Urgensi Kontrol Pembanding dalam Penelitian Obat
Penelitian obat harus berdasarkan ”Evidence-based Medicine”, tidak bisa hanya berdasarkan ”Testimony-based Medicine”. Jika berdasar ”Testimony-based Medicine” sama halnya pada kasus batu Ponari.
Melalui riset dan percobaan, Alexander Fleming, dokter dan ahli bakteri asal Skotlandia, berhasil menemukan jamur penghancur bakteri yang disebut penicillin pada 1928. Temuannya ini membuka jalan bagi penggunaan antibiotik di dunia kesehatan modern. Meskipun terdapat bukti nyata pada pemeriksaan laboratorium, penicillin tersebut tidak bisa langsung diujicobakan kepada manusia.
Pada 25 Mei 1939, tim Florey menyuntikkan galur streptococcus yang ganas kepada delapan tikus. Empat tikus diberi penisilin (penicillin), empat tikus lainnya dijadikan sebagai kontrol dan tidak mendapatkan perlakuan apa-apa. Keesokan harinya, semua tikus kontrol mati, sedangkan tikus yang diberi penisilin tetap hidup. Chain menyebut hasilnya sebagai ”keajaiban” dan mengumumkan temuan ini dalam The Lancet pada 1940.
Pada manusia, penisilin pertama kali diujicobakan kepada seorang polisi Oxford yang mengalami infeksi parah sehingga tubuhnya penuh abses. Dalam 24 jam setelah pemberian penisilin, terjadi perubahan yang menggembirakan. Tetapi, karena tim Florey tidak memiliki banyak persediaan, polisi itu akhirnya meninggal beberapa pekan kemudian karena pengobatan yang belum selesai. Percobaan selanjutnya pada 1942, Anna Miller yang menderita sakit parah karena infeksi streptokokus, sembuh secara dramatis setelah disuntik penisilin dengan dosis yang memadai.
Untuk membuktikan obat baru tersebut bermanfaat atau tidak harus melalui Evidence-based Medicine dengan melaksananakan Randomized Clinical Trial.
Dengan kemajuan jaman, cara seperti ini tidak cukup, harus dibandingkan dengan kelompok standar. Karena itu, harus ada kelompok kontrol (misal pengobatan standar). Untuk membuktikan obat baru tersebut bermanfaat atau tidak harus melalui Evidence-based Medicine dengan melaksananakan Randomized Clinical Trial.
Randomized Clinical Trial yang pertama dilaporkan pada 1948, yaitu streptomisin untuk pengobatan TBC yang ternyata bermanfaat. Kalau sekarang pengobatan baru memang bermanfaat, harus dibandingkan pengobatan standar dengan jumlah kasus besar (RCT Fase III), dan akan dianalisis oleh FDA (Amerika Serikat), BPOM (Indonesia). Setelah melalui analisis yang cermat dan ketat, baru disetujui dipakai sebagai pengobatan standar untuk masyarakat luas.
Perlu kontrol
Jadi, kenapa pada penelitian obat perlu kontrol?
Sebagai contoh dari 200 orang pada kelompok calon obat baru, penyakit membaik pada 75 persen, 20 persen menetap, dan 5 persen meninggal. Apa berarti pengobatan itu bagus? Belum tentu.
Ada dua kemungkinan besar, bermanfaat atau tidak bermanfaat. Kalaupun bermanfaat, ada tiga kemungkinan lagi. Pertama, dengan efek samping lebih kecil dibandingkan pengobatan standar. Misalnya,apabila pada 200 kelompok kontrol (standar) membaik 65 persen, menetap 20 persen, dan meninggal 15 persen, dan secara statistik bermakna, berarti memang obat baru tersebut bermanfaat (jauh lebih baik dibandingkan dengan kontrol).
Baca juga: Penelitian Berbasis Pelayanan dalam Pengembangan Obat
Kedua, dengan efek samping sama dibandingkan dengan pengobatan standar. Contoh ada 200 kelompok kontrol (standar) membaik 65 persen, menetap 30 persen, dan meninggal 5 persen, dan secara statistik bermakna, berarti memang obat baru tersebut bermanfaat dengan efeek samping yang sama.
Ketiga, dengan efek samping lebih besar dan mungkin berat (fatal). Contoh pada kelompok kontrol (pengobatan standar) 65 persen membaik, 33 persen menetap, dan 2 persen meninggal, dan secara statistik bermakna. Meskipun obat baru mungkin lebih baik (75 persen sembuh), tetapi yang meninggal lebih banyak (5 persen), obat tak boleh dipakai. Contoh faktual ialah obat penurun kolesterol, cerivastatin (golongan statin). Obat sangat efektif untuk menurunkan kolesterol dibandingkan statin yang lain, tetapi ternyata didapatkan efek samping serius dan menyebabkan kematian. Karena itu, obat tersebut ditarik dari peredaran.
Jika obat tidak bermanfaat pun masih dibagi lagi menjadi tiga kemungkinan. Pertama, dengan efek samping lebih kecil dibandingkan dengan pengobatan standar. Misalnya, apabila pada 200 kelompok kontrol (standar) membaik 75 persen, menetap 20 persen, meninggal 5 persen, dan secara statistik tidak bermakna, berarti memang obat baru tersebut tidak bermanfaat meskipun efek samping ringan lebih kecil. Kecuali kalau efek samping berat lebih banyak pada kontrol, obat baru mungkin bisa menjadi standar.
Kedua, dengan efek samping sama dibandingkan dengan pengobatan standar. Contoh ada 200 kelompok kontrol (standar) membaik 65 persen, menetap 30 persen, dan meninggal 5 persen, dan secara statistik tidak bermakna, berarti memang obat baru tersebut tidak bermanfaat.
Ketiga, dengan efek samping lebih besar dibandingkan dengan pengobatan standar. Contoh pada kelompok kontrol (pengobatan standar) 75 persen membaik, 20 persen menetap, dan 5 persen meninggal dan secara statistik tidak bermakna, tetapi dengan efek samping ringan-sedang yang lebih besar, maka obat tak boleh dipakai.
Baca juga: Kebanyakan Obat Tak Lebih Sehat
Contoh faktual, kita lihat sejarah William Silverman, dokter anak di Amerika. Pada 1940-an Silverman mulai bekerja di rumah sakit di New York, di bagian neonatologi. Pada 1949, dia merawat anak seorang sejawat yang lahir prematur dan menderita ROP (retinopathy of prematurity). Anak ini merupakan anak hidup pertama setelah enam kali si ibu keguguran. Khawatir anak itu akan buta seumur hidup, Silverman memberikan ACTH (adrenocorticotropic hormone), obat anti inflamasi terbaru yang tersedia saat itu. Berdasarkan penelitian pada hewan, mereka hanya menduga-duga dosis yg akan diberikan, “trial and error”. Akhirnya anak tersebut membaik dan sembuh, terhindar dari kebutaan.
Berdasarkan pengalaman ini, mereka terus memberikan ACTH pada bayi-bayi dengan ROP, dengan hasil 25 bayi dari 31 bayi terhindar dari kebutaan. Apabila dibandingkan dengan ROP yang dirawat di rumah sakit lain (Lincoln Hospital) tanpa pemberian ACTH, dari tujuh bayi dengan ROP hanya satu yang sembuh.
Tentu secara logika dan itikad baik kita akan menyangka bahwa ACTH benar-benar bermanfaat untuk ROP. Akan tetapi, Silverman dkk sadar bahwa hasil ini belum tentu benar, ACTH belum tentu benar-benar bermanfaat dengan berbagai alasan, pertama kasus mereka merupakan ROP yang ringan dan dapat sembuh tanpa ACTH, sedangkan kasus di RS Lincoln kemungkinan lebih berat.
Kalau mau menjadi dokter dan ilmuwan yang baik dan jujur, tirulah William Silverman.
Oleh karena itu, mereka dengan sadar dan dengan tujuan keamanan bayi-bayi lainnya melakukan RCT (Randomized controlled trial) untuk pemberian ACTH pada ROP. Hasilnya pada kelompok bayi ROP yang diberikan ACTH 70 persen sembuh, pada kelompok bayi ROP yang tidak diberikan ACTH (kontrol) 80 persen sembuh, sedangkan efek samping pengobatan lebih besar pada kelompok yang diberi ACTH sehingga diambil kesimpulan ACTH tidak bermanfaat untuk ROP, bahkan dapat menimbulkan efek samping. Hasil RCT ini juga dikonfimasi oleh peneliti-peneliti yang lain.
Seandainya Silverman tetap berkeras bahwa dia benar dan yang dia lakukan itu menolong banyak anak, tentu sampai sekarang banyak anak yg akan diberikan ACTH dan mendapatkan efek samping ACTH. Kalau mau menjadi dokter dan ilmuwan yang baik dan jujur, tirulah William Silverman.
Terapi cuci otak
Bagaimana pada kasus IAHF (Intra Arterial Heparin Flushing) atau cuci otak, apa betul bermanfaat? Belum bisa dinilai karena data kelompok kontrol (pengobatan standar) belum ada.
Dilihat kasus per kasus, bisa saja penderita stroke yang dikerjakan IAHF menjadi membaik (sembuh), tetapi perlu diingat penderita stroke dengan pengobatan standar tanpa IAHF pun banyak yang membaik. Karena itu. perlu dibandingkan dengan kelompok pembanding atau kontrol (pengobatan standar).
Kasus-kasus yang bertambah parah juga harus dilaporkan. Misalnya ada berita seorang dosen Unair setelah dikerjakan IAHF bertambah parah. Memang bisa saja bertambah parah karena penyakitnya sendiri (tanpa IAHF pun penyakitnya bertambah parah), tetapi tindakan tersebut, apa pun hasilnya, termasuk malapraktik. Kalau bertambah parah dan meninggal yang terbukti karena tindakan tersebut akan masuk dalam ranah hukum pidana.
Baca juga: Terapi Cuci Otak dan Efek Plasebo
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) pada 2013 dan Satgas Kementerian Kesehatan pada 2018 sudah merekomendasikan untuk menghentikan metoda pengobatan tersebut dan agar dilakukan penelitian ulang dengan kelompok kontrol. Kalau setelah tahun tersebut masih dilakukan IAHF di luar penelitian, termasuk malapraktik. Kalau komplikasi terjadi pada saat berlangsungnya penelitian, peneliti mungkin tidak bisa dituntut. Tetapi, kalau masih dalam proses penelitian biasanya pasien tidak boleh membayar (tidak ditarik biaya Rp 30 juta) dan pasien harus dilindungi asuransi.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah dalam tindakan medis selalu ada indikasi, kontra-indikasi, dan persyaratan. Contoh di bidang kardiologi. Standar pengobatan umum, indikasi pemasangan stent (ring jantung) akan bermanfaat apabila penyempitan arteri koroner lebih dari 70 persen. Kalau penyempitan hanya 40 persen dan dipasang stent bagaimana? Tentu termasuk malapraktik (memberikan pengobatan yang tidak standar dan tidak ada manfaatnya). Apabila terjadi komplikasi berat (cacat dan kematian) akibat tindakan tersebut akan masuk dalam ranah hukum pidana.
Bagaimana jika IAHF dikerjakan kepada orang bukan stroke? Misalnya untuk pencegahan stroke (brain spa?). Seharusnya ini termasuk malapraktik karena belum ada penelitiannya.
Kalau melihat penelitian IAHF, indikasinya mestinya penderita dengan stroke kronik. Bagaimana jika IAHF dikerjakan kepada orang bukan stroke? Misalnya untuk pencegahan stroke (brain spa?). Seharusnya ini termasuk malapraktik karena belum ada penelitiannya.
Kalau akan melakukan penelitian seperti ini mestinya penderita dengan risiko stroke (hipertensi dan diabetes mellitus) dilakukan brain spa dibandingkan dengan yang tidak, diikuti selama paling tidak lima tahun. Kemudian dibandingkan dengan berapa persen yang stroke dan meninggal karena stroke. Apabila betul menurunkan risiko stroke dan mortalitas, dan melalui RCT Fase 3, baru ditentukan oleh BPOM memang layak sebagai obat baru dengan indikasi untuk pencegahan stroke apa tidak.
Yang membuat saya bingung, sebagian (mungkin sebagian besar) bapak/ibu para politisi, pejabat tinggi, dan tokoh masyarakat yang bukan penderita stroke (kepala pusing, vertigo, dll yang mungkin belum ada bukti gangguan otaknya) kemudian dikerjakan IAHF menjadi sembuh.
Mungkin saja setelah IAHF merasa lebih enak (bukan karena IAHF, tetapi karena analgetik atau penenang yang diberikan). Secara medik dinyatakan sembuh atau membaik harus ada parameter obyektif, seperti perbaikan pada pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pencitraan (Imaging).
Dahulu pun setelah minum air bekas rendaman batu Ponari orang-orang merasa sembuh. Tetapi, setelah bertahun-tahun kemudian baru kita tahu kalau itu hanya sugesti dan bohong belaka. Seperti seorang pasien yang fanatik kepada seorang dokter, begitu ketemu dokternya, belum diperiksa langsung sembuh. Padahal, penyakitnya mungkin tetap atau bahkan bertambah parah.
Terus selanjutnya bagaimana? Apakah IDI harus bubar? Kalau IDI bubar, berarti kita tidak memerlukan BPOM lagi (harus bubar juga). Karena, segala keputusan penting tentang pemakaian obat oleh BPOM juga berdasar Evidence-based Medicine, kecuali obat tradisional. Apakah IAHF bisa dikategorikan obat tradisional? Pasti tidak.
Baca juga: Klaim-klaim Terapi Medis
Undang-Undang Kesehatan/Kedokteran juga mesti diubah. Penelitian obat cukup berdasar Testimony-based Medicine tidak lagi berdasar Evidence-based Medicine. Terus siapa yang akan menentukan keputusan obat baru tersebut bermanfaat apa tidak, untuk dapat diedarkan secara luas dengan aman ke masyarakat? Apakah anggota DPR?
Kami harap masyarakat Indonesia lebih dewasa untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kalau tidak, berarti mekipun masyarakat Indonesia sudah maju, pemikirannya masih belum dewasa.
Nabi Muhammad SAW bersabda, serahkanlah segala urusan kepada ahlinya, Jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saja kehancurannya.
Budi Susetyo Pikir, Guru Besar Kardiologi Universitas Airlangga Surabaya