G20 dan Politik Kelautan Kita
Sebagian besar anggota G20 adalah negara maju yang mengendalikan dan menguasai perdagangan, ekonomi kelautan dan komoditas perikanan dunia. Sebaliknya, mereka juga penyumbang emisi gas rumah kaca dari aktivitas kelautan.
Puncak perhelatan pertemuan G20 akan berlangsung di Bali akhir 2022. Indonesia bertindak sebagai tuan rumah sekaligus presidensinya. Salah satu isu yang dibahas, kelautan dan perikanan.
Penulis menyoroti gagasan Indonesia mengusung kebijakan penangkapan ikan terukur. Argumentasinya, untuk memerangi praktik perikanan ilegal, pemerataan distribusi pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir, pengentasan warga dari kemiskinan, dan menjamin kesehatan laut jangka panjang.
Ingat, sebagian besar anggota G20 adalah negara maju. Mereka mengendalikan dan menguasai perdagangan, ekonomi kelautan, dan komoditas perikanan dunia. Sebaliknya, mereka juga penyumbang emisi gas rumah kaca (EGRK) secara global dari aktivitas kelautan.
Jika ditelusuri, Indonesia belum berpengalaman dalam penerapan sistem kuota dengan kontraktual.
Hegemoni
Negara-negara maju (G20) dalam ekonomi, bisnis, perdagangan, serta tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan sangat hegemonik.
Faktanya, pertama, mengendalikan industri kelautan dunia. Dari delapan industri inti ekonomi kelautan, yaitu minyak dan gas lepas pantai, peralatan dan konstruksi kelautan, makanan laut (seafood), pengiriman kontainer, pembuat dan perbaikan kapal, wisata kapal pesiar, aktivitas kepelabuhanan, dan energi angin lepas dikendalikan oleh sepuluh perusahaan multinasional.
Mereka meraup total pendapatan rata-rata 1,1 triliun dollar AS (45 persen) per tahun. Delapan industri inti tersebut juga dikuasai 100 perusahaan terbesar (Ocean 100) yang berkontribusi 1,9 triliun dollar AS (60 persen) dari total pendapatan industri kelautan dunia tahun 2018 (Virdin et al 2021).
Mereka bermarkas di AS (12 persen), Arab Saudi, China, Norwegia, Perancis, Inggris, Korsel, Brasil, Iran, Belanda, dan Meksiko. Bukankah sebagian besar mereka anggota G20?
Kedua, sejumlah perusahaan transnasional mengendalikan bisnis seafood dunia. Mereka dari Norwegia (4), Jepang (3), Thailand (2), serta Hong Kong, Spanyol, dan AS masing-masing satu perusahaan.
Baca juga: KKP Gencar Promosikan Kontrak Penangkapan Ikan
Mereka mengendalikan 11-16 persen hasil tangkapan laut dunia, setara 9-13 juta ton, dan meraup pendapatan setara 18 persen dari total nilai produksi seafood global tahun 2012. Nilainya 252 miliar dollar AS (Österblom et al 2015) dan melonjak menjadi 276 miliar dollar AS 2018 (Virdin et al 2021).
Ketiga, sepuluh korporasi besar China, Korsel, AS, dan Taiwan menguasai penangkapan ikan di laut lepas, termasuk di zona ekonomi eksklusif (ZEE) secara global. Menariknya, mereka hanya 65 persen yang mengoperasikan kapal ikan dengan alat tangkap rawai.
Sebanyak 96 persen mengoperasikan trawl (Carmine et al, 2020). Sayang penangkapan ikan di laut lepas termasuk ZEE tak selamanya menguntungkan. Riset Sala et al (2018) menemukan bahwa tanpa dukungan subsidi besar dari pemerintah suatu negara, 54 persen penangkapan ikan di laut lepas ternyata rugi dengan tingkat pemanfaatan stok sumber dayanya secara global.
Data tahun 2016, dari 77 persen armada penangkapan ikan di perairan laut lepas dunia, ternyata 80 persen upaya penangkapannya dioperasikan oleh China, Taiwan, Jepang, Indonesia, Spanyol, dan Korsel. Menariknya, kapal ikan Indonesia didominasi oleh kapal ukuran kecil dan mesin kecil atau perikanan skala kecil. Bukankah mengundang korporasi-korporasi besar itu akan mengancam keberlanjutan sumber daya ikan dan kedaulatan nasional kita atas lautan?
Kini, Indonesia hendak menggulirkan kebijakan perikanan terukur berbasis kuota (kontraktual) di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPP-NRI). Indonesia juga hendak mengusungnya dalam forum G20. Labelnya, ekonomi biru. Padahal, sejatinya metamarfosis kapitalisme global lewat privatisasi laut dan sumber dayanya.
Jelas Indonesia hendak memberi karpet merah bagi negara-negara asing (termasuk G20 dan lainnya). Caranya lewat pelelangan kuota. Indonesia juga telah menerbitkan instrumen kelembagaannya, UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) No 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Celakanya, draf kebijakan perikanan terukur mengabaikan UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, hingga kelembagaan perikanan komunitas (adat). Artinya, kebijakannya ini berorientasi industri promosi ekspor.
Kalau acuannya Jepang atau Norwegia, jelas karakteristik sumber daya ikan, geografi, dan teknologinya berbeda jauh dengan Indonesia.
Tragedi komoditas
Jika ditelusuri, Indonesia belum berpengalaman dalam penerapan sistem kuota dengan kontraktual. Kebijakan ini terkesan trial and error. Negara-negara Asia Tenggara pun tak satu pun pernah menerapkannya. Kalau acuannya Jepang atau Norwegia, jelas karakteristik sumber daya ikan, geografi, dan teknologinya berbeda jauh dengan Indonesia.
Mereka ada di wilayah subtropis dengan keragaman jenis ikan rendah. Indonesia di wilayah tropis dengan multispesies dan keragaman ikannya tinggi. Teori yang menyebut privatisasi perikanan akan mencegah tragedi kepemilikan bersama (tragedy of common), tingkat eksploitasi berlebihan, dan menjamin perikanan berkelanjutan tak selamanya benar.
Persoalannya, privatisasi mengabaikan nilai-nilai (values), hak (right), dan kelembagaan (institution) masyarakat lokal (adat). Imbasnya, jauh panggang dari api mewujudkan keadilan sosial dan ekologi.
Longo et al (2015) mengkritik keras teori ini karena terlalu menyederhanakan masalah dan berat sebelah. Soalnya, privatisasi perikanan mengabaikan kondisi institusi sosial (termasuk masyarakat adat) yang menerapkan tata kelola berbasis adat. Mereka malah jadi korban ketidakadilan sosial, ekonomi, dan ekologi.
Sebaliknya, kebijakan penangkapan kontraktual berbasis kuota lebih mengedepankan mekanisme pasar dan komodifikasi perikanan. Bukan menghindari tragedi milik bersama. Malahan muncul tragedi baru, yaitu tragedi komoditas (tragedy of commodity). Tragedi ini telah menimpa perikanan teripang di Pulau Palau, Pohnpei, dan Yap di Indo Pasifik.
Didie SW
Akibat masifnya, perdagangan makanan laut malah memicu tingkat deplesi sumber daya ikan dan disrupsi sosial masyarakat pesisir. Masyarakat ketiga pulau itu melawan dan menolak kebijakan perdagangan teripang. Belajar dari kasus ini, kelestarian dan keberlanjutan sumber daya alam ataupun ekologinya tak bisa dipisahkan dengan identitas budaya, organisasi sosial, dan identitas politik masyarakat adat/lokal (Ferguson 2022).
Politik tata kelola
Dalam politik dan kebijakan tata kelola perikanan, mestinya, pertama, Indonesia mempertimbangkan ulang kebijakan privatisasi perikanan berbasis kuota. Pasalnya, kebijakan itu bertentangan dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945. Sumber daya kelautan dan perikanan menyangkut hajat hidup masyarakat pesisir, khususnya 2,39 juta nelayan.
Privatisasi perikanan berbasis kuota berpotensi menghancurkan sumber kehidupan, mengalienasi hak kelola (right), dan menggerus kelembagaan masyarakat pesisir. Mereka telah bekerja dalam relasi sosial-ekonomi ataupun ekologi.
Kedua, mengembalikan prinsip kepemilikan bersama (recommonizing) atas sumber daya perikanan agar menciptakan keadilan sosial dan ekologi hingga menghindari dampak perubahan iklim. Imbasnya, keberlanjutan sumber daya kelautan terjamin. Ini penting. Pasalnya, nilai-nilai (values), hak (right), dan kelembagaan (institution) masyarakat lokal (adat) melekat di dalamnya.
Dalam politik dan kebijakan tata kelola perikanan, mestinya, pertama, Indonesia mempertimbangkan ulang kebijakan privatisasi perikanan berbasis kuota.
Ketiga, merevitalisasi BUMN kelautan dan perikanan serta kelembagaan koperasi (termasuk digitalisasi). Merekalah sejatinya pelaku ekonomi yang mengelola dan memanfaatkan WPP-NRI. Nantinya ”kedaulatan ekonomi” atas laut dan sumber daya terjamin (baca: konstitusi). Bukan membiarkan negara-negara maju dan korporasi besar/transnasional mengeruk kekayaan laut kita sehingga memicu tragedi komoditas.
Pendek kata, privatisasi perikanan bukan jalan pintas mewujudkan tata kelola perikanan Indonesia yang adil dan berkelanjutan serta menyejahterakan masyarakat pesisir.
Muhamad Karim,Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta