Pembiayaan Inklusif Tekfin
Data menunjukkan belum semua bank mampu memenuhi ketentuan rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM). Mengejar RPIM 30 persen dalam tenggat dua tahun tidak mudah, apalagi tidak memiliki rekam jejak di sektor UMKM.
Gayung bersambut. Peribahasa itu sepertinya tepat dialamatkan pada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
Kebijakan Bank Indonesia (BI) di ranah makroprudensial tampaknya tak bertepuk sebelah tangan. Tidak berselang lama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) cepat merespons dengan kebijakan lanjutan di area mikroprudensial.
Di satu sisi, kebijakan BI telah menggariskan rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM). Ketentuan RPIM mewajibkan industri perbankan nasional untuk mengalokasikan pembiayaan pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) secara bertahap menuju 30 persen pada 2024.
Data menunjukkan belum semua bank mampu memenuhi ketentuan RPIM. Secara industri, perbankan sampai sejauh ini baru mampu mencapai RPIM 20 persen. Mengejar RPIM 30 persen dalam tenggat dua tahun tentu bukan perkara mudah, apalagi bank yang tak memiliki rekam jejak di sektor UMKM.
Setiap bank memang memiliki model bisnis tersendiri dengan spesialisasi yang berbeda pula.
Setiap bank memang memiliki model bisnis tersendiri dengan spesialisasi yang berbeda pula. Padahal, pembiayaan UMKM menuntut pendekatan, pengalaman, dan keahlian khusus yang tak dimiliki semua bank, sementara ketentuan RPIM berlaku untuk semua individu bank yang beroperasi di Indonesia.
Jika memaksakan diri ekspansi pembiayaan ke UMKM, mereka harus memiliki skala usaha yang besar lantaran ada risiko yang besar pula. Oleh karena itu, tidak semua bank mau dan mampu ”bermain” di segmen UMKM. Sebaliknya, hanya bank milik negara dan sedikit bank swasta yang sukses berkiprah di sektor UMKM.
Di sisi lain, OJK hendak menata ulang komposisi sumber penyediaan dana bagi teknologi finansial/tekfin (financial technology/fintech) pinjaman, atau lebih dikenal dengan pinjaman dalam jaringan/daring (online). Penyedia dana individu, baik pribadi maupun lembaga, dibatasi hanya boleh memberikan pembiayaan maksimum 25 persen dari total pinjaman yang disalurkan tekfin.
Baca juga : Ekosistem Digital Meningkatkan Kapasitas UMKM di Seluruh Dunia
Fakta menunjukkan lender ritel sampai akhir 2021 baru memiliki kontribusi sebesar 15,1 persen dari outstanding pinjaman. Nilainya pun ”hanya” Rp 4,43 triliun, sementara lender yang berasal dari luar negeri masih memberikan kontribusi 25,03 persen dari outstanding pinjaman dengan nilai Rp 7,31 triliun.
Data di atas menunjukkan ketidakseimbangan struktur pasokan dana. Keberadaan institusi sebagai penyedia dana di tekfin pinjaman (relatif terhadap penyedia dana ritel) masih sangat dominan. Ketergantungan tekfin pinjaman pada penyedia dana perseorangan niscaya mendatangkan dampak negatif lebih banyak.
Persoalan akan lebih rumit lagi jika superlender itu yang berasal dari luar negeri. Derasnya aliran dana keluar-masuk lintas negara juga membawa implikasi tertentu pada pasar finansial. Lagi pula, sebuah ironi besar jika porsi superlender luar negeri justru lebih tinggi daripada pemasok dana dari dalam negeri.
Sampai di sini, benang merah yang bisa ditarik dari dua kebijakan di atas adalah sinergisitas. Lewat regulasi anyarnya, OJK menghendaki investor ritel domestik lebih dominan dalam pendanaan tekfin pinjaman. Semakin banyak individu anggota masyarakat yang menjadi lender, semakin banyak pula ”pemilik”-nya.
Tekfin yang memiliki banyak sumber pendanaan secara finansial juga lebih kondusif. Ketergantungan pendanaan bisa ditekan, manuver tekfin dalam menjalankan peer-to-peer pinjaman lebih ringan, sehingga lebih independen. Tekfin pinjaman termaksud akan lebih sehat secara organisasi lantaran dikelola secara ”terbuka”.
Jika skenario ini berjalan, tekfin pinjaman bisa menjadi wahana investasi bagi investor ritel. Imbal hasil yang ditawarkannya pun cukup atraktif. Lender ritel bisa mendapat imbal hasil bersih di kisaran 8 persen, jauh di atas suku bunga bank. Dengan demikian, lender ritel menjadi salah satu cara potensial bagi upaya pemerataan pendapatan.
Sampai di sini, benang merah yang bisa ditarik dari dua kebijakan di atas adalah sinergisitas.
Secara simetris, penyedia dana institusi dalam negeri juga tetap diberi porsi. Langkah OJK tersebut agaknya menjadi opsi alternatif tatkala proses akuisisi bank terhadap tekfin menemui jalan buntu. Banyak bank besar gagal mengakuisisi tekfin untuk kemudian diubah menjadi bank digital lantaran pemiliknya enggan melepas..
Lebih lanjut, superlender institusi yang akan didorong lebih banyak berkiprah terutama yang berasal dari ekosistem lembaga jasa keuangan lain. Dalam konteks ini, bank-bank yang tidak memiliki keahlian dalam penyaluran kredit pada UMKM bisa memberikannya lewat tekfin pinjaman.
Mekanisme channeling mengizinkan bank-bank tersebut untuk menjadi kreditor tak langsung. Demikian pula, format peer-to peer lending membuka peluang bagi bank-bank tadi untuk selektif memasok dananya pada sektor UMKM demi memenuhi ketentuan RPIM. Dengan cara ini, ”rantai pasok” keuangan terjalin kuat.
Alhasil, sinergi antara investor ritel domestik dan lembaga jasa keuangan dalam negeri difasilitasi dalam wadah tekfin kreasi pribumi. Kolaborasi ketiganya tentu menjadi langkah strategis jangka panjang guna memperkuat fondasi investor domestik di pasar keuangan, setidaknya dalam lingkup yang lebih kecil dulu.
Intinya, inklusivitas keuangan sisi hulu dan sisi hilir akan tercapai berbarengan.
Bagaimanapun, nasabah tekfin mayoritas toh adalah pelaku UMKM yang mengalami keterbatasan akses terhadap perbankan umum, sementara segmen UMKM sudah terbukti mampu menyangga perekonomian rakyat di masa-masa krisis. Intinya, inklusivitas keuangan sisi hulu dan sisi hilir akan tercapai berbarengan.
Muara dari pertemuan dua kebijakan BI dan OJK di atas niscaya memberikan arah baru bagi tekfin pada umumnya dan pinjaman daring pada khususnya. Tekfin pinjaman—dengan dukungan investor ritel dan perbankan domestik—ditantang untuk mampu memberikan sumbangsih nyata bagi perekonomian.
Baca juga : Inovasi Sistem Pembayaran Digital Perluas Inklusi Keuangan
Jika tantangan itu bisa dibayar lunas, citra pinjaman daring yang sempat merosot akibat ulah menyimpang pinjaman daring ilegal secara perlahan akan terpulihkan.
Pada akhirnya, bukan tidak mustahil, tekfin atau pinjaman daring mampu melampaui ketentuan RPIM yang dibebankan pada sektor perbankan. Bukan begitu, BI dan OJK?
Haryo Kuncoro, Guru Besar FE UNJ; Direktur Riset SEEBI Jakarta; Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara ISEI Pusat