Polemik Laporan HAM Amerika
Laporan HAM Amerika hendaknya tidak direspons secara defensif. Pemerintah seharusnya mau mendengar dan membuktikan jika laporan itu tidak benar.

-
Publik diramaikan oleh perdebatan tentang laporan mengenai hak asasi manusia dan demokrasi Indonesia setahun terakhir oleh Pemerintah Amerika Serikat. Apa sebenarnya yang dipersoalkan dan apa efeknya buat Indonesia?
Sebenarnya laporan tersebut merupakan laporan yang secara rutin dibuat dan dirilis tiap tahun. Kementerian luar negeri di sejumlah negara mencatat perkembangan situasi HAM di negara lain, dalam hal ini termasuk Indonesia. Laporan itu menjadi bahan masukan bagi kebijakan luar negeri mereka terhadap negara yang termasuk dalam laporan.
Dalam laporan terbaru AS, berbagai isu hak asasi manusia, mulai dari kekerasan dan pelanggaran HAM di tanah Papua hingga dugaan pelanggaran hak atas privasi dan data pribadi dalam aplikasi Peduli Lindungi tergambar di laporan tersebut. Laporan itu menjadi salah satu sumber bacaan yang bisa memengaruhi persepsi dunia kepada Indonesia.
Baca juga: Capaian dan Tantangan Hak Asasi Manusia
Efeknya buat Indonesia adalah persepsi komunitas internasional khususnya para diplomat yang memang bertugas untuk memantau situasi di luar negara mereka, dalam hal ini situasi HAM di Indonesia pada tahun yang dilaporkan.
Mengingat posisi Indonesia sebagai anggota Dewan HAM, rasa-rasanya laporan ini kembali menjadi salah satu cermin situasi HAM di Indonesia. Beberapa bulan lalu, Human Rights Council PBB juga berkirim surat ke Pemerintah Indonesia, menegur soal pelanggaran HAM di Papua.
Jadi ketika ada beragam pihak menyuarakan soal pelanggaran HAM di Indonesia dan lantas ditanggapi secara defensif, tentu ini membuat kita bertanya-tanya, sumber mana yang menjadi rujukan Pemerintah Indonesia?
Alih-alih meluruskan fakta, cara-cara bereaksi yang hanya menyangkal dan menyerang hanya akan mencoreng reputasi Indonesia di mata komunitas internasional. Apalagi selama ini ada penilaian bahwa Indonesia selalu bersikap defensif jika itu menyangkut pelanggaran HAM, padahal sudah banyak pihak yang menyuarakan mengenai pelanggaran HAM ini. Indonesia pun kerap bersuara atas situasi pelanggaran HAM di negara lain. Toh itu bukan masalah.

Peserta aksi menyampaikan protes terhadap dugaan pelanggaran HAM di Papua saat demonstrasi di Bandung, Selasa (17/9/2019)
Bukan hal baru
Tentu saja, Indonesia saat ini bukan satu-satunya negara yang tengah mengalami situasi HAM yang memburuk. Temuan yang diungkap dalam laporan AS itu sebenarnya juga bukan hal baru. Banyak organisasi dam lembaga sudah menyuarakannya selama beberapa tahun terakhir, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, KontraS, Walhi, hingga Human Rights Watch dan Amnesty International.
Akhir Maret lalu, misalnya, Amnesty International merilis laporan tahunan mengenai situasi HAM di dunia, termasuk di Indonesia. Dalam laporan itu, kami menunjukkan bahwa kondisi HAM berada di bawah tekanan penguasa dan pengusaha, yang juga relevan untuk konteks Indonesia. Jadi bisa disimpulkan sendiri apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah Indonesia. Dengan teguran dan kritikan bertubi-tubi, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia mau ”mendengar”.
Dengan teguran dan kritikan bertubi-tubi, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia mau ’mendengar’.
Masa jabatan kepresidenan Jokowi tinggal dua tahun lagi, artinya waktunya sudah semakin sempit untuk rezim beliau menuntaskan janji pemilu. Ini bukan perkara mudah atau tidak, tetapi mau atau tidak. Daftar sudah banyak bermunculan, apakah perlu seribu lembaga, organisasi, atau bahkan 170 lebih negara lain di dunia untuk mengingatkan pentingnya penegakan HAM?
Sayangnya, publik dihadirkan oleh respons penyangkalan dan bahkan ”serangan balik” dari Menko Polhukam, Kemenlu, dan PDI-P? Sebenarnya ini bukan hal baru. Dalam Sidang Majelis Umum PBB ketika Vanuatu mencermati pelanggaran HAM di Papua, Pemerintah Indonesia bersifat defensif. Ketika laporan Komisi HAM PBB masuk, respons serupa juga muncul.

Saya pikir, ”action must speak louder than words”, buktikan saja jika memang laporan itu tidak benar. Atau sebaliknya, buktikan jika Pemerintah Indonesia sudah menginvestigasi dan menuntaskan pelanggaran HAM yang disebut dalam laporan itu.
Reaksi yang defensif dari pejabat negara sebenarnya tak diperlukan. Laporan itu bukan sebuah pernyataan Pemerintah AS yang mengecam atau mendesak Pemerintah Indonesia terkait situasi HAM yang dilaporkan. Laporan itu sifatnya deskriptif, menggambarkan situasi HAM di Indonesia, termasuk dinamika antara negara tersebut dan organisasi masyarakat sipilnya.
Bagian laporan yang menyebutkan soal aplikasi Peduli Lindungi yang ramai dipersoalkan itu sebenarnya bukan berisi pernyataan AS ke Indonesia. Namun, itu merupakan catatan AS atas sikap organisasi non-pemerintah di Indonesia yang memantau situasi Covid-19 di Indonesia dan menilai aplikasi tersebut diduga mengandung pelanggaran HAM, khususnya hak atas privasi dan data pribadi.
Pemerintah semestinya dapat menjelaskan bahwa aplikasi tersebut sangat aman karena telah diproteksi oleh teknologi tertentu.
Atas gambaran ini, pemerintah semestinya dapat menjelaskan bahwa aplikasi tersebut sangat aman karena telah diproteksi oleh teknologi tertentu. Pemerintah dapat menjelaskan apakah pengambilan data itu telah melalui mekanisme hukum yang benar dan apakah pemerintah dapat menjamin bahwa data itu tidak akan disalahgunakan. Pemerintah juga bisa menjelaskan bahwa siapa saja warga negara yang khawatir akan penyalahgunaan data pribadi tersebut dapat menempuh upaya tertentu yang dilindungi oleh pemerintah.
Sayangnya, respons para pejabat justru memperlihatkan pertanda menurunnya situasi demokrasi dan HAM. Mereka seolah menampik ada pelanggaran HAM dan melemahnya demokrasi. Kalau ada pejabat atau politisi yang marah, malah terdengar aneh dan terkesan belum membaca laporan.
Bukan lagi pertanda buruk, tetapi ini artinya ada upaya untuk melanggengkan impunitas yang selama ini terjadi. Saya tidak mengatakan bahwa sepuluh tahun ini tidak ada kemajuan dalam urusan penegakan HAM, tetapi harus kita akui bersama bahwa impunitas masih terjadi. Dan ini, jika pejabat negara terus berkoar-koar bawah HAM di negara ini baik-baik saja tanpa mau melakukan otokritik, ini akan menjadi kemunduran untuk Indonesia.
Baca juga: Menegakkan Keadilan untuk Paniai
Sebaiknya Pemerintah Indonesia berbesar hati untuk mendengarkan masukan mengenai situasi HAM di negara ini dan tidak lagi mengeluarkan respons yang membawa penyangkalan apalagi menyerang balik tanpa menunjukkan perbaikan konkret. Cara seperti itu sangat melukai korban dan keluarga dari peristiwa pelanggaran HAM. Setelah itu, langkah yang penting juga adalah menghentikan kriminalisasi atas segala upaya penegakan hak secara damai yang dilindungi hukum internasional.
Jangan ada lagi warga yang menjadi tahanan hanya karena bersuara atau mengkritik dengan damai. Berikutnya, Pemerintah Indonesia bisa membuka akses bagi Komisi HAM PBB mengunjungi lokasi-lokasi pelanggaran HAM.
Laporan itu seharusnya memudahkan kita untuk membenahi sektor HAM apa yang mendapat sorotan dan perlu perhatian. Laporan ini perlu menjadi pengingat bagi pemerintahan Jokowi bahwa janji-janji saat kampanye pemilu lalu belum ditunaikan dengan baik. Laporan itu seharusnya dilihat sebagai saran dan masukan yang positif bagi perbaikan situasi HAM di Indonesia.
Usman Hamid, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI); Direktur Amnesty International; dan Dewan Pakar Perhimpunan Advokat Indonesia

Usman Hamid