Fatamorgana Kekuasaan
Untuk menghindarkan keresahan dan spekulasi yang semakin liar, mungkin akan lebih baik kalau Presiden Jokowi dengan tegas menyatakan, ”Saya tidak akan menunda pemilu dan tidak akan menjabat presiden tiga periode”.
Kekuasaan itu memikat. Ia menyilaukan. Kecenderungan pemimpin yang percaya diri adalah melanggengkan kekuasaan atas nama kehendak rakyat. Fatamorgana politik ini mudah menggoda pelupuk mata penguasa. Apalagi, big data memungkinkan untuk menjadi sarana rekayasa dukungan aspirasi warga negara.
Fatamorgana merupakan fenomena ilusi penglihatan yang terjadi di tanah lapang luas (padang pasir) akibat pembiasan cahaya sehingga menampilkan sesuatu yang tidak ada menjadi seakan-akan ada. Tanah lapang yang luas itu di dunia politik mirip dengan big data yang darinya mudah dicari alasan legitimasi kekuasaan.
Orang bisa mengambil informasi apa saja dari big data sesuai kepentingannya. Dalam big data, bisa ditemukan semua informasi dari berbagai data politik, jajak pendapat, ekonomi, teknologi, bisnis, hingga pendidikan. Big data memiliki beragam besaran, baik kapasitas data, sumber, maupun kegiatan dengan beragam satuan pencatatan data, seperti satuan waktu tahun, bulan, minggu, jam, menit. Big data juga memiliki beragam format, bisa dalam bentuk terstruktur, teks, numerik, video, atau audio. Dari big data, dari padang pasir, orang bisa bercerita apa saja yang informatif dengan didukung data sesuai kepentingannya.
Kecenderungan pemimpin yang percaya diri adalah melanggengkan kekuasaan atas nama kehendak rakyat.
Informasi itu interpretasi
Informasi adalah interpretasi, hasil penafsiran, sedangkan penafsiran tergantung pada perspektif, nilai, keyakinan, atau kepentingan pembacanya. Itulah sebabnya, keyakinan politik sering tidak berdasarkan fakta obyektif. Di ranah politik, tumbuh subur ilusi Muller–Lyer, kata J Haidt.
Ilusi semacam ini mewarnai dunia politik di era post-truth yang, menurut JA Llorente, merupakan ”iklim sosial-politik di mana obyektivitas dan rasionalitas dikalahkan oleh emosi atau hasrat karena keyakinan, meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda” (2017). Orang hanya menerima informasi yang sesuai dengan ideologinya. Meski obyektif atau rasional, apabila bertentangan dengan keyakinannya, informasi akan ditolak.
Baca juga: Menggoreng Calon Presiden
Ilusi semacam itu mewarnai cara berpikir banyak orang karena hanya menekankan intuisi sehingga tidak lagi mempertanyakan makna tindakannya. Padahal, dalam menilai dan memecahkan masalah, berlangsung dua proses kognitif. Pertama, ”melihat bahwa” ketika intuisi mengarahkan penalaran sehingga emosi mengalahkan kognisi; dan kedua, ”berpikir mengapa” yang tidak otomatis, artinya harus sadar karena memperhitungkan makna, motivasi, atau tujuan tindakannya (J Haidt, 2012).
Jangan-jangan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden yang berkembang akhir-akhir ini lebih didominasi oleh penalaran intuitif ”melihat bahwa” karena dorongan kepentingan sekelompok orang. Ilusi semacam itu lahir dari kemalasan berpikir karena terbiasa dimanja oleh fasilitas dan kenyamanan. Cara penalaran ini mengabaikan pikiran kritis. Padahal, untuk kritis, harus ”berpikir mengapa” yang memungkinkan mengarahkan politik agar memperhitungkan tujuan, makna, motivasi tindakan sehingga membuka perspektif dan kepentingan yang lebih luas. ”Berpikir mengapa” itu menjadi titik tolak etika politik.
Demi prediktibilitas politik
Etika politik adalah ”upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain dalam kerangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang lebih adil” (Ricoeur, 1990). Perpanjangan masa jabatan presiden melalui amendemen UUD bisa mengatasnamakan ”ungkapan kebebasan politik rakyat” meski rentan rekayasa. Namun, tujuan kedua etika politik ”membangun institusi-institusi yang lebih adil” diabaikan. Salah satu bentuk institusi yang adil adalah Pasal 7 UUD 1945 setelah amendemen: masa jabatan presiden dan wakil hanya boleh dua periode.
Kalau kita mencoba menggali semangat amendemen itu, setidaknya ada tiga masalah yang mau dijawab. Pertama, agar bangsa ini tidak mengulangi pengalaman sejarah kelam kekuasaan yang cenderung otoriter ketika terlalu lama.
Kedua, mencegah jangan sampai keadilan prosedural diabaikan. Aspirasi rakyat selalu bisa dipakai untuk alasan pelanggengan kekuasaan atas nama demokrasi. Namun, apabila peduli fairness dalam keadilan prosedural, seharusnya yang membagi mengambil bagiannya pada giliran terakhir. Perpanjangan masa jabatan melalui amendemen konstitusi itu merupakan bentuk pelanggaran etika politik karena ”yang membagi justru mengambil giliran pertama”.
Perpanjangan masa jabatan presiden melalui amendemen UUD bisa mengatasnamakan ”ungkapan kebebasan politik rakyat ” meski rentan rekayasa.
Ketiga, amendemen menjamin prediktabilitas politik. Artinya, partai-partai politik dan kelompok-kelompok masyarakat dijamin akan memperoleh kesempatan yang sama untuk mengarahkan kebijakan publik tanpa dihantui pelanggengan rezim. Dengan adanya peluang pergantian rezim, kecenderungan kekuasaan untuk korup dicegah. Penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan akan dapat sanksi dari konstituen serta dibongkar melalui perubahan rezim.
Prediktabilitas politik merupakan salah satu indikator dihormatinya etika politik karena salah satu fungsinya menjamin rasionalitas bertindak. Tindakan disebut rasional jika tujuan menentukan pilihan sarana. Tujuan yang mau dicapai bangsa Indonesia adalah kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan. Pilihan sarananya adalah sistem demokrasi.
Baca juga: Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Picu Perpecahan
Maka, supaya tujuan itu tercapai, demokrasi dianggap sebagai sistem yang menjamin agar lingkup kebebasan semakin diperluas dan institusi-institusi agar menjadi lebih adil. Masalahnya, bukankah amendemen UUD 1945 itu apabila ”dikehendaki rakyat” berarti sesuai dengan prinsip demokrasi? ”Dikehendaki rakyat” sengaja ditaruh dalam tanda kutip karena menimbulkan keraguan: jangan-jangan yang terjadi adalah proses penyitaan kedaulatan rakyat oleh oligarki.
Kedaulatan rakyat disita
Seharusnya kedaulatan rakyat tecermin dari keberagaman wacana yang membentuk opini masyarakat. Lalu terbentuk publik yang mengenali diri sebagai anggota kelompok yang memiliki perspektif kurang lebih sama, setuju atas diagnostik masalah (sebab, tanggung jawab, dan pemecahan), dan ikut terlibat dalam suatu upaya kolektif. Dengan demikian, berkembang warga negara kompeten yang mampu mengorganisasi diri dan memperjuangkan hak-haknya dan hak-hak sesama warga negara.
Pandangan yang didefinisikan oleh publikasi opini memberi bentuk posisi sikapnya. Pandangan pribadi biasanya berakar pada nilai komunitas politiknya (Brougidou, 2008: 14).
Opini publik sangat rentan rekayasa. Di negara demokrasi yang masih rentan, kedaulatan rakyat cenderung disita, mekanisme keputusan hanya di tangan segelintir orang, yaitu pimpinan partai, pengusaha, birokrat, dan media (oligarki).
Ciri-ciri negara demokrasi yang masih rentan: (i) para pemimpin menghadapi persaingan politik dalam lembaga-lembaga yang masih lemah; (ii) partai politik tak mengakar, tapi hanya mewakili kepentingan elite; dan (iii) sistem peradilan korup dan birokrasi rentan korupsi (Johnston, 2005). Ketiga unsur ini membuat politik penuh risiko dan ketidakpastian. Akibatnya, prediktabilitas politik rendah. Kepastian politik hanya bisa dijamin melalui politik uang.
Maka, korupsi kartel-elite (oligarki) merajalela karena butuh biaya untuk: (i) memengaruhi kebijakan publik dan menghalangi atau mengooptasi pesaing potensial; (ii) menguasai keuntungan ekonomi dan menghindarkan kebijakan publik dari tekanan sosial dan elektoral. Dalam situasi politik yang rentan konflik kepentingan seperti itu, sebaiknya kita tak mudah tergoda mengubah mekanisme demokrasi yang sudah berjalan (jabatan presiden/wakil presiden dua periode). Mungkin bukan presiden yang menghendakinya, melainkan mereka yang ambil bagian dalam kekuasaannya.
Untuk menghindarkan keresahan dan spekulasi yang semakin liar, mungkin akan lebih baik kalau Presiden Jokowi dengan tegas menyatakan, ”Saya tidak akan menunda pemilu dan tidak akan menjabat presiden tiga periode”. Pernyataan akan patuh kepada UUD 1945 dianggap tidak tegas dan masih mendua.
HaryatmokoAnggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Komisi Kebudayaan dan Dosen Universitas Sanata Dharma