Revitalisasi Ombudsman RI
Ombudsman RI adalah lembaga independen. Tetapi, kewenangannya ibarat pepatah ”ke langit tak sampai, ke bumi tak nyata”. Kepalang tanggung dalam menyelesaikan perkara mala-administrasi. Karena itu, perlu revitalisasi ORI.
Kompas (17/3/2022) menurunkan artikel tentang perlunya memperkuat Ombudsman melalui usulan revisi Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia atau ORI. Langkah ini dianggap logis untuk merespons kuatnya harapan masyarakat terhadap Ombudsman dalam mengawal pelayanan publik di instansi dan lembaga pemerintahan.
Tahun 2021 saja Ombudsman menerima total 7.186 laporan terkait mala-administrasi. Lebih spesifik adalah penundaan berlarut (33,23 persen), tidak melayani (28,69 persen), dan penyimpangan prosedur (21,19 persen).
Isu menjadi sensitif kembali tatkala ORI menyurati Presiden dan ketua DPR karena tidak dilaksanakannya rekomendasi Ombudsman terkait mala-administrasi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) (Kompas.com, 1/4/2022).
KPK dan BKN sama-sama sudah menyatakan keberatan atas rekomendasi tersebut. Hal ini membuat ORI seperti tidak bertaji terhadap hasil rekomendasinya sendiri apabila berhadapan dengan lembaga pemerintahan.
Baca juga: Ombudsman dan Hal-hal yang Belum Selesai
Semua orang di negeri ini tentu saja mafhum dengan kewenangan ORI yang hanya berfungsi sebagai morally binding (mengikat secara moral) dalam menangani perkara mala-administrasi di lembaga pemerintahan. Namun, masyarakat tidak punya pilihan pengaduan ketika merasa ketidakadilan terjadi pada dirinya.
Alih-alih bagi rakyat kecil membawa kasus ketidakadilan yang menimpanya ke lembaga peradilan karena membutuhkan biaya dan energi yang besar. Bahkan, sampai harus menyewa pengacara. Berbeda apabila melaporkannya ke ORI karena free cost.
Maka, tidak mengherankan ketika ORI merilis jumlah laporan pengaduan tahunan, angka-angka itu selalu fantastis.
”Morally binding”
Saat ini rekomendasi ORI hanya bersifat morally binding. Namun, di negara asalnya sistem ini lahir, Swedia, rekomendasi Ombudsman bersifat legally binding. Ombudsman dapat bertindak sebagai jaksa ketika lembaga pemerintahan mengabaikan rekomendasinya dengan cara menuntut ke pengadilan.
Tetapi, sistem pemerintahan Swedia dan Indonesia tentu saja berbeda. Dalam sistem parlementer seperti Swedia, Ombudsman adalah perpanjangan tangan Riksdag (parlemen Swedia).
Riksdag juga bisa memanggil menteri yang tidak taat pada rekomendasi Ombudsman kapan saja. Apalagi pemerintahan Swedia bertanggung jawab atas tindakannya kepada Riksdag.
Saat ini rekomendasi ORI hanya bersifat ’morally binding’. Namun, di negara asalnya sistem ini lahir, Swedia, rekomendasi Ombudsman bersifat ’legally binding’.
Di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial, hal ini tentu berbeda. ORI adalah lembaga independen. Tetapi, kewenangannya ibarat pepatah, ”ke langit tak sampai, ke bumi tak nyata”. Kepalang tanggung dalam menyelesaikan perkara mala-administrasi.
Menyimak budaya malu di kementerian, lembaga, ataupun pemerintahan daerah saat ini, morally binding belum bisa menjadi sanksi yang efektif. Butuh legally binding yang mampu memberi tekanan dari luar agar rekomendasi ORI mendapat sahutan positif.
Maka, sudah sewajarnya ORI juga memiliki kewenangan tersebut, tetapi tanpa harus menghukum langsung instansi atau lembaga pemerintahan yang tidak melaksanakan rekomendasinya.
Dalam hal ini, ORI bisa mengadopsi fungsi sebagai jaksa, seperti yang melekat pada Ombudsman Swedia. Mengajukan penuntutan dan bertindak sebagai jaksa di muka pengadilan. Hampir mirip-mirip seperti kewenangan KPK saat ini.
Baca juga: Kepatuhan Pelayanan Publik
Apabila KPK menggunakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ORI bisa memanfaatkan lembaga peradilan tingkat banding yang sudah ada, yaitu Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Di sini ORI bisa melakukan pressure atas rekomendasinya. Silang pendapat yang terjadi dapat pula diuji kembali di muka pengadilan. Layaknya dalam polemik tes TWK antara ORI, KPK, dan BKN.
Penindakan dan sanksi kemudian menjadi kewenangan PTTUN. Atau sebaliknya, PTTUN dapat mencabut rekomendasi ORI apabila terbukti melanggar etik Insan Ombudsman. Dengan demikian, fungsi sebagai lembaga mediasi tetap melekat pada ORI. Tanpa harus berubah menjadi lembaga penindak.
Kejaksaan Agung dapat pula memperbantukan jaksa penuntut umumnya di ORI. Ini tentu bukanlah hal baru dalam sistem kepegawaian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Autokritik
ORI tentu bukan tanpa permasalahan internal. Ada dua hal yang mesti mendapat perhatian, yaitu (1) Majelis Kehormatan untuk memeriksa penggaran etik Insan Ombudsman yang bersifat ad hoc, dan (2) transparansi pengelolaan laporan.
Pertama, Majelis Kehormatan. Konflik kepentingan adalah perkara yang pasti terjadi dalam menginvestigasi laporan publik yang berjumlah 7.186 di tahun 2022. Tetapi, seberapa besar insan Ombudsman mampu meminimalisirnya.
Agak sedikit mengganggu akal sehat saat Majelis Kehormatan baru dibentuk oleh Ketua ORI melalui rapat pleno ketika ada laporan publik. Apalagi anggota Majelis Kehormatan yang mengadili anggota yang melanggar etik juga terdiri dari anggota Ombudsman itu sendiri (Peraturan ORI Nomor 7/2011, Pasal 9 & 11). Padahal, kepemimpinan ORI bersifat kolektif kolegial. Laporan yang telah selesai proses investigasi di bawa ke meja pleno untuk diputuskan.
Agak sedikit mengganggu akal sehat saat Majelis Kehormatan baru dibentuk oleh ketua ORI melalui rapat pleno ketika ada laporan publik.
Hal ini tentu berbeda dengan Ombudsman Swedia. Para anggotanya memiliki area tanggung jawab masing-masing. Mereka tidak dapat mengintervensi investigasi atau ajudiksi anggota lain di luar tanggung jawabnya. Termasuk oleh ketua Ombudsman. Setiap dari mereka bertanggung jawab langsung kepada Riksdag.
Karena itulah, memperkuat kewenangan pressure ORI harus berimbang dengan mempersempit ruang pelanggaran etik dari Insan Ombudsman.
Kedua, ORI harus lebih transparan dan profesional dalam pekerjaannya. Dugaan adanya sebagian laporan bertele-tele, pergantian asisten Ombudsman secara tiba-tiba, hingga penundaan demi penundaan pleno seharusnya mendapat penjelasan yang lebih terbuka kepada publik pelapor. Terutama pada ORI perwakilan yang jauh dari pusat pengawasan.
Dalam teori kekuasaan absolut, Lord Acton mengatakan, ”Mereka yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya, tetapi bila kekuasaan itu tidak terbatas, pasti mereka akan menyalahgunakannya.”
Revitalisasi
Dewan Perwakilan Rayat (DPR) dapat merivisi UU ORI dengan mengolaborasikan antara memperkuat kewenangan dan memperketat pengawasan atas kinerja dan hasil investigasi ORI.
Prinsip check and balance harus benar-benar berjalan apabila ingin menciptakan pelayanan publik yang lebih maju dan bersih. Saat pemerintah mulai mengejar reformasi birokrasi, ORI seharusnya menjadi sangat penting di negara ini.
Baca juga: Mencermati Korelasi Antar-Lembaga Negara
Sepatutnya lembaga legislatif negara ini mengambil peluang itu tanpa harus ”melempar bola” revisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia ke DPR periode selanjutnya. Apalagi pemetaan masalah sudah jelas berada pada bagaimana memperkuat rekomendasi ORI.
Secara politis tahun 2023 adalah saat yang paling tepat untuk merevitalisasi ORI menjadi lembaga ”bertaring” tanpa harus menambah lembaga penegakan hukum. Sebagai generasi yang akan mengakhiri periode 2019-2024, DPR dapat meninggalkan rekam jejak proreformasi birokrasi melalui penguatan Ombudsman.
Mardani Malemi, Tenaga Pengajar Administrasi Negara pada UIN Ar-Raniry Banda Aceh; Facebook: Teungkumalemi