Perjuangan emansipasi dan literasi perempuan di era Industri 4.0 mengalami banyak tantangan. Dominasi laki-laki dalam penggunaan teknologi sangat kuat. Teknologi dan internet sebagai produk sosial juga tidak bebas nilai.
Oleh
LASMI PURNAWATI
·5 menit baca
Berbicara literasi perempuan Indonesia tidak bisa lepas dari sosok RA Kartini, pelopor emansipasi dan feminisme Indonesia. Cita-cita keaksaraan Kartini yang kemudian ditulis dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi landasan kaum perempuan masa kini mengepakkan sayap berperan aktif di sektor publik dan menjadi bagian yang turut menentukan peradaban dunia.
Seiring perjalanan waktu, ekspresi kebebasan atau emansipasi bermetamorfosis dalam beragam bentuk. Di era masyarakat informasi, kebebasan tak lagi dalam kekang ruang dan waktu. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memfasilitasi setiap individu untuk membuka jendela dunia dan terhubung ke dalam masyarakat global.
Perempuan pun memanfaatkan kemajuan teknologi digital, menyejajarkan diri melalui berbagai upaya pemberdayaan. Berevolusi dari upaya menguatkan keaksaraan tradisional menjadi keterampilan literasi digital agar mampu menjadi bagian yang memiliki eksistensi dan posisi dalam pembangunan dan globalisasi.
Dalam perspektif cyberfeminis, terdapat optimisme yang tinggi bahwa penggunaan teknologi informasi mampu membuka jalan baru yang menyediakan peluang seluas-luasnya bagi kemajuan perempuan di segala bidang dan di mana pun, tanpa ada seksisme, rasisme, dan penindasan (Suharnanik, 2018). Perspektif ini mengandaikan teknologi informasi sebagai sebuah produk kebudayaan yang bebas nilai. Meski ini terdengar utopis, penganut cyberfeminis yakin akan hal ini ketika pemahaman tentang perempuan dan teknologi direkonstruksi ulang.
Perempuan yang terhibridasi dengan teknologi atau disebut cyborg, yaitu mereka yang mampu memberdayakan diri di dalam zamannya, diharapkan menjadi motor penggerak untuk membentuk koalisi sesama perempuan dan menghasilkan kebijakan yang responsif jender. Para cyborg tidak membutuhkan apa pun, selain dirinya dengan mesin yang canggih dan tidak terikat pada norma masyarakat mana pun.
Pandangan ini muncul dari kepercayaan diri perempuan bahwa perempuan mampu mengambil manfaat teknologi untuk kepentingan alat perjuangan diri dan kaumnya. Sayangnya, di balik keinginan perempuan menguasai dan ahli dalam merancang ulang jaringan dalam teknologi digital terselip pula ambisi untuk membuktikan bahwa perempuan bisa lebih setara daripada laki-laki atau bisa lebih superior sehingga dalam upayanya selalu berusaha meningkatkan kelasnya. Semata, karena perempuan tak ingin lagi hidup dalam dominasi laki-laki, tersubordinasi, termarjinalisasi, mengalami kekerasan dan domestikasi, sebagaimana perempuan yang hidup dalam budaya patriarki.
Budaya patriarki
Sebaliknya dalam wajah yang lain, perjuangan emansipasi dan literasi perempuan di era revolusi industri 4.0 mengalami banyak tantangan. Dominasi laki-laki dalam penggunaan teknologi masih sangat kuat. Apalagi teknologi dan internet sebagai produk sosial, bersifat tidak bebas nilai atau budaya. Nilai barang dan jasa teknologi digital cenderung lebih maskulin daripada feminin (Dholakia dan Kshetri, 2003). Teknologi informasi dan komunikasi masih sangat dekat dengan identitas laki-laki, sedangkan perempuan cenderung dipandang sebagai obyek (Retno Budi Lestari, 2010).
Kita juga tidak bisa mengabaikan fenomena bahwa di era modern sekalipun, budaya patriarki menjadi tantangan serius emansipasi dan literasi digital perempuan. Dua mekanisme bertahannya budaya patriarki, yaitu pembagian kerja seksual dan kontrol seksualitas perempuan oleh laki-laki, terus berlangsung. Sebagian perempuan terjebak dalam pemikiran yang dikotomis dan diskriminatif.
Di era modern sekalipun, budaya patriarki menjadi tantangan serius emansipasi dan literasi digital perempuan.
Mitos superioritas laki-laki atas perempuan meniadakan ruang kritis. Pengaruh budaya patriarki pun terasa di bidang teknologi. Masih terdapat anggapan bahwa teknologi menjadi tugas laki-laki dan merupakan ranah maskulin. Perempuan kodratnya adalah mengurus rumah dan mengasuh anak, tidak cocok bekerja di ruang publik, apalagi menggunakan teknologi.
Segaris lurus dengan anggapan bahwa dunia TIK tidak ramah terhadap perempuan seakan menjadi pembenaran. Perempuan rentan terhadap kejahatan dunia maya, pelecehan secara daring (online), diskriminasi, kekerasan, konsumerisme politik, bahkan radikalisasi daring dan disinformasi.
Neo imperialisme
Perkembangan teknologi informasi dengan berbagai platform digital raksasa, seperti Facebook, Instagram, Youtube, dan sebagainya tak hanya memiliki sisi terang yang berpotensi positif, tetapi membawa serta dampak negatif meski masyarakat relatif buta terhadap kekuatan sisi gelap ini. Salah satunya isu imperialisme digital neokolonial. Jika imperialisme diartikan sebagai invasi negara asing untuk memajukan kepentingan dan kekuasaan negara invasi, imperialis digital tidak perlu mengorbankan kolonisasi fisik karena dapat memajukan kepentingannya dan memperluas kekuasaan dengan menjajah pikiran warga secara digital (Tony Roberts, 2018).
Perempuan pun tidak lepas dari penjajahan media baru ini. Alih-alih penggunaan teknologi membantu melampaui keterbatasan perempuan dan memberdayakan, tidak jarang pengguna justru terjebak dalam situasi eksploitatif dan dikendalikan. Misalnya soal standar kecantikan, perempuan digiring sesuai keinginan dan kepentingan industri kecantikan saat ini dan dijadikan target market.
Dalam dunia politik, perempuan dijadikan komoditas elite politik dan penguasa. Dalam seri literasi digital, Lintang Ratri Rahmiaji menyebut perempuan sebagai agen kekerasan, dengan mengambil contoh kasus pada saat Pilpres 2019. Dengan aktivitas bermedia sosial yang didominasi isu gaya hidup dan gosip, perempuan rentan diterpa hoaks serta menyebarkannya. Apalagi tingkat literasi perempuan di Indonesia masih terhitung rendah. Perempuan cenderung menerima mentah-mentah informasi yang didapatkan dari media daring.
Solusi
Literasi merupakan mediator utama pembebasan manusia dari diskriminasi dan penindasan.
Keterampilan literasi digital kritis akan menjadi pertahanan terbaik dan dapat meningkatkan pemahaman kritis tentang privasi, keamanan data, berita palsu, cara memerangi kekerasan daring dan ujaran kebencian berbasis jender dan ras. Literasi digital bagi perempuan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran kritis tentang ekonomi politik data dan bagaimana kaum perempuan dapat bekerja sama untuk mengatasi penyalahgunaan online dan ketidakadilan teknologi.
Untuk itu, diperlukan kebijakan inklusi digital jender. Namun, ini tidak bisa hanya terkait dengan kebijakan digital, tetapi harus terintegrasi dengan inisiatif yang lebih luas terkait dengan semua sektor ekonomi, masyarakat, dan budaya. Sebab masalah kesenjangan digital jender bukanlah kegagalan perempuan untuk berkontribusi, melainkan kontribusi itu terjadi di bawah kondisi eksploitatif dan opresif.
Namun di atas itu semua, tantangan terbesar dalam emansipasi adalah mengalahkan sikap inferioritas dalam diri perempuan sendiri sebagai buah stereotip yang selama ini dilekatkan oleh budaya patriarki. Perempuan harus tegak berdiri sama tinggi memasuki peran emansipatoris di dalam pergaulan global yang dinamis dan progresif, karena perempuan merupakan kunci pembuka bagi pendidikan dan literasi putra-putri penerus bangsa.
Lasmi Purnawati, Penulis adalah Direktur Eksekutif Pena Demokrasi Indonesia