Apabila kita masih menginginkan dunia yang lebih baik, di dalam terang Paskah, terang hidup yang memberi daripada memiliki, kita mesti belajar untuk berkata cukup.
Oleh
RP SUPRIYADI PARDOSI
·4 menit baca
Ada satu hal yang sangat cukup menyita perhatian dalam peristiwa Paskah kali ini dalam pembacaan kisah kejatuhan manusia ”pertama” ke dalam dosa dan penebusannya dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Kisah klasik tentang ketidaktaatan Adam dan Hawa di Taman Firdaus ini dihadapkan dengan kisah klasik lain tentang ketaatan Adam baru, Yesus Kristus di Taman Getsemani.
Saya tidak ingin mengulas secara detail makna dari kedua peristiwa itu. Satu hal yang saya sebutkan itu, sekaitan juga dengan dosa laten kita semua sampai zaman ini, sebagaimana terjadi di Taman Firdaus dalam diri Adam dan Hawa, keinginan yang tidak terbatas untuk memiliki, bahkan atas hal yang seharusnya tidak lagi untuk dimiliki, termasuk akan kepemilikan Yang Tak Terbatas itu.
Sementara di dalam kisah Paskah, khususnya dalam kisah sengsara Yesus, Ia menunjukkan obat untuk dosa laten itu, yakni il dono (pemberian) diri secara total bagi yang lain. Ia membiarkan diri-Nya yang tak terbatas menjadi bagian dari yang terbatas, bahkan dengan cara seolah-olah bukan untuk dimiliki oleh siapapun—dengan ajaran dan jalan penderitaan yang Ia jalani—agar Ia dapat dimiliki siapa pun bukan dengan keinginan dan nafsu memiliki yang sama, tetapi dengan kerelaan dan kejernihan hati yang tulus.
Dosa, di taman Firdaus yang dilukiskan sebagai taman kebahagiaan, kesempurnaan, dan kelengkapan segala sesuatu, diobati di Taman Getsemani yang dilukiskan sebagai taman sengsara, pengkhianatan, dan kesendirian Yesus di dalam misi-Nya. Dosa yang sering muncul dalam iming-iming rasa enak dan kepuasannya diobati dengan penebusan Kristus, kelahiran baru bagi dunia, sebagaimana terjadi pada setiap kelahiran natural: perjuangan penuh dan bahkan dengan penderitaan yang menyakitkan.
Dalam wacana ini, kita sama sekali tidak ingin bermaksud mengatakan bahwa keinginan untuk memiliki secara umum sudah merupakan dosa. Itu tidak sederhana, tetapi berawal darinya, terutama ketika berkembang secara bertahap untuk terus menumpuk pada diri dan pada waktu yang sama menjarah yang lain seluas-luasnya.
Keinginan yang tidak terbatas
Apa yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, dengan kepentingan dan kebutuhan di belakangnya untuk memiliki dunia seluas-luasnya, adalah salah satu bukti dahsyatnya kekuatan dosa yang tampaknya sangat sederhana itu: ”keinginan yang tidak terbatas untuk memiliki”. Dosa sekecil apa pun sebenarnya berawal dari keinginan yang memperbudak semacam itu.
Berbohong adalah obat yang salah untuk menutupi keinginan yang telah terkabul untuk memiliki sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki, baik itu barang atau perkataan maupun kesaksian yang salah yang barangkali dilakukan untuk memiliki sesuatu melampaui batasnya. Korupsi waktu juga, misalnya, sesuatu yang tampaknya sederhana, tetapi juga merupakan bentuk dari perwujudan dari menginginkan waktu yang berlebihan untuk kesenangan dan kenyamanan pribadi.
Kebencian, dalam bentuk apa pun, termasuk kemarahan di dalamnya, adalah bentuk perlawanan—alih-alih menambah kepemilikan seluas-luasnya—ada orang atau kelompok yang mencoba mengganggu dan merampas hak milik kita atas sesuatu, baik itu atas harta, harkat, maupun martabat kita. Peliknya kekuasaan dan segala bentuk dosa di dalamnya juga merupakan potret nyata dari keinginan untuk terus memiliki sesuatu yang lebih besar yang tidak akan pernah mewarkan kesembuhan dan kelahiran baru apa pun bagi dunia dan kemanusiaan kita.
Berbohong adalah obat yang salah untuk menutupi keinginan yang telah terkabul untuk memiliki sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki.
Menyebut ”keinginan yang tidak terbatas untuk memiliki” sebagai akar dosa, itu berarti bahwa kita mesti benar-benar waspada dengan kecenderungan ini. Tampaknya sederhana, tetapi di situ jugalah rumitnya. Carl R Rogers, dalam salah satu bukunya, sangat yakin di dalam lahirnya setiap gerakan revolusi sosial—terutama oleh sebuah grup sebagaimana terjadi di dalam sejumlah pengalamannya—yang pertama-tama disebabkan oleh kekuatan ”tanpa kepentingan” (Rogers, On Personal Power, 1977), khususnya apa yang sering kita sebut dengan ”kepentingan tersembunyi”.
Apabila dua kata terakhir tersebut (kepentingan tersembunyi) muncul, kita mesti waspada dengan kemunculan tahap selanjutnya yang lebih buruk, yakni ”trik”, ”hasutan” dan ”pengkhianatan”. Dalam kenyataan seperti itu, yang sering kali dibumbui oleh kesenangan dan kelimpahan, alih-alih mengharapkan gerakan atau kelahiran yang baru, kita akan kembali ke jurang Taman Firdaus dan suramnya dunia dengan segala kegelapan kepentingannya.
Apabila kita masih menginginkan dunia yang lebih baik, sekalipun tampaknya tidak ada alasan untuk berharap, di dalam terang Paskah, terang hidup yang memberi daripada memiliki, kita mesti belajar untuk berkata cukup, dan selanjutnya ke langkah yang lebih jauh membangun semangat ”saatnya memberi”, yang berarti ”saatnya memikirkan yang lain”.
Kita sudah seharusnya terlalu lelah untuk berpikir tentang diri kita sendiri, tentang kelompok, suku, ras, agama kita sendiri. Saatnya kita berpikir dan bekerja untuk membangun bangsa dan negara ini dengan semangat ”tanpa kepentingan”, tanpa trik, hasutan, dan pengkhianatan. Dengannya, kita akan mengobati setiap luka akibat tajam dan rakusnya keinginan tanpa batas seperti itu.
Dengan semangat baru itu, meskipun tidak gampang, kita akan melihat keajaiban dari setiap sikap memberi diri secara total, yang sebenarnya kita semua tahu dalam kata ”cinta” yang sering kita ucapkan. Dan Tuhan adalah Cinta, karena Ia selalu memberi tanpa batas, memberi diri-Nya sendiri bagi kita untuk menjadi bagian dari kesucian-Nya.
RP Supriyadi Pardosi, Imam Kapusin Indonesia yang Sedang Studi di Roma