Klaim-klaim Terapi Medis
Fenomena klaim keberhasilan terapi medis makin marak di era digital saat ini. Klaim-klaim medis ini tentu saja memengaruhi opini publik. Masalahnya, opini publik kerap dibentuk faktor subyektif, bukan fakta obyektif.
Klaim-klaim keberhasilan terapi medis (miracle health claims) adalah fenomena jamak sejak dulu.
Klaim bisa dilakukan oleh dokter, rumah sakit, atau siapa pun yang berkepentingan dengan tindakan terapi, tetapi bisa juga oleh pasien. Fenomena ini makin marak di era digital saat ini. Seorang dokter dapat dengan mudah menyebarkan opininya tentang kemanjuran sebuah terapi atau bahkan mempromosikan terapinya sendiri. Dari sisi pasien lebih ramai lagi. Pasien bisa dengan mudah membagikan pengalaman terapinya, baik atau buruk, dan membuat kesimpulan kemanjuran terapi.
Klaim-klaim medis ini tentu saja memengaruhi opini publik. Jika klaimnya palsu atau keliru, efeknya sangat merugikan. Warga bukan hanya terbuai harapan palsu, melainkan juga menderita kerugian waktu dan finansial serta berisiko mengalami efek kesehatan serius.
Klaim pasien
Pesatnya perkembangan teknologi informasi memantik munculnya sebuah fenomena baru di masyarakat, fenomena post-truth. Pada fenomena ini, opini publik lebih banyak dibentuk oleh perasaan, emosi, dan keyakinan pribadi (personal belief) daripada fakta obyektif. Di bidang kesehatan, pasien adalah obyek terapi yang rentan mengalami efek post-truth. Alasannya, pengetahuan medis mereka terbatas (limited health literacy).
Di bidang kesehatan, pasien adalah obyek terapi yang rentan mengalami efek post-truth.
Akibatnya, penilaian mereka terhadap berbagai aspek medis pun cenderung subyektif. Mereka, misalnya, mengukur keberhasilan terapi berdasarkan perasaan mereka. Sudah sering terdengar testimoni pasien yang puas dengan pengobatannya karena ”merasa lebih baik dan sehat” setelah terapi. Dengan modal ”merasa lebih baik dan sehat”, mereka mengklaim kemanjuran terapi, bahkan mempromosikan ke mana-mana, termasuk menyanjung dokter pemberi terapi.
Dulu, testimoni pasien memang menjadi parameter penting keberhasilan terapi. Hingga abad ke-14, kemanjuran terapi hanya ditentukan dua indikator: testimoni pasien dan perubahan klinis yang dialaminya.
Setelah memberikan terapi, dokter mengevaluasi terapinya dengan menanyakan perasaan pasien dan memantau keluhannya. Jika pasien menyatakan kondisinya membaik dan keluhannya menghilang, ini cukup menjadi ukuran keberhasilan terapi.
Testimoni pasien bahkan jadi standar benar-salahnya seorang dokter di pengadilan. Dokter bisa masuk penjara akibat testimoni pasien. Saat itu, dunia kedokteran memang masih prematur dan konvensional. Belum banyak alat pemeriksaan dan parameter obyektif tersedia.
Dunia kedokteran selanjutnya mengalami evolusi. Mulai ditemukan berbagai alat dan teknik pemeriksaan yang memungkinkan penilaian obyektif struktur dan fungsi tubuh. Mikroskop berkembang pada 1590-1665. Alat pengukur tekanan darah mulai digunakan tahun 1881. Awal abad ke-20, penemuan teknologi medis makin marak, termasuk ditemukannya rontgen (X-ray), ultrasonografi, dan nuclear magnetic resonance.
Beberapa abad terakhir, penemuan alat-alat baru dan canggih semakin masif. Dengan beragam alat tersebut, hampir semua fungsi dan struktur tubuh telah dapat dikuantifikasi secara obyektif, bahkan hingga tingkat molekuler. Timbullah paradigma baru: dunia kedokteran makin presisi dan obyektif dan peranan testimoni pasien mulai termarginalisasi.
Saat ini testimoni pasien dianggap tak lebih dari anekdot, yaitu narasi subyektif yang belum dibuktikan kebenarannya (unverified argument). Kedudukannya dalam aspek legal dan pembuktian ilmiah tak kuat. Untuk membuatnya relevan, testimoni pasien harus bisa dikuantifikasi secara obyektif.
Narasi pasien yang ”merasa bertambah sehat” perlu diukur secara obyektif. Apanya yang makin sehat; apakah elemen tekanan darah, kadar gula, kadar lemak, aliran darah ke otak, aliran darah ke jantung, jumlah sel darah, kadar hemoglobin, kemampuan melakukan kegiatan, kapasitas paru dan ginjal atau elemen lain?
Pengukuran penting untuk mencegah testimoni yang tak adekuat atau keliru ( false claim), yang berpotensi merugikan masyarakat.
Mujurnya, semua elemen ini telah bisa diukur saat ini. Pengukuran penting untuk mencegah testimoni yang tak adekuat atau keliru (false claim), yang berpotensi merugikan masyarakat. Ironisnya, masih banyak warga yang percaya testimoni-testimoni subyektif; apalagi jika digaungkan oleh figur publik. Ini menjadi alasan, banyak institusi yang tetap menggunakan testimoni pasien dalam mempromosikan produknya.
Klaim dokter
Seorang dokter perlu superhati-hati saat ingin menggaungkan efek terapi. Ada aturan dan etikanya. Dunia kedokteran saat ini berada pada era evidence-base medicine. Semua nasihat dan terapi medis yang diberikan pada pasien harus memiliki bukti klinis yang adekuat berdasar studi-studi yang valid. Tak bisa didasarkan hanya pada pertimbangan logika dan pengalaman pribadi dokter.
Alasannya, pertimbangan logika dan pengalaman pribadi sifatnya terbatas dan subyektif. Hal yang dianggapnya baik belum tentu baik saat diuji pada populasi pasien yang lebih luas. Pengalamannya mengobati sejumlah pasien tak serta-merta dapat diekstrapolasi sebagai pengalaman yang dapat berlaku untuk ribuan atau jutaan pasien lain.
Efek positif terapinya terhadap sejumlah pasien bisa berbeda ketika terapi itu diberikan pada pasien yang lebih banyak. Sebuah studi melaporkan bahwa saat ini terdapat 400 lebih terapi yang jamak dilakukan dokter berdasar pertimbangan logika, ternyata bertentangan dengan hasil studi klinis. Salah satunya, pemberian hormon pengganti estrogen.
Saat menopause, wanita mengalami peningkatan risiko menderita penyakit jantung akibat berkurangnya kadar hormon estrogen. Secara logika, pemberian hormon estrogen bisa mengurangi risiko penyakit jantung. Pemberian hormon estrogen pada wanita menopause pun menjadi sangat marak.
Sayangnya, beberapa penelitian justru menyimpulkan hal paradoks; pemberian hormon ini justru bisa meningkatkan risiko penyakit jantung pada wanita menopause. Terapi yang tampaknya logis ternyata tidak bersesuaian dengan hasil studi klinis.
Keharusan menggunakan bukti klinis komprehensif merupakan upaya dokter menjaga prinsip etik tindakan medis, yaitu memenuhi prinsip nonmalefecence (tak membahayakan) dan beneficence (memiliki manfaat). Prinsip ini tak boleh dilanggar. Dengan me-review dan menganalisis berbagai sumber, dokter berikhtiar menelisik bukti klinis bahaya dan manfaat tindakan yang akan dilakukan.
Dengan me- review dan menganalisis berbagai sumber, dokter berikhtiar menelisik bukti klinis bahaya dan manfaat tindakan yang akan dilakukan.
Jika bukti klinis menunjukkan bisa membahayakan pasien, tindakan itu tak dilakukan. Dokter tak dibenarkan memberikan terapi yang belum punya bukti klinis atau bukti klinisnya lemah sekalipun terapi itu diyakini bermanfaat. Menabrak prinsip ini tidak hanya melanggar sumpah dan etika dokter, juga mencederai standar profesional kedokteran.
Era bukti klinis
Klaim-klaim medis, baik dari dokter maupun pasien, bisa valid dan bisa tak valid. Tergantung landasan argumennya. Kalau didasarkan pada bukti klinis yang adekuat, klaim bisa saja valid dan benar. Klaim subyektif pasien semata tak bisa dijadikan ukuran kemanjuran terapi sekalipun yang mengklaim figur publik.
Narasi ”saya merasa lebih sehat” tidak relevan menggambarkan kemanjuran sebuah terapi. Untuk membuat klaim pasien relevan, klaim mesti diuji secara obyektif dengan berbagai tes. Klaim dokter juga tak bisa diterima jika argumen hanya didasarkan pada pemikiran atau pengalaman pribadi. Klaim valid mesti didasari bukti klinis yang adekuat.
Tindakan yang diklaim bermanfaat tapi belum dilakukan uji klinis mesti ditunda sementara sambil menunggu uji klinis yang valid dan adekuat. Di era teknologi informasi saat ini, mestinya tak ada lagi alasan menggaungkan klaim-klaim medis yang tak disertai bukti klinis.
Dunia kedokteran sudah sangat maju. Bidang ini memiliki banyak alat yang bisa digunakan dalam studi-studi klinis. Ini mestinya bisa dimanfaatkan untuk menguji terapi-terapi yang belum memiliki landasan ilmiah. Penelitian-penelitian ilmiah juga booming.
Baca juga Etik Kesehatan dalam Pandemi
Tahun 2000, studi klinik yang terdaftar di WHO sekitar 2.000; jumlah ini meningkat mendekati 700.000 studi tahun ini. Dengan jumlah studi yang masif ini, dunia kedokteran memiliki sumber referensi yang adekuat. Isu-isu medis bisa dianalisis dengan referensi ilmiah yang tersedia.
Kedokteran berkembang menjadi bidang yang makin akurat dan presisi dan ruang untuk berspekulasi atau berargumentasi pada ranah subyektif makin berkurang. Artinya, klaim-klaim subyektif mestinya sudah tidak mendapat tempat.
Namun, faktanya, hingga kini klaim-klaim subyektif masih marak bersirkulasi. Testimoni subyektif terus menghiasi media. Juga masih ada dokter yang tetap menjalankan terapi yang dianggapnya benar meski belum memiliki basis studi klinis yang adekuat. Bahkan ada dokter yang tetap mempraktikkan terapi yang bertentangan dengan hasil studi klinis. Alasannya beragam: permintaan pasien, pertimbangan keuntungan finansial, atau karena tindakan itu telanjur populer dan diterima masyarakat.
Padahal, di tengah kondisi mudahnya mencari sumber informasi, praktik-praktik seperti itu mestinya sudah tereliminasi. Benarlah kata beberapa ahli, dunia kita saat ini bukan hanya diterpa pandemi Covid-19, melainkan juga pandemi praktik-praktik dengan spirit post-truth.
Iqbal Mochtar, Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah, dan Anggota IAKMI dan Perdoki