Peralihan kewenangan sertifikasi produk halal yang selama ini terpusat pada satu lembaga dimaksudkan untuk menghindari hegemoni peran. Sebab, bisa jadi kewenangan tunggal bisa berdampak pada ”malapraktik” yang merugikan.
Oleh
FATHORRAHMAN GHUFRON
·4 menit baca
Baru-baru ini, Menteri Agama mengeluarkan keputusan mengenai pengalihan kewenangan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
Melalui Keputusan Kepala BPJPH No 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal pada 10 Februari 2022 tersebut, Menteri Agama menegaskan bahwa sertifikasi halal yang dikelola BPJPH akan berlaku secara nasional.
Bahkan, untuk mempertegas peralihan kewenangan ini, Menag menerbitkan logo halal baru yang secara filosofis dan artistik berbeda dengan logo halal sebelumnya. Dalam logo baru yang mengangkat artefak budaya dan bermotif khazanah pewayangan, Menag mencoba mengakomodasi berbagai nilai keagamaan dan kenusantaraan yang terkandung dalam ekosistem keindonesiaan.
Secara sosiologis, melalui langkah ini, Menag hendak membagi kewenangan (distribution of authority) agar proses sertifikasi halal berjalan sesuai keahlian dan prosedur yang dimiliki tiap-tiap pihak. Pemberdayaan dilakukan terhadap tiga pihak—MUI, BPJPH, dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) —yang dianggap sama-sama mempunyai otoritas dalam pemrosesan halal.
Secara sosiologis, melalui langkah ini Menag hendak membagi kewenangan ( distribution of authority) agar proses sertifikasi halal berjalan sesuai keahlian dan prosedur yang dimiliki tiap-tiap pihak.
Setidaknya, melalui penentuan gambaran kerja (job desk) yang diamanatkan kepada ketiga lembaga, tak terjadi tumpang tindih kewenangan antarpihak terkait karena secara yuridis ketiganya sudah dibatasi fungsinya.
MUI berfungsi menentukan kehalalan produk menurut hukum Islam. LPH dibatasi pada pemeriksaan kehalalan produk secara ilmiah. BPJPH—sebagai representasi pemerintah—mempunyai kewenangan administratif dalam penerbitan sertifikasi halal.
Distribusi otoritas
Peralihan kewenangan yang selama ini terpusat pada satu lembaga dimaksudkan untuk menghindari hegemoni peran. Sebab, bisa jadi kewenangan tunggal yang dimiliki satu lembaga dalam mengurusi sertifikasi halal akan berdampak pada ”malapraktik” yang akan merugikan pihak lain.
Selain itu, kewenangan tunggal sertifikasi halal yang sudah berlangsung bertahun-tahun akan menyebabkan terbentuknya iklim kepatuhan sporadis-parsial karena dikontrol sebelah pihak.
Maka, Menteri Agama membuat terobosan administratif agar setiap pihak yang memilliki kompetensi dan kewenangan bisa terlibat secara sistemis, sekaligus bisa saling mengontrol.
MARINA EKATARI
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada Sabtu (12/3/2022) melalui akun Instagramnya mengumumkan label halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara bertahap tidak berlaku lagi. Label halal MUI akan diganti label halal Indonesia yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
Hal ini penting agar sertifikasi halal yang diperuntukkan bagi kemaslahatan bersama berjalan melalui proses yang akuntabel, tak terjebak pada pola otoritas tradisional. Dalam konteks ini, otoritas tradisional—merujuk pemikiran Max Weber—lebih menekankan pada sistem kesakralan tradisi tertentu yang mengharuskan pihak lain menaati aturan yang dibuatnya.
Bahkan, sistem kesakralan yang dijadikan landasan otoritas tradisional diberlakukan secara turun-temurun oleh pihak yang menganggap dirinya paling otoritatif dalam menentukan kehalalan sebuah obyek. Ini terjadi pada MUI yang selama ini dipercaya sebagai motor tunggal pemberlakuan kehalalan, dari aspek penentuan hukum kehalalan hingga penentuan sertifikatnya.
Kewenangan tunggal di satu tangan memungkinkan terjadinya ”kekhilafan” atau penyalahgunaan kewenangan yang berbasis material. Dengan adanya penyebaran relasi kuasa, ketiga lembaga bisa saling mengontrol.
Dalam melakukan peralihan kewenangan sertifikasi halal dari basis tradisional ke arah rasional atau dalam istilah lain legal formal, merujuk pada konsep Weber, akan berkonsekuensi pada pemberdayaan perangkat otoritas yang secara legal dibekali dengan peraturan yang sah.
Dengan adanya penyebaran relasi kuasa, ketiga lembaga bisa saling mengontrol.
Dengan demikian, pemberian mandat kepada BPJPH untuk mengatur dan mendesain kebijakan sertifikasi halal akan mengubah berbagai aturan sertifikasi halal yang selama ini dilakukan MUI.
Otoritas legal formal
Sebagai pengendali otoritas legal-formal, tak tertutup kemungkinan BPJPH akan menyiapkan berbagai prosedur yang tak hanya berkaitan dengan proses pendaftaran dan biaya yang dibutuhkan. Lebih dari itu, setiap pendapatan yang diperoleh dari sertifikasi halal wajib dilaporkan dan diintervensi oleh lembaga lain, seperti Badan Pemeriksa Keuangan, ataupun institusi negara lain yang terkait.
Dalam konteks ini, otoritas legal formal yang dijadikan basis pengalihan kewenangan sertifikasi halal oleh Menag sesungguhnya merupakan ijtihad hukum Islam yang otentik. Sebab, ajaran halal yang ditegaskan dalam fikih meniscayakan segala sesuatu harus diproses dengan cara baik (thayyib) dan diperoleh dengan hasil baik (thayyib).
Secara kontekstual, setiap penggunaan kuasa penetapan halal (MUI), pemeriksa halal (LPH), dan sertifikasi halal (BPJPH) secara distributif dan kompeten akan melahirkan tradisi kesalingan (mubadalah) secara proporsional.
Bahkan, dalam konteks lebih luas, di antara ketiga lembaga yang berperan dalam sistem halal akan terjalin spirit articulatory labour— mengadaptasi pemikiran Ismail Fajri Alatas dalam buku What is Religious Authority?: Cultivating Islamic Communities in Indonesia, yaitu dalam posisi kewenangan yang berbeda, ketiga lembaga akan saling berdialog, berinteraksi dalam mengartikulasikan fungsinya dengan integritas, profesional, transparan, akuntabel.
Selain itu, dalam spirit articulatory labour, ketiga lembaga akan mendistribusi kepercayaan dalam menyikapi berbagai perkara dan kerumitan kehalalan yang melingkupi di level fatwa, verifikasi, dan sertifikasi. Dengan demikian, dalam pola pembagian peran akan dilandasi saling menghormati dan saling mengapresiasi setiap upaya (ikhtiyar) dan pilihan atau keputusan (istikharah) yang diambil untuk kemaslahatan bersama.
Fathorrahman Ghufron,Wakil Katib PWNU Yogyakarta, Wakil Dekan UIN Sunan Kalijaga