Demi Konten
”Nyemplung” ke dunia medsos, kita seperti terlempar ke dalam hutan belantara. Semakin jauh berjalan ke dalam hutan, semakin besar peluang tersesat. Kita akan cenderung terpikat oleh hal-hal sensasional atau bombastis.
Sebuah stasiun televisi memberitakan seorang anak yatim di wilayah Bogor yang jadi bulan-bulanan sekelompok pemuda.
Para pemuda itu menceburkan si anak berkali-kali ke air sawah, dan memaksanya membonceng motor yang dibawa seorang pemuda, tetapi tak ada ruang baginya untuk bisa duduk.
Si anak pun bergelantungan di belakang motor sembari terus menjaga keseimbangannya. Hal ini dilakukan tanpa ada alat penyelamat seperti helm.
Yang lebih mengenaskan, aksi perundungan (bully) itu dilakukan sembari direkam oleh pemuda lainnya. Ketika akhirnya ditangkap polisi, ia mengaku merekam tindakan ini lewat video untuk membuatnya jadi viral di media sosial. Pendeknya, semata ”demi konten”.
Di lain tempat, seorang pemuda menyembulkan kepalanya dari bawah rel kereta api (KA) di sebuah lokasi sepi. Lalu, muncul kepala lain, rekan si pemuda ini, sambil merekam dirinya yang berada di bawah rel.
Tak lama kemudian datang sebuah rangkaian kereta melintas tepat di atasnya. Suara gemuruh kereta sangat keras terekam kamera. Ketika kereta sudah lewat, ia mengungkapkan kekagetannya dan ia sudah membuktikan dirinya ”berani” untuk berada di bawah rel KA yang sedang melintas.
Untuk apa ia merekam kekonyolan itu? Ya, ”demi konten”.
Demi merebut perhatian publik apa pun dilakukan, termasuk menipu, mem- bully.
Menipu
Sebagai perkembangan dari dunia medsos yang telah mencuatkan sejumlah tokoh yang berhasil memonetisasi medsos, berlomba-lombalah banyak pengguna medsos untuk menghasilkan ”konten” demi ketenaran dirinya. Tenar yang seperti apa? Konten yang seperti apa? Hal ini tak dipikirkan oleh para penghasil konten itu.
Masih ingatkah, beberapa tahun lalu dua pemuda di Bandung membuat rekaman video pendek tentang usaha palsu mereka memberikan bingkisan kepada orang miskin, yang ternyata isinya hanya sampah? Video itu mempertontonkan penerima bingkisan marah-marah, sementara pemegang kamera dan rekannya hanya tertawa-tawa melihat hasil ulahnya.
Serendah itukah mereka yang hanya berpikir tentang ”demi konten” itu? Demi merebut perhatian publik apa pun dilakukan, termasuk menipu, mem-bully. Yang penting viral dan ditonton puluhan hingga ratusan ribu orang, syukur-syukur jutaan, sehingga bisa menarik bagi para pengiklan.
Baca juga ”Crazy Rich” di Medsos
Mereka yang sudah menjadi selebgram ataupun Youtuber memang memanen uang besar di saat konten media yang serius hanya menghasilkan pendapatan perusahaan yang tidak signifikan dibandingkan para selebritas medsos ini.
Bahkan, dunia promosi juga telah menggeser paradigmanya. Untuk membuat produk yang mereka pasarkan laku, ada rumus baru: gunakan para social influencer. Lebih murah, tetapi berdaya jangkau luas ketimbang beriklan di media konvensional.
Para Youtuber papan atas ditaksir meraup pendapatan bulanan hingga miliaran rupiah lewat kanalnya. Siapa tak tergiur? Banyak pihak kemudian berpikir mereka pun bisa menghasilkan konten sejenis dengan sedikit perbedaan kemasan.
Kita juga tahu beberapa nama yang sempat disebut sebagai crazy rich—kaum ”kaya belum tentu, gila iya”—yang sempat menghiasi medsos dengan konten-konten yang memamerkan kekayaannya itu. Belakangan kita tahu bahwa itu semua hasil penipuan, hasil mengecoh masyarakat yang tak paham untuk kemudian memperkaya diri.
Dan masyarakat pun terkecoh, bahkan juga media yang ikut mengelu-elukan (glorifikasi) kisah para anak muda dengan kekayaan yang bikin orang melongo. Semua yang dibuatnya juga ”demi konten”.
Didie SW
Ketika surat kabar atau majalah berjaya pada masanya, ada istilah ”demi oplah” yang merujuk pada kecenderungan media itu mengeksploitasi suatu berita (umumnya yang sensasional, bombastis) agar semakin banyak orang membeli.
Ketika televisi ganti berjaya menggantikan media cetak, ada istilah ”demi rating”, yang merujuk pada hal yang sama, bagaimana caranya agar penonton semakin banyak untuk acara tertentu.
Hari ini, zaman ketika medsos berjaya, yang menjadi ideologi adalah ”demi konten”.
Demi konten merujuk pada istilah ”konten media”, yang tak melulu berurusan dengan produk jurnalistik (yang perlu akurat, verifikasi, berimbang, dan lain-lain), tetapi juga produk lain nonjurnalistik yang mencakup hiburan, tips-tips, atau hal sensasional lainnya.
Di satu sisi, semakin terbelah antara apa yang menjadi produk jurnalistik dan produk nonjurnalistik. Namun, banyak masyarakat tak bisa membedakan dua hal ini. Semua disamaratakan sebagai ”produk media”.
Namun, ”demi konten” ini sudah tereksploitasi sedemikian rupa karena hari ini siapa pun yang memiliki akun medsos adalah ”media” itu sendiri, dan bisa menghasilkan ”konten” apa pun yang ia maui.
Keterkenalan, atau viralitas, bisa diraih dengan cara apa pun: dengan menjadi bodoh, dengan menjadi konyol, dengan menjadi korban, dengan berkata kasar, dan seribu cara lainnya.
Keterkenalan, atau viralitas, bisa diraih dengan cara apa pun: dengan menjadi bodoh, dengan menjadi konyol, dengan menjadi korban, dengan berkata kasar, dan seribu cara lainnya.
Literasi dan akal sehat
Nyemplung ke dunia medsos, kita seperti terlempar ke dalam hutan belantara. Semakin jauh berjalan ke dalam hutan, semakin besar peluang tersesat. Kita akan cenderung terpikat oleh hal-hal sensasional atau bombastis. ”Demi konten” jadi ideologinya.
Para pencinta alam punya cara-cara tersendiri untuk menghindari tersesat di hutan: menggunakan kompas penunjuk arah, mengenali ciri sekitar untuk memandu jalan kembali, atau melihat jalan setapak yang akan membawa kita pada jalan yang lebih dikenal umum.
Tentu saja keahlian ini dimiliki setelah pelatihan selama bertahun-tahun. Bagaimana agar tak tersesat di medsos dan termakan pancingan ”demi konten”?
Perlukah kita memiliki rambu-rambu yang perlu dipegang oleh para peselancar di medsos? Hal ini terkait masalah melek media (media literacy). Indonesia masuk lima negara pengguna medsos terbesar, pasar besar pengguna smartphone, negara paling riuh di medsos.
Namun, harus dikatakan pula: Indonesia adalah negara di mana penduduknya mudah tertipu di medsos. Sebagian besar korban crazy rich adalah karena mengonsumsi medsos tanpa kekritisan. Kritis, dan melek media. Itulah yang dibutuhkan hari ini. ”Demi konten” menghasilkan hutan belantara medsos, seperti labirin tak bertepi. Dengan kekritisan dan literasi media, kita bisa tetap waras.
Lewat nafsu ”demi konten”, para pembuat konten sedikit banyak telah menyebarluaskan kebodohan dan mimpi-mimpi tak jelas ke masyarakat. Kita butuh pembuat konten yang bisa lebih mencerahkan dan mendidik. Menghibur tak ada salahnya asal tetap menghormati akal sehat. Kalau tidak, ya, memang kita perlu diet medsos.
Ignatius Haryanto,Pengajar Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, Serpong