Memaknai Indonesia sebagai Tuan Rumah Hari Pariwisata Dunia 2022
Tema Hari Pariwisata Dunia 2022: Rethinking Tourism sangat tepat bagi Indonesia dalam mencari dan menggali konsep, kebijakan, kelembagaan, norma, dan nilai bangun pariwisata Indonesia.
Untuk pertama kali sejak menjadi anggota Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNWTO (1975), Indonesia akan menjadi tuan rumah Hari Pariwisata Dunia 2022 yang bertema”Rethinking Tourism”. Pada saat yang sama, Indonesia sedang gencar melancarkan strategi 10 destinasi prioritas di luar Bali, kemudian ada lima destinasi superprioritas.
Pemerintah memang telah memosisikan pariwisata sebagai sektor strategis dan memerintahkan para pembantunya untuk mendukung pembangunan kepariwisataan yang makin lama makin riuh. Pariwisata memang bersifat multidimensi dan pembangunannya memerlukan koordinasi pada segala tingkat untuk mengintegrasikan program satu dengan lainnya; yang bernaung di bawah berbagai/banyak kementerian.
Perhelatan Hari Pariwisata Dunia akan dilaksanakan di Bali, yang juga merupakan pusat penyelenggaraan berbagai pertemuan dunia terkait kepemimpinan Indonesia dalam G20 tahun ini. Sejak puluhan tahun yang lalu, pemerintah menempatkan Bali sebagai simpul internasional Indonesia—dalam perkembangan kepariwisataan, baik dari sisi jumlah kunjungan maupun keunggulan dalam inovasi penciptaan berbagai jenis produk. Simpul yang dapat menjadi pusat bisnis pariwisata nasional dan menyebarkannya ke berbagai penjuru Nusantara. Fungsi distributif ini sudah dicanangkan sejak milenium yang lalu. Sebagai destinasi kelas dunia, Bali dengan daya dukung dan daya tampung yang bukan tak terbatas; tidak perlu memassalkan pariwisatanya demi kelestarian alam-budayanya, tetapi menyalurkannya ke tempat lain.
Baca juga: Pesan Pariwisata Berkelanjutan dari Ubud
”Rethinking Tourism” sebagai tema sungguh sangat tepat bagi Indonesia dalam rangka dampak pandemi yang mendunia, tetapi juga kenormalan baru dalam mencari dan menggali konsep, kebijakan, kelembagaan, norma, dan nilai atau bangun pariwisata Indonesia sebagai landasan perumusan visi kepariwisataan yang seiring dengan visi Indonesia 2045: berdaulat, maju, adil, dan makmur. Tema ini perlu diterjemahkan ke dalam perencanaan dan program nyata yang dilaksanakan dengan konsisten, taat asas dan hukum, mengikuti dinamika perkembangan kepariwisataan dengan sofistikasi yang makin tinggi.
Pertama, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 perlu ditinjau, dimutakhirkan, dan disempurnakan kembali untuk benar-benar dapat menjadi payung besar pembangunan kepariwisataan Indonesia. Turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan 2011-2025 juga perlu diremajakan. Dinamika pariwisata Indonesia selama 10 tahun terakhir sebelum Covid-19 serta dampak akibat pandemi tersebut menuntut adanya kajian, monitor, dan evaluasi terhadap berbagai rencana yang ada, termasuk yang di daerah, termasuk format dan efektivitasnya.
Kedua, bentuk kelembagaan yang bertanggung jawab untuk menangani kepariwisataan nasional—dalam hal perumusan kebijakan dan pengelolaan pembangunan, termasuk monitoring dan pengendalian yang perlu dibedakan dengan tugas penyelenggaraan. Lembaga pemerintah yang menangani kepariwisataan sejak awal kemerdekaan masih terus berubah-ubah. Perubahan yang menanggung biaya ekonomi maupun sosial.
Lembaga pemerintah yang menangani kepariwisataan sejak awal kemerdekaan masih terus berubah-ubah. Perubahan yang menanggung biaya ekonomi maupun sosial.
Perubahan tersebut juga berdampak terhadap kelembagaan di tingkat daerah. Provinsi Bali dan DIY dengan dinas pariwisata, seperti juga Kota Yogyakarta, Kota Denpasar, atau Kabupaten Badung. Sementara daerah-daerah lain memiliki nomenklatur yang beragam, warisan nomenkaltur penyesuaian dengan kementerian yang lalu, seperti dinas kebudayaan dan pariwisata di banyak daerah; dinas pariwisata dan ekonomi kreatif mengikuti nomenklatur masa kini atau mungkin bertahan sejak nomenklatur tersebut dipakai di tingkat nasional periode 2012-2014. Bahkan pernah ada dinas kebudayaan, pariwisata, pemuda dan olahraga, atau dinas perhubungan dan pariwisata serta banyak variasi lain lagi.
Ketiga, sudah sejak puluhan tahun, indikator keberhasilan terfokus kepada jumlah kunjungan/perjalanan dan pengeluarannya. Baru sejak awal milenium, selain pengeluaran berbagai indikator ekonomi lain dihitung melalui Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas): juga dampak terhadap output, PDB, pajak tak langsung, dan penyerapan tenaga kerja.
Selain angka nasional tersebut, mengingat perbedaan multidimensi antardaerah, diperlukan juga Nesparda, paling tidak untuk Bali dan destinasi prioritas atau destinasi lain yang meskipun tak disebut sebagai prioritas, tetapi punya peran penting yang berada di sejumlah provinsi/kabupaten/kota. Perhitungan juga perlu dilakukan secara berkala untuk melihat dinamikanya.
Keempat, mengarusutamakan pariwisata Nusantara dan produk lokal. Pada awal 1980-an, statistik pariwisata Nusantara mulai diterbitkan. Jumlah perjalanan dan nilai pengeluaran secara keseluruhan, serta berbagai indikator ekonomi seperti yang disebut sebelumnya, sebagai dampak pengeluaran wisatawan Nusantara ternyata selalu lebih dari wisatawan mancanegara (wisman).
Baca juga: Target Bangkit seperti Sebelum Pandemi
Meskipun demikian, wisatawan Nusantara (wisnus) ini kurang mendapat perhatian, kecuali pada masa sulit saat wisman enggan hadir; seperti yang dialami setelah 1998 dan selama pandemi terakhir ini. Dampak ekonomi pengeluaran wisnus juga lebih menyentuh UMKM dan produk lokal. Kebocoran ekonomi yang tinggi dalam operasi hotel jejaring internasional serta pengeluaran warga Indonesia yang melakukan perjalanan ke LN tidak banyak dibahas.
Indonesia perlu melihat semua itu secara menyeluruh dalam menyusun kebijakan dan strategi pengembangan kepariwisataan untuk mendapatkan manfaat yang optimal. Selain itu, pariwisata Nusantara menyandang peran penting lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara—mengenal Tanah Air dan masyarakatnya yang heterogen. Tidak terbatas kepada para pemimpin/pejabat pemerintahan, tetapi masyarakat umum juga penting untuk mengenal perbedaan antardaerah dan budayanya.
Kelima, terkait dengan identitas dan karakter lokal yang sering kali dilupakan; banyak cagar budaya Indonesia di daerah-daerah yang belum terdaftar/diakui atau dalam kondisi telantar dan bahkan musnah karena terbakar atau rusak termakan usia. Pada sisi lain, kita melihat makin banyaknya ikon impor didirikan di sejumlah kota, bahkan sampai ke perdesaan, bahkan ada yang sampai dituntut karena menjiplak rancangan dari luar negeri. Selain cagar budaya, banyak taman nasional dan lingkungan alam yang diakui UNESCO sebagai World Heritage. Namun, dari sisi lingkungan alam Indonesia belum mendapat nilai baik dari UNWTO, justru karena kasus kebakaran hutan, perambahan, dan lain sebagainya.
Menjawab kebutuhan
Keenam, rethinking terhadap pendidikan dan litbang kepariwisataan, yang mencakup pendidikan vokasi maupun pendidikan akademik. Ini untuk menjawab kebutuhan, tidak hanya yang terkait dengan hospitality, tetapi juga yang terkait dengan analisis kebijakan, perencanaan kepariwisataan yang multi/transdisiplin, yang berbeda dengan perencanaan (penyelenggaraan) pariwisata, pengelolaan destinasi pada berbagai jenjang lokal, regional, nasional; pengelolaan bisnis pariwisata yang makin beragam, dan seterusnya.
Pemetaan terhadap penyelenggaraan pendidikan pariwisata/kepariwisataan yang sudah makin beragam penting dilakukan dalam rangka perencanaan pengembangan sumber daya manusia-menyusun peta jalan pengembangannya untuk menggapai keinginan pemerintah dalam mewujudkan perkembangan pariwisata Indonesia yang berkualitas pada masa mendatang. Melalui pendidikan dan penelitian, diharapkan pariwisata Indonesia dapat menemukan sosok yang tepat.
Ketujuh, terkait dengan percepatan pembangunan kepariwisataan, berbeda dengan wisata perdesaan yang makin populer, wilayah perkotaan yang memiliki peran penting belum mendapat perhatian khusus. Selain ibu kota negara dan provinsi, banyak kota yang menyimpan potensi pariwisata, seperti Berastagi, Balige, Parapat, Sibolga, Bukittinggi, Sawahlunto, Martapura, Magelang, Salatiga, Surakarta, Malang, Batu, Tuban, Kudus, Makale, RantePao, Pare-Pare, Larantuka, dan Maumere. Selain itu, keberadaan tim percepatan pariwisata bahari yang makin populer yang dilakukan dalam periode kepemimpinan yang lalu justru tidak dilanjutkan.
Terkait dengan percepatan pembangunan kepariwisataan, berbeda dengan wisata perdesaan yang makin populer, wilayah perkotaan yang memiliki peran penting belum mendapat perhatian khusus.
Kedelapan, meningkatkan daya saing, tidak hanya sebatas ukuran dukungan pemerintah yang dikuatkan melalui berbagai kebijakan, dan pemosisian sebagai sektor strategis, harga yang murah dan bebas visa yang makin luas, tetapi juga peningkatan daya saing melalui, antara lain, peningkatan kondisi lingkungan bisnis maupun lingkungan alam; meningkatkan kualitas dan kuantitas cagar budaya untuk mendapat pengakuan dan penghargaan dan bukan teguran internasional. Daya saing pariwisata Indonesia bukan tergantung dari kuantitas sumber daya wisata alam maupun budaya, melainkan kondisi dan nilai keistimewaan, yang perlu dijunjung tinggi dan dikelola dengan penuh tanggung jawab.
Kesembilan, perubahan cara pandang. Pariwisata Indonesia selama ini lebih banyak dibicarakan sebagai sektor (ekonomi) andalan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar, dengan penduduk besar, beragam dan tingkat kemajuan ekonomi yang tumbuh/berkembang, menghadapi masalah multidimensi perlu mendudukkan pariwisata dalam posisi yang sesuai dengan tantangan yang dihadapi.
Dapatkah pariwisata menjadi kendaraan untuk pemerataan pembangunan bukan hanya ekonomi, melainkan juga sosial budaya. Dapatkah pariwisata juga diperankan sebagai pemersatu bangsa yang beragam dan peningkatan rasa cinta Tanah Air, serta penguatan jati diri? Dapatkah pariwisata Indonesia menjadi kendaraan untuk pelestarian lingkungan dan cagar budaya? Dapatkah pariwisata Indonesia menjadi kendaraan untuk pembangunan berkelanjutan yang telah menjadi komitmen pemerintah?
Baca juga: Membangun Pariwisata Berbasis Komunitas dan Berkelanjutan
Kesepuluh, mengulang atau mengingatkan kembali pesan salah seorang mantan menteri bahwa pembangunan pariwisata Indonesia memerlukan dirigen. Dirigen hanya dapat bekerja kalau ada pencipta lagu atau komponis, yang menggubah lagu, ada penyanyi yang menyanyikan atau pemain musik yang memainkan berbagai instrumen.
Pembangunan kepariwisataan memerlukan perencanaan yang dipahami/dihayati sebagai gubahan lagu yang akan dimainkan, bukan hanya oleh para pemain/pelaku usaha, tetapi juga dirigennya. Dirigen memimpin melalui gerak isyarat, tanpa ikut memainkan instrumen atau bernyanyi. Dirigen tidak perlu ikut pemain, tetapi melaksanakan fungsi kendali dan koordinasi/integrasi serta menggerakkan para pemain sesuai dengan rancangan dan irama, yaitu bangun pariwisata Indonesia yang mengangkat kearifan lokal serta melestarikan lingkungan alam dan budaya sebagai modal utama, tanpa melupakan perkembangan teknologi.
Sudah waktunya kepariwisataan Indonesia untuk rethinking, reset, dan repositioned.
Myra P Gunawan, Pemerhati Geopark dan Ketua Tim Penyusun Rencana KSPN Toraja