Parpol yang dibajak pemodal, oligarki parpol, maraknya politik uang, dan ketidaktaatan parpol pada undang-undang menjadi batu penghalang penguatan organisasi parpol.
Oleh
ZENNIS HELEN
·4 menit baca
Penguatan organisasi partai politik adalah roh dan semangat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Apabila parpol kuat secara organisasi, maka parpol dapat meningkatkan fungsi di tengah-tengah masyarakat. Salah satu fungsi yang akan digunakan parpol untuk menghadapi pemilu serentak yang akan digelar pada 14 Februari 2024 adalah rekrutmen pemimpin untuk didistribusikan ke lembaga legislatif dan eksekutif (presiden dan wakil presiden).
Pentingnya organisasi parpol dikuatkan karena parpol ”mengintervensi” semua lembaga negara dalam UUD NRI 1945. Bukan hanya lembaga legislatif, eksekutif, melainkan juga lembaga yudikatif, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk Komisi Yudisial (KY).
Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada lembaga negara yang tidak ”diintervensi” parpol. Tiga poros kekuasaan utama telah dimasuki parpol. Dengan demikian, tidak ada ruang kekuasaan kosong yang tak dijamah parpol. Fakta normatif ini menunjukkan betapa pentingnya parpol dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, bahkan parpol enam kali disebut dalam UUD NRI 1945.
Tulisan ini hendak menyigi apa saja batu sandungan yang dihadapi dalam penguatan organisasi parpol saat ini? Pertanyaan ini sangat penting dijawab karena fungsi parpol belum dirasakan publik. Buktinya, setiap kali pemilu digelar, angka golongan putih selalu meningkat. Tentu ada yang salah pada parpol kita.
Batu penghalang
Realitas politik kepartaian kita saat ini menunjukkan organisasi parpol sebagai badan hukum publik belum menggembirakan. Parpol tidak lebih dari kumpulan orang-orang yang haus kekuasaan. Lalu, menikmatinya sendiri dan dengan kelompoknya. Parpol belum menjadi institusi yang mapan, kuat secara kelembagaan dan bermanfaat bagi publik. Parpol belum memiliki ideologi yang jelas tentang bagaimana menyejahterakan warga negara dan masyarakat.
Parpol belum berperan sebagai jembatan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Parpol hanya hadir dalam momentum bencana, puasa Ramadhan, dan pemilu.
Parpol tidak lebih dari kumpulan orang-orang yang haus kekuasaan. Lalu, menikmatinya sendiri dan dengan kelompoknya.
Alih-alih diharapkan sebagai pencari solusi problem bangsa, parpol malah terjebak pada problemnya sendiri yang akut. Penulis berpandangan, batu penghalang penguatan organsisasi parpol adalah: pertama, parpol dibajak pemodal. Hal ini bisa dilihat pucuk struktur puncak parpol mulai dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang memegang jabatan ketua umum parpol dipastikan orang-orang yang memiliki modal dan jaringan oligarki yang kuat. Tiga parpol sejak berdiri hingga kini seperti PDI-P, Gerindra, dan Nasdem tak pernah berganti ketua umum.
Dalam kontestasi pemilihan, yang direkomendasikan untuk maju dalam kontestasi pilkada adalah orang-orang yang berasal dari politik kekerabatan atau yang disebut dengan politik dinasti. Sementara kader yang telah berjuang siang malam membesarkan parpol terpental dari arena pertarungan.
Kedua, oligarki parpol. Parpol dimodali oleh sekelompok orang sehingga menghadirkan oligarki. Karena ia yang memodali seluruh kegiatan dan operasionalisasi parpol, maka dialah yang menentukan kebijakan strategis parpol. Tak ada lagi musyawarah dan mufakat. Segala keputusan penting ditentukan elite parpol.
Akibatnya, suara anggota yang berkantong tipis tidak akan didengar dalam menentukan masa depan partai. Akhirnya yang terjadi adalah ketika pada masa rezim Orde Baru yang otoriter itu negara. Namun, setelah reformasi, terjadi pergeseran bandul otoritarianisme dari negara ke parpol, termasuk untuk menentukan calon dalam pemilihan kepala daerah yang akan digelar pada 27 November 2024.
Parpol diibaratkan sebuah perusahaan. Bagi siapa yang memiliki modal kuat, maka dialah yang mengendalikan parpol. Parpol akhirnya semakin sulit dijangkau oleh orang-orang nir-modal dan nir-kekuasaan. Parpol kian tertutup dan semakin sulit diakses publik. Akibatnya, aspirasi parpol tak selaras dengan aspirasi publik, yang meneriakkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Parpol diibaratkan sebuah perusahaan. Bagi siapa yang memiliki modal kuat, maka dialah yang mengendalikan parpol.
Lebih jauh dari itu parpol yang diurus secara oligarki semakin menyulitkan parpol kuat secara organisasi. Sering kita dengar mahar yang diberikan oleh calon kepala daerah kepada parpol. Pemberian mahar sulit dilacak karena diterima di bilik kecil dan ruang gelap parpol. Pemberian mahar akan berulang kembali pada Pilkada 2024.
Ketiga, saat ini marak politik uang. Tidak ada politik tanpa uang. Oleh karena parpol tidak melaksanakan fungsinya, terutama memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, rakyat hanya dijenguk dan disapa untuk kepentingan lima tahunan. Untuk membayar itu, parpol melakukan jalan pintas dengan menggunakan politik uang.
Keempat, parpol dalam setiap momentum demokrasi elektoral ternyata tidak taat pada peraturan perundang-undangan. Misalnya tentang sumbangan kampanye. Banyak sumbangan baik yang berasal dari perseorangan maupun perusahaan yang tidak dilaporkan parpol. Termasuk misalnya tentang bantuan dari skema APBN dan APBD dari jumlah perolehan suara di pemilu legislatif yang tidak digunakan dengan baik oleh parpol.
Belum ada transparansi dalam penggunaan dana parpol. Laporan kegiatan penggunaan dana parpol ketika diverifikasi banyak yang tidak masuk akal. Tidak berdampak kepada pendidikan politik rakyat. Laporan penggunaan dana direkayasa dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengurus parpol.
Setidak-tidaknya empat hal itulah yang menghambat penguatan organisasi parpol saat ini. Apabila batu sandungan tidak segera disingkirkan, niat mulia parpol sebagai salah satu infrastruktur politik ketatanegaraan yang sangat penting, selain media massa dan organisasi masyarakat sipil, sangat sulit diwujudkan. Wallahualam.
Zennis Helen, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang; Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang