Intervensi Negara terhadap Agama
Menjalani dan mengarungi pola relasi negara-agama di Indonesia ibarat berselancar di atas gelombang yang tinggi, deras, dan liar. Intervensi negara terhadap agama harus diarahkan untuk mengembangkan kesalehan publik.

Didie SW
Menjalani dan mengarungi pola relasi negara-agama di Indonesia ibarat berselancar di atas gelombang laut yang tinggi, deras, dan liar.
Dibutuhkan kepiawaian dan keterampilan teknokratik yang memadai bagi agen-agen negara untuk membaca sekaligus menaklukkan arus gelombang ini sehingga gelombang bisa ditundukkan dan dikonversi menjadi daya gerak bangsa yang produktif. Sedikit saja kehilangan fokus, kita bisa terpelanting ke dalam lautan lepas dan buyarlah misi penaklukan tersebut.
Oleh karena itu, kita perlu mengidentifikasi titik-titik krusial yang dapat membuat kita terpelanting dan gagal dalam membangun pola relasi negara-agama yang bermartabat, manusiawi, dan penuh keadaban. Identifikasi tersebut dimaksudkan agar bangsa ini tidak terjebak dalam lubang kesalahan yang sama dalam kehidupan beragama. Godaan untuk melakukan kesalahan yang sama sering menjadi tantangan paling serius mengingat arus massa kerap memancing negara untuk masuk dalam ”jebakan Batman”.
Pola relasi negara-agama yang unik di negeri ini meruangkan tiga jenis ”jebakan Batman”.
”Jebakan Batman”
Pola relasi negara-agama yang unik di negeri ini meruangkan tiga jenis ”jebakan Batman”. Jebakan pertama adalah artifisial-simbolik. Negara tak melakukan intervensi apa pun terhadap agama serta membiarkannya bekerja secara business as usual. Agama tak lebih dari sekadar urusan administratif yang meregulasi kehidupan beragama secara rutin: kawin-cerai, haji-umrah, pendidikan keagamaan, konversi, pendataan dan pengaturan pendirian rumah ibadah.
Dibutuhkan peran transformatif-produktif yang memampukan agama sebagai pengungkit produktivitas bangsa agar agama dapat keluar dari sekadar business as usual.
Jebakan kedua adalah kebalikan dari jebakan pertama: favoritisme parsial. Jebakan ini diwarnai oleh relasi mutualisme patrimonial antara negara dan—kekuatan—agama dominan.
Dalam kondisi semacam ini, negara hanya meregulasi kehidupan beragama atas dasar pertimbangan kepenganutan denominasi mayoritas. Agama diregulasi sedemikian rupa atas dasar prinsip mayoritarianisme demokrasi. Dalam konteks ini, kebijakan negara mengikuti aspirasi kelompok mayoritas di negeri ini. Dampaknya adalah penguatan kelompok dominan di satu sisi dan peminggiran secara sistemik atas kelompok-kelompok minoritas di sisi lain.
Baca juga : Arah Baru Sertifikasi Halal
Jebakan ketiga adalah laizes-faire yang diwarnai oleh keterjarakan dan keengganan negara (state reluctancy) untuk terlibat dalam dinamika kehidupan beragama, terutama karena Indonesia dianggap bukanlah negara agama. Ada semacam kekhawatiran berlebihan dari para pengambil kebijakan sebagai representasi negara untuk meregulasi kehidupan beragama yang lebih adil, memihak, dan transformatif. Jebakan semacam ini sebenarnya lebih mirip dengan pola relasi negara-agama di kebanyakan negara sekuler yang menganut paradigma ”toleransi kembar” (twin toleration) (Stepan, 2000).
Rasionalitas publik
Tentu saja, ketiga ”jebakan Batman” di atas bukanlah model ideal bagi pola relasi negara-agama di Tanah Air. Di negara Pancasila, intervensi negara terhadap agama sejatinya bukanlah tindakan kriminal yang dilarang oleh undang-undang. Sebagaimana yang saya tulis sebelumnya (Kompas, 7/3/2022), negara justru dituntut hadir dalam setiap denyut kehidupan warganya, tak terkecuali kehidupan agama.
Persoalannya, bangsa ini sering mengalami ”rabun jauh” dalam membaca rasionalitas publik di balik kehadiran agama. Kehadiran dan intervensi negara terhadap agama seharusnya mampu menghadirkan keba[j]ikan dan kemaslahatan publik yang bisa dirasakan semua warga.

Meminjam formula John Rawls (1997), keterlibatan agama di ruang publik harus memiliki rasionalitas publik (public reason) yang adekuat. Jika hendak diregulasi menjadi norma publik, agama harus bermetamorfosis menjadi nilai-nilai universal yang bisa dirasakan bersama oleh semua penganut agama yang berbeda-beda. Namun, kehadiran agama di ruang publik harus dilandasi pembenaran rasional berbasis kemaslahatan umum. Dalam konteks ini, negara dapat memfasilitasi agama agar bisa dihadirkan di ruang publik melalui kebijakan-kebijakan transformatif.
Sementara itu, nilai-nilai partikular agama tidak boleh didesakkan oleh para penganutnya sebagai bagian dari norma publik hanya karena nilai-nilai tersebut diimani oleh mayoritas penganut agama. Kalaupun hendak dijadikan sebagai regulasi publik, harus ada obyektivasi berbasis data empiris bahwa penerapannya dapat membawa masyarakat pada suatu tertib sosial dan kemaslahatan bersama. Bukan malah sebaliknya, kebijakan tersebut malah akan melahirkan friksi, fragmentasi, dan bahkan konflik sosial. Dengan ungkapan lain, nilai-nilai partikular agama hanya bisa diwujudkan di ruang kehidupan privat.
Ketika nilai-nilai partikular agama ditransformasikan menjadi nilai-nilai bersama di ruang publik, terdapat risiko pergeseran aura keagamaan dari religious-heavy menjadi cultural-heavy. Maka, seketika itu pula nilai-nilai agama berubah jadi ”properti publik” yang berlaku untuk semua warga masyarakat.
Apa pun alasannya, negara tidak boleh berjarak dari kehidupan warganya, tak terkecuali kehidupan beragama.
Pada saat itulah, aura sakralnya tergantikan menjadi aura profan yang membudaya dan menyejarah. Dalam kerangka teoretis Robert N Bellah (Beyond Belief, 1967), terjadi sublimasi nilai-nilai agama menjadi agama sipil (civil religion) yang termanifestasi ke dalam tatanan kehidupan sosial-budaya.
Lima jangkar utama
Apa pun alasannya, negara tidak boleh berjarak dari kehidupan warganya, tak terkecuali kehidupan beragama. Negara dituntut selalu hadir dalam setiap dinamika kehidupan keagamaan warganya. Jika diperlukan, negara bahkan diperkenankan melakukan intervensi (dalam bentuk ”intervensi lunak”) yang disemangati dan digerakkan oleh lima jangkar utama: kemanusiaan, kemaslahatan/kesalehan publik, moderasi beragama, harmoni atau kerukunan sosial, dan kesalehan publik.
Jangkar pertama, kemanusiaan (humanitarianism), menempatkan manusia sebagai subyek sekaligus target beragama yang harus dijaga kehormatan dan martabatnya melalui kebijakan agama. Dalam konteks ini, negara tak boleh ragu meregulasi agama dalam rangka menjaga nilai-nilai kemanusiaan universal bagi para pemeluk agama-agama. Apa pun tindakan pemeluk agama tidak boleh mencederai nilai-nilai kemanusiaan universal. Jika hal ini terjadi, negara tidak boleh ragu melakukan penindakan atas pelanggaran mereka.

Jangkar kedua adalah kemaslahatan publik (al-maslahah al-’ammah). Hal ini sejalan dengan sebuah kaidah fikih: ”kemaslahatan publik lebih diutamakan daripada kemaslahatan individu”. Ada juga kaidah lain: ”tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan”. Terkait dengan kemaslahatan dan kerusakan dalam beragama, Izzuddin bin Abd al-Salam (Qawa’id al-Ahkam Mashalih al-Imam, 1990) menulis: ”kebanyakan kemaslahatan dunia dan kerusakannya dapat diketahui dengan akal, sekaligus menjadi bagian terbesar dari syariah”. Ini artinya bahwa akal budi manusia merupakan salah satu kompas kemaslahatan umum sekaligus pembentuk syariah Islam.
Jangkar ketiga adalah moderasi beragama yang terdiri dari 1) beragama nir-kekerasan; 2) toleransi beragama; 3) wawasan kebangsaan, dan; 4) apresiasi terhadap budaya lokal (Kemenag, 2019). Sebagai bagian penting dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), semua kebijakan keagamaan yang dikeluarkan negara harus berpangkal dan disemangati oleh keempat poin di atas.
Bahwa terdapat dinamika resistansi dan penolakan terhadap dimensi teologis moderasi beragama menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama antara agen-agen negara, agamawan, dan tokoh masyarakat.
Jangkar keempat adalah harmoni sosial dan kerukunan beragama. Terciptanya harmoni sosial dan kerukunan beragama yang lebih stabil dan permanen tentu saja mensyaratkan bukan saja pemahaman teologis yang memadai, melainkan juga dimensi ekonomi-politik yang mapan. Semua elemen bangsa ini harus sama-sama menjaga harmoni sosial dan kerukunan beragama karena kehidupan beragama di Indonesia berdiri di atas fondasi ”ring of fire” ideologis-keagamaan yang rentan diledakkan menjadi konflik horizontal.
Intervensi negara terhadap agama harus diarahkan untuk mengembangkan kesalehan publik; jenis kesalehan yang berbeda dari kesalehan individual dan sosial.
Jangkar kelima, kesalehan publik berupa nilai-nilai demokrasi, ketaatan atas peraturan perundang-undangan (konstitusionalisme), keadaban publik, dan produktivitas ekonomi warga. Intervensi negara terhadap agama harus diarahkan untuk mengembangkan kesalehan publik; jenis kesalehan yang berbeda dari kesalehan individual dan sosial. Pengembangan kesalehan jenis ini diyakini akan mengakselerasi kemajuan bangsa sekaligus menegaskan kepada dunia bahwa agama di negeri ini bukan faktor penghalang bagi kemajuan bangsa.
Masdar Hilmy,Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel, Surabaya

Masdar Hilmy