Polri Mengawal Keadilan dan Kepastian Hukum Perempuan Indonesia
Implementasi dari UU TPKS akan berdampak pada pemenuhan tugas pokok Polri. Pembenahan perlu dilakukan, dimulai dari hulu hingga hilir, dari sistem pelaporan, penyelidikan hingga pencegahan dari kasus kekerasan seksual.
Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah tahap awal dari perjalanan panjang yang harus ditempuh bangsa Indonesia. Tantangan di depan mata adalah bagaimana menerapkan dan menginternalisasi nilai dan semangat UU TPKS dalam keseharian masyarakat.
Pada konteks penegakan hukum, undang-undang (UU) ini perlu menghadirkan kepastian hukum dengan menjamin hak dan keadilan penyintas kekerasan seksual, mulai dari proses penerimaan laporan hingga penetapan keputusan pengadilan.
Kepastian hukum dan penjaminan hak tersebut sangat mendesak karena kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Indonesia dalam situasi darurat. Catatan Tahunan 2021 Komnas Perempuan menunjukkan tren kenaikan kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kurun 12 tahun terakhir. Mirisnya, laporan kasus kekerasan seksual menempati peringkat kedua (1.983 kasus) setelah kekerasan fisik di ranah relasi personal.
Salah seorang penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menerima laporan dari seorang anak berusia delapan tahun yang terbata-bata menceritakan dirinya dicabuli orang dekatnya. Tidak hanya sekali, derita itu dialami berkali-kali. Penyidik mematung terpaku, tidak tega menggali trauma luka anak tersebut tetapi saat bersamaan harus melengkapi berkas laporan.
Setelah mengonfirmasi pada pendamping bahwa tidak mengapa cerita dilanjutkan, penyidik kembali bekerja untuk memastikan anak tersebut mendapat kepastian hukum.
Kisah pilu tersebut merupakan potret nyata dari berbagai laporan yang diterima oleh penyidik Polri setiap hari.
Kisah pilu tersebut merupakan potret nyata dari berbagai laporan yang diterima oleh penyidik Polri setiap hari. Data yang dikumpulkan oleh Bareskrim pada 2021 mencatat, sebanyak 63.396 kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak telah berhasil diselesaikan dengan tingkat penyelesaian kasus sebesar 79 persen.
Situasi darurat ini adalah permasalahan sistemik yang perlu kita hadapi dan benahi bersama, tidak cukup hanya dengan meluapkan kekesalan dan mengutuk keadaan.
Realitas ketimpangan relasi kuasa
Permasalahan sistemik ini dapat dipahami sebagai dampak dari ketimpangan relasi kuasa yang telah mengakar dalam masyarakat selama puluhan tahun. Ketimpangan relasi kuasa tersebut telah membentuk pola pikir (mindset) masyarakat yang cenderung mengabaikan hak-hak perempuan. Kondisi ini tidak ideal dan harus dibenahi secara berkelanjutan.
Namun, sebelum berbenah kita harus menyadari dan mengakui bahwa anggota Polri yang merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum, tidak terpisahkan dari masyarakat. Sehingga norma dan nilai yang terbentuk dalam masyarakat secara tidak langsung memengaruhi mindset polisi.
Baca juga Tidak Percuma Lapor Polisi
Seorang polisi juga merupakan seorang istri/suami, ibu/ayah, dan bagian dari warga yang berperan aktif dalam masyarakat saat sedang tidak bertugas. Polisi bukan superhero yang imun terhadap berbagai prasangka gender yang ada di masyarakat, tetapi juga tidak menjadi pembenaran atas tindakan anggota polisi yang kurang disiplin. Kompleksitas permasalahan di lapangan dalam menangani kasus kekerasan seksual harus dipahami secara menyeluruh dengan semangat memberikan masukan yang konstruktif bukan destruktif.
Garda terdepan
Pengesahan dari UU TPKS pada 13 April 2022 menjadi momentum penting bagi seluruh institusi penegak hukum, tidak terkecuali Polri. UU TPKS memiliki peran sebagai wadah hukum yang lebih komprehensif dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Perluasan dari alat bukti, penambahan cakupan tindak pidana yang diatur, seperti kekerasan seksual berbasis elektronik, penjaminan penghapusan jejak digital untuk korban, dan kasus kekerasan seksual, tidak dapat diselesaikan secara keadilan restoratif, menjadi beberapa poin penting yang menjamin keadilan bagi korban.
Implementasi dari UU TPKS akan berdampak pada pemenuhan tugas pokok dan fungsi pada Sub Direktorat Remaja, Anak, dan Wanit (Subdit Renakta) hingga Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
Polri harus mampu beradaptasi dan bertransformasi. Pembenahan perlu dilakukan, dimulai dari hulu hingga hilir, dari sistem pelaporan, penyelidikan hingga pencegahan dari kasus- kasus kekerasan seksual. Segenap penyidik, terutama penyidik PPA harus memiliki pemahaman yang menyeluruh terhadap implementasi UU TPKS dalam memenuhi tugas pokok dan fungsi mereka sehari-hari.
Masih ada jalan panjang untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum untuk seluruh perempuan Indonesia. Salah satu langkah konkretnya adalah menyiapkan sumber daya Polri melalui Staf Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (SSDM Polri) sebagai unsur pengawas dan pembantu Kapolri pada tingkat Markas Besar.
Hal ini dimulai dari penambahan kuantitas penyidik Polwan, dan peningkatan kualitas penyidik melalui pelatihan, pendidikan responsif gender serta sertifikasi penyidik menjadi beberapa bentuk konkret yang diharapkan mampu meningkatkan kapasitas SDM dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Segenap penyidik, terutama penyidik PPA harus memiliki pemahaman yang menyeluruh terhadap implementasi UU TPKS dalam memenuhi tugas pokok dan fungsi mereka sehari-hari.
Banyak korban yang belum merasa nyaman, aman, dan berani untuk melaporkan kasusnya kepada polisi. Pada bagian ini, polisi perlu melakukan pembenahan dan membentuk upaya-upaya yang dapat menimbulkan rasa aman bagi korban untuk melapor.
Selain itu, polisi perlu mengedukasi masyarakat mengenai sistem pelaporan yang sudah ada, agar dapat memudahkan masyarakat dalam melapor ketika menemukan atau mengalami tindak kekerasan seksual. Dengan demikian, angka kasus kekerasan seksual dapat tergambar secara nyata.
Pada saat yang sama, polisi perlu meningkatkan kualitas pelayanan agar dapat turut meningkatkan tingkat penyelesaian kasus yang ada. Dalam hal ini, kita perlu menelaah serta meningkatkan kompetensi yang dimiliki oleh para penyelidik dan menambah wawasan mereka. Penyidik diharapkan mampu mengidentifikasi mengenai faktor-faktor yang berperan dalam kekerasan seksual sehingga dapat memberikan penanganan yang optimal.
Baca juga Meneguhkan Kembali Polri ”Presisi”
Meningkatkan rekrutmen polwan
Keterwakilan perempuan di Polri terutama di Unit Renakta dan PPA terus didorong untuk meningkatkan pelayanan dan perlindungan penyintas kekerasan berbasis gender serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang hak perempuan.
Perhatian pertama adalah meningkatkan pelayanan dan perlindungan penyintas kekerasan berbasis gender yang merupakan salah satu prioritas Unit PPA Polri dalam penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum. Kehadiran penyidik polwan memberikan perhatian khusus kepada kondisi fisik, psikis maupun kebutuhan pemulihan korban dalam proses pelaporan kekerasan seksual.
Selanjutnya adalah meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai hak perempuan, terutama ketika terjadi tindak pidana kekerasan seksual.
Polisi secara umum dapat membantu penguatan di sektor non-negara seperti tokoh adat dan tokoh agama karena terdapat kecenderungan masyarakat melapor masalah hukum kepada sektor non-negara.
Namun, kehadiran polwan dapat memberikan penekanan pada hak-hak perempuan ketika berinteraksi dengan masyarakat melalui pendekatan kepada istri tokoh adat dan istri tokoh agama yang sulit dilakukan oleh polisi laki-laki. Pendekatan seperti ini sangat penting karena korban sering kali merasa takut dan malu untuk melapor, maka peran pihak-pihak yang dipercaya dalam hal ini tokoh perempuan di masyarakat menjadi sangat penting.
Diharapkan penguatan tokoh perempuan dalam masyarakat yang dipercaya dapat membantu untuk meneruskan pelaporan masalah hukum dan mendorong akses terhadap keadilan yang lebih luas.
Sinergi Polri dengan berbagai Institusi
Di sisi lain, Polri terus bersinergi dengan berbagai pemangku kebijakan, seperti akademisi/pusat penelitian, LSM, serta lembaga bantuan hukum atau perlindungan korban.
Hal ini dilakukan dalam rangka menghadapi berbagai jenis kekerasan seksual yang kian hari kian kompleks. Bentuk kerja sama ini diharapkan bisa memberikan pemahaman lebih utuh terhadap kekerasan seksu- al, sehingga informasi ini bisa membuka ruang dalam mening -katkan kinerja polisi di bagian pelaporan, penyelidikan, dan pencegahan kekerasan seksual.
olri sebagai ujung tombak penegakan hukum sipil di Indonesia, dituntut untuk mengambil peran aktif dalam menyikapi pengesahan UU TPKS.
Pada saat yang sama, SSDM Polri mampu membuka ruang untuk kerja sama dengan instansi lain dalam rangka mempermudah pendampingan korban serta pemulihan korban, dan meningkatkan upaya promotif serta preventif kasus kekerasan seksual. Dengan demikian, penguatan-penguatan ini diharapkan menjadi langkah awal yang baik untuk menghapus kekerasan seksual pada perempuan dan anak, dan pada akhirnya mampu meningkatkan rasa aman serta legitimasi Polri di mata masyarakat.
Polri sebagai ujung tombak penegakan hukum sipil di Indonesia, dituntut untuk mengambil peran aktif dalam menyikapi pengesahan UU TPKS. Tidak ada keputusan yang paling benar dalam situasi genting seperti sekarang ini, tetapi yang jelas salah adalah tidak mengambil keputusan apapun.
Polri mengambil keputusan untuk hadir di garda terdepan pelaksanaan UU TPKS dalam memastikan setiap perempuan di Indonesia mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Mari kita ingat kembali bahwa hakikat polisi selalu siap sedia mengayomi, melindungi, dan dan melayani masyarakat.
Wahyu WidadaAsisten Kepala Kepolisian RI Bidang Sumber Daya Manusia