagai rahmat bagi semesta, khususnya umat manusia. Hal ini urgen untuk dilakukan karena keberagamaan yang kita jalani terkadang masih jauh panggang dari api. Ada kesenjangan cukup lebar antara nilai agama dan realitas keberagamaan kita sebagai umat beragama.
Sejatinya Islam dan agama apa pun pasti meletakkan keluhuran etik-moralitas sebagai dasar ajaran agama yang niscaya membingkai pikiran, sikap, dan perilaku kita. Namun, kita terkadang, atau bahkan sering, membiaskan dengan menjadikan agama sebagai pembenar kepentingan sempit yang berseberangan dengan kepentingan bersama.
Alih-alih menjadikan agama sebagai sumber pencerahan dan kendali diri, orang dan kelompok tertentu justru membiaskannya sebagai penguatan identitas diri yang dilawankan dengan identitas di luar diri dan kelompoknya. Kenyataan di sekitar kita menyuguhkan betapa politik identitas diri demikian menguat dan diperalat untuk mendukung keinginan dan kepentingan diri sendiri dan kelompok.
Fenomena yang kemudian berkecambah adalah keberagamaan yang terkelupas dari etika moralitas luhur. Keberagamaan yang menjadikan orang atau kelompok yang tidak sejalan, apalagi berseberangan dengan diri dan kelompoknya dianggap sebagai musuh dengan segala implikasi yang mengiringinya.
Agama dan politik identitas
Sebermula sekali, agama apa pun hadir untuk sumber keluhuran moralitas dan spiritualitas umatnya. Memodifikasi ungkapan Karen Armstrong (2000), semua agama adalah untuk mengasah spritualitas dan menekankan pentingnya pembumian kasih sayang. Menjadi manusia yang berguna bagi sesama, alam semesta, dan meraih kebahagian hakiki di alam sini dan alam sana merupakan misi hampir (kalau tidak semua) agama dan tujuan akhir umat beragama.
Namun, nilai-nilai spritualitas dan kasih sayang memudar, terutama saat kehidupan didera pragmatisme, egoisme, dan nilai-nilai sejenis. Tanpa mengabaikan sumbangannya yang demikian besar dalam kehidupan, modernitas dengan rasionalitas yang diusungnya senyatanya juga memiliki dampak buruk, terutama dalam pemudaran spiritualitas dan menumpulnya nurani.
Berdasarkan kepada analisis Arendt, MacIntyre, dan lainnya, Roxanne L Euben (1999) menyatakan dunia modern menandakan terjadinya kemerosotan dan pemiskinan moralitas. Sejalan dengan itu, krisis otoritas juga menguat karena hegemoni individualisme (juga kelompok, pen) dalam berbagai aspek kehidupan demikian dominan.
Menyikapi kelemahan dan dampak buruk modernitas, tidak semua orang atau masyarakat mampu menelorkan jawaban yang mencerahkan dan penuh kearifan. Alih-alih, sebagian orang dan masyarakat merekayasa agama sebagai sarana untuk melawannya. Melalui pemaknaan teks suci dan ajaran agama secara harfiah, parsial, dan ad hoc, mereka menjadikan agama sebagai pembenaran untuk pandangan dan tindakan mereka melawan dunia modern.
Mereka memangkas hakikat spiritualitas yang bersifat moral universal transenden dari ajaran agama dan mereduksi agama sebagai dasar teologis mereka untuk melawan modernitas.
Mereka memangkas hakikat spiritualitas yang bersifat moral universal transenden dari ajaran agama dan mereduksi agama sebagai dasar teologis mereka untuk melawan modernitas, termasuk Barat sebagai pengusung utamanya. Bahkan dengan ekstresmisme keberagamaan ini, mereka juga menjadikan musuh orang dan umat yang seagama yang religiusitasnya tidak sejalan dengan pandangan mereka.
Salah satu wujud dari keberagamaan semacam itu adalah pengentalan politik identitas. Agama, termasuk Islam, dijadikan oleh sebagian kelompok sebagai dasar, sarana, atau tujuan dalam mengembangkan pemikiran dan gerakan perseteruan yang dihadapkan dengan pemikiran dan gerakan lainnya.
Menurut Clarissa Rile Hayward dan Ron Watson dalam Identity and Political Theory (2010), pengusung politik identitas dapat melakukan mobilisasi massa dan memperkuat solidaritas kelompok sendiri. Pada saat yang sama, politik semacam itu dapat membakar mereka untuk bersikap atau dan berperilaku agresif terhadap kelompok di luar mereka dan dapat sangat membelenggu kebebasan kelompok lain.
Agama memang bukan satu-satunya unsur dalam politik identitas. Etnis, budaya, jender, dan sejenisnya juga dijadikan penanda. Namun, fenomena yang berkembang selama ini, terutama di Indonesia, agama menjadi unsur utama dalam pengembangan politik identitas dan pada saat yang sama, etnis dan budaya cenderung dilekatkan kepada agama tertentu sehingga kian mengentalkan terjadinya politik identitas.
Penguatan politik identitas senyatanya selain bertolak belakang dengan visi dan misi agama itu sendiri, juga sangat rentan memecah belah masyarakat dan meretakkan keutuhan bangsa. Karena itu, peneguhan keberagamaan sesuai dengan ajaran agama yang mengedepankan moralitas dan cinta mendesak untuk ditumbuhkembangkan.
Keberagamaan penuh rahmat
John D Caputo (2001) menyatakan, agama masa depan meniscayakan agama (keberagamaan) cinta, apalagi kalau membaca fenomena agama khususnya kondisi kekinian yang sering dijadikan pemicu dalam konflik, bahkan juga aksi kekerasan. Maka, nilai kasih sayang dan sejenisnya dalam agama menjadi tidak terelakkan untuk diperteguh dan dilabuhkan secara kokoh.
Pengembangan keberagamaan yang alfa-omeganya kerahmatan meniscayakan pengenalan dan pengamalan agama secara holistik. Pendidikan agama tidak cukup sekadar bersifat pengajaran, apalagi hanya kognitif. Pendidikan agama perlu diletakkan dalam kerangka pengembangan aspek kognitif dan afektif; pada penumbuhkembangan intelektualitas, spiritualitas, dan emosional. Pendidikan agama di sekolah dan pendidikan tinggi tidak bisa hanya formalitas dan terbatas pada mata pelajaran dan kuliah agama semata. Nilai dan ajaran luhur agama perlu menjiwai seluruh proses pendidikan dan pengajaran.
Berlabuhnya keberagamaan yang kental dengan kasih sayang diharapkan dapat memberikan sumbangan berarti bagi Indonesia ke depan. Melalui keberagamaan ini, seluruh unsur bangsa, pemerintah, dan rakyat bersama-sama menyelesaikan persoalan dengan strategis, tuntas, dan penuh kearifan. Semua tidak saling mencari kesalahan, apalagi saling menghujat, tetapi berkomitmen mengembangkan dan mengislahkan kehidupan dalam bingkai keadilan, transparansi, kedamaian, dan kepentingan bersama di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Dalam perspektif itu, Islam yang sebermula sekali hadir sebagai rahmat, kasih sayang, untuk semesta alam menjadi urgen diperteguh pembumiannya dalam kenyataan konkret. Idul Fitri menjadi saat yang sangat tepat karena hari raya senyatanya manifestasi kemenangan umat Islam atas keberhasilannya mengendalikan diri dari segala niat, pandangan dan perilaku tercela, dan kemampuan mereka untuk menebar moralitas luhur, terutama kasih sayang dan kedamaian, dalam kehidupan.
Abd A’la, Khadim Pesantren Annuqayah Latee Sumenep; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya