Talenta Digital
Bagi masyarakat Indonesia, transformasi digital adalah proses yang tak terelakkan. Proses transformasi digital itu salah satu kunci yang tak bisa diabaikan adalah perkembangan talenta digital masyarakat.

-
Dalam proses transformasi digital salah satu kunci yang tak bisa diabaikan adalah perkembangan talenta digital masyarakat. Pemerintah menargetkan pada 2030 kita memiliki sembilan juta talenta digital terampil yang siap bersaing dalam iklim kapitalisme global yang makin kompetitif.
Tak kurang dari Presiden Joko Widodo sendiri yang mengimbau agar seluruh perusahaan besar mendukung generasi muda mengembangkan kompetensinya dalam dunia digital. Ini prasyarat yang tak terhindarkan agar tak ketinggalan di tengah perkembangan Revolusi Industri 4.0 yang makin cepat, Indonesia mau tak mau harus mempersiapkan talenta-talenta digital yang mampu mengisi kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha.
Tidak mungkin Indonesia mampu survive dalam iklim persaingan global jika hanya mengandalkan tenaga terampil konvensional yang tidak menguasai literasi digital yang kuat. Berbeda dengan awal perkembangan kapitalisme (early capitalism) di mana keberlangsungan dunia usaha masih mengandalkan pada kepemilikan modal dan sarana produksi.
Di era late capitalism seperti sekarang ini, kunci meraih kesuksesan adalah talenta digital yang kekinian, yang mampu memanfaatkan teknologi informasi dan kemajuan jaman sebagai keterampilan dan habitat baru sesuai tuntutan kemajuan jaman.
Tidak mungkin Indonesia mampu survive dalam iklim persaingan global jika hanya mengandalkan tenaga terampil konvensional yang tidak menguasai literasi digital yang kuat.
Era baru
Secara garis besar, ada dua indikasi utama dari perkembangan masyarakat di era Revolusi Industri 4.0, yakni penemuan miniatur sirkuit elektronik dan optikal yang mampu mempercepat arus informasi melalui jaringan, serta integrasi dari proses komputer dan telekomunikasi ke dalam teknologi terpadu yang disebut dengan istilah “kompunikasi” (Cabin & Dortier (eds.), 2004).
Menurut Manuel Castells (2000), saat ini dunia sedang memasuki zaman informasi di mana berbagai kemajuan teknologi informasi digital telah menyediakan dasar materi bagi perluasan pervasive dari apa yang ia sebut sebagai “bentuk jejaring dari organisasi” dalam setiap keadaan struktur sosial. Integrasi internet ke dalam dunia kehidupan telah menciptakan bentuk baru identitas sosial dan ketidaksetaraan di masyarakat, menjadikan kekuasaan bagian dari arus desentralisasi, sekaligus melahirkan bentuk-bentuk baru organisasi sosial yang bertumpu pada kekuatan informasi.
Castells (1996), menyatakan bahwa di era revolusi informasi, selain ditandai dengan perkembangan TI yang luar bisa canggih, juga muncul apa yang ia sebut sebagai kebudayaan virtual riil, yaitu satu sistem sosial-budaya baru di mana realitas itu sendiri sepenuhnya tercakup, sepenuhnya masuk dalam setting citra maya, di dunia fantasi, yang di dalamnya tampilan tidak hanya ada di layar tempat dikomunikasikannya pengalaman, namun mereka telah menjadi pengalaman itu sendiri (Ritzer & Goodman, 2008: 632).
Baca juga : Jangan Jadi Budak Teknologi Digital
Masyarakat yang semula berinteraksi dalam ruang yang nyata dan bertatap-muka, dengan kehadiran internet mereka kini bisa berinteraksi dengan siapa pun secara online, tanpa dibatasi nilai dan norma, sehingga di kalangan warga masyarakat yang mengembangkan hubungan dalam jejaring komputer, tak pelak mereka pun tumbuh dengan subkulturnya yang khas – yang berbeda dengan masyarakat konvensional.
Di Indonesia, menurut data terbaru, jumlah pengguna internet terus meningkat. Per Maret 2021, jumlah pengguna intenet di Indonesia tercatat 212,2 juta orang. Pada 2017 jumlah pengguna internet baru 143,3 juta orang dan di 2019 tercatat 196,7 juta orang. Di tahun 2021, jumlah pengguna internet terus naik hingga mencapai 77,9 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Yang menjadi masalah: meski jumlah pengguna internet terus naik, ternyata hal itu tidak diikuti dengan kenaikan kemampuan dan literasi digital masyarakat. Paschal Preston, dalam bukunya Reshaping Communications, Technology, Information and Social Change (2001) memaparkan sejak 1970-an, banyak hal terjadi dan telah berubah dalam kehidupan komunikasi manusia, terutama berkaitan dengan kian meluasnya pemakaian teknologi informasi dan media massa.
Perubahan yang terjadi di masyarakat tak hanya menyangkut persoalan inovasi teknik baru yang radikal di bidang informasi dan komunikasi, seperti perkembangan cepat internet/world wide web dan prospeknya sebagai garda terdepan dalam perdagangan elektronik dan jasa multimedia digital.
Perubahan yang terjadi bukan hanya persoalan potensi aplikasi teknologi informasi dan sistem jaringan yang dengan mudah akan tersebar luas atau pervasive —yang memungkinkan manusia mempergunakannya baik di tempat kerja maupun di rumah. Masyarakat di era post-industrial, menurut Preston tidak hanya menghadapi ‘perubahan seismik’ saja pada sifat infrastruktur teknik TIK yang tersedia sebagaimana kita memulai milenium baru.

Apa yang terjadi dekade belakangan ini sesungguhnya adalah perubahan besar pada cara kita memikirkan tentang sifat perkembangan teknologi baru itu beserta dampaknya bagi tatanan sosial, ekonomi, dan budaya yang berlaku sejak kemajuan era industrial kapitalis.
Di era masyarakat post-industrial, teknologi komputer beserta sistem yang ditawarkan, dan kehadiran internet yang memungkinkan para penggunanya menjelajahi ruang dan waktu tanpa batas, menurut Preston kemudian menyatu dengan teknologi media komunikasi konvensional yang bersifat masif. Fenomena penyatuan atau perpaduan teknologi informasi dan komunikasi, media massa, dan media komunikasi konvensional inilah yang sering disebut sebagai sebuah proses konvergensi media.
Preston (2001: 27) mengatakan bahwa konvergensi media akan membawa dampak pada perubahan radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi visual, audio, teks, data, dan sebagainya.
Konvergensi media adalah penyatuan atau penggabungan berbagai media massa dan teknologi informasi ke dalam satu paket perangkat gadget yang makin memudahkan pemiliknya untuk mengakses berbagai informasi dan tayangan. Konvergensi media merupakan integrasi dari fungsi-fungsi berbagai media ke dalam satu media yang makin canggih.
Konvergensi media ini muncul bukan sekadar didorong oleh kebutuhan pengguna akan beberapa fungsi teknologi, tetapi merupakan implikasi dari akumulasi perkembangan teknologi informasi yang makin modern dan meluas.
Sistem digital, dalam proses terjadinya konvergensi media adalah faktor pendukung yang penting. Ketika setiap informasi berkembang dari format analog menjadi format digital, maka sejak itu kemungkinan atau peluang penyebaran informasi yang makin masif dan cepat akan lebih terbuka.
Bagi masyarakat Indonesia, transformasi digital adalah proses yang tak terelakkan.
Digital adalah teknologi yang berkaitan dengan internet, sehingga dengan perkembangan konvergensi media, maka hal itu akan memungkinkan bergabungnya media telekomunikasi konvensional dengan internet yang merupakan energi baru yang benar-benar radikal.
Munculnya konvergensi media dalam banyak hal telah mengubah hubungan antara teknologi, industri, pasar, gaya hidup dan khalayak. Di ranah ekonomi dan bisnis, munculnya konvergensi media telah mengubah pola-pola hubungan produksi dan konsumsi, yang penggunaannya berdampak serius pada berbagai bidang, baik ekonomi, politik, pendidikan, maupun kebudayaan.
Singkat kata, konvergensi media telah mengubah pola-pola komunikasi pada saat kehadiran teknologi informasi dan media massa makin mampu menawarkan layanan baru yang semakin luas, yang ujung -ujungnya itu telah mengubah cara kita hidup dan bekerja, mengubah persepsi, keyakinan, dan lembaga-lembaga sosial-ekonomi di masyarakat.
Baca juga : Pemikiran dan Kesadaran Menyongsong Era Society 5.0
Meritokratis
Bagi masyarakat Indonesia, transformasi digital adalah proses yang tak terelakkan. Transformasi digital adalah proses dan strategi bagaimana menggunakan teknologi digital untuk secara drastis mengubah cara bisnis beroperasi dan merebut pasar agar mampu survive di tengah impitan persaingan usaha yang makin mengglobal.
Selama pandemi Covid-19, data memperlihatkan bahwa sirkulasi logistik naik 60 persen akibat penggunaan delivery-groceries. Menurut catatan, selama setahun terakhir, konsumen digital naik 10,2 persen dan transaksi e-money naik 55 persen. Di 2030, sektor keuangan digital diprediksi tumbuh delapan kali lipat, dari sekitar Rp 600 triliun menjadi Rp 4.500 triliun.
Merespons perkembangan perilaku konsumen yang makin bergeser ke transaksi daring inilah, maka para pelaku ekonomi di Indonesia mau tidak mau harus pula menggeser pola pemasaran yang dikembangkan.
Namun, memastikan arah transformasi digital dapat berjalan sesuai koridor yang diinginkan bukan hal mudah. Sejumlah kendala dan permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam proses transformasi digital adalah, pertama, berkaitan dengan kondisi literasi keuangan masyarakat Indonesia yang baru mencapai 30,03 persen.
Angka ini jauh di bawah Singapura yang 98 persen, Malaysia 85 persen dan Thailand 82 persen. Tanpa didukung literasi keuangan masyarakat yang memadai, jangan harap para pelaku ekonomi di Indonesia mampu menghadapi pergeseran pola konsumsi dan tuntutan konsumen yang makin melek hak-haknya di era post- modern seperti sekarang. Selain berorientasi pada peningkatan kualitas layanan, kemampuan literasi keuangan juga menyangkut peningkatan pengetahuan masyarakat tentang cyber security.
Memastikan agar transformasi digital tidak malah melahirkan dampak yang kontra-produktif, yang dibutuhkan tak pelak adalah fondasi sosial yang kuat.
Kedua, meski mutlak terkait dengan penggunaan teknologi digital, transformasi digital bukan semata tentang teknologi, tetapi juga memerhatikan unsur sosial seperti kebudayaan dan kondisi sosial masyarakat. Dalam proses transformasi digital, masyarakat perlu memahami berbagai pengaruh negatif teknologi informasi, seperti hoaks, cyberporn, cyber crime, dan lain-lain yang berpotensi merugikan masyarakat.
Ketiga, kemungkinan terjadinya dampak kebijakan yang meritokratis. Keputusan pemerintah mempercepat proses transformasi digital, bukan tak mungkin akan melahirkan kesenjangan digital yang makin terpolarisasi jika tak diimbangi persiapan dan pengembangan modal sosial masyarakat.
Memastikan agar transformasi digital tidak malah melahirkan dampak yang kontra-produktif, yang dibutuhkan tak pelak adalah fondasi sosial yang kuat. Pengembangan talenta digital memang dibutuhkan, tetapi harus ada jaminan bahwa hal itu tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, sementara di saat yang sama justru memarginalisasi keberadaan kelompok lain.
Rahma Sugihartati Dosen Isu-isu Masyarakat Digital Program Doktor Ilmu-ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga