Menyoal Pembatalan Lumbung Ikan Nasional
Pembatalan Maluku sebagai lumbung ikan nasional merupakan suatu kemunduran dalam sebuah rencana besar pemerintah yang mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Maluku sebagai lumbung ikan nasional (LIN) layu sebelum berkembang. Berita tentang pembatalan program Maluku sebagai LIN mengagetkan banyak pihak karena program ini sudah direncanakan Presiden dan beberapa menteri terkait. Rasanya kalau alasan pembatalan program ini cuma karena lokasi pusat LIN di Maluku merupakan daerah gunung berapi aktif dan ada lokasi pembuangan ranjau dari perang dunia kedua terlalu romantisisme dengan sejarah masa lalu, dan kalaupun memang demikian tentu lokasi dapat dipindah ke lokasi yang lebih aman.
Pertanyaannya, apakah selama ini belum ada kajian yang mendalam tentang program ini. Atau, waktu yang belum tepat untuk proyek LIN karena pemerintah masih memprioritaskan program lainnya di saat kondisi kas negara lagi menipis.
Rencana Maluku sebagai lumbung ikan nasional ini sudah dibicarakan dan diusulkan sejak Sail Banda tahun 2010. Pada saat itu konsep LIN itu terpusat di tiga pelabuhan perikanan di Maluku, yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon, PPN Tual, serta Pelabuhan Perikanan Swasta di Benjina Kepulauan Aru. Namun terdapat beberapa kendala, antara lain belum ada payung hukum dan dukungan pemerintah pusat terkait Maluku sebagai LIN sehingga belum ada perkembangan yang berarti.
Baca juga: Meneropong Arah Lumbung Ikan Nasional Maluku
Setelah berganti pemerintahan dan pada puncak peringatan Hari Pers Nasional pada tahun 2017 di Kota Ambon, Presiden merencanakan kembali dan mendukung konsep Maluku sebagai LIN. Sejak itu masyarakat Maluku menyambut baik dan gembira atas rencana ini, yang ditandai dengan beberapa rapat koordinasi antara pemerintah daerah dan beberapa menteri terkait untuk kesuksesan program LIN ini.
Hasil kesepakatan dan koordinasi dengan pemerintah pusat ditetapkanlah lokasi pembangunan Ambon New Port dan pelabuhan perikanan beserta kawasan industri di daerah Tulehu Waai, Pulau Ambon. Sejak awal penentuan lokasi dirancang masih di Pulau Ambon dan masih di sekitar ibu kota Provinsi Maluku karena lokasi di daerah Teluk Ambon sudah tidak memungkinkan untuk pengembangan kawasan akibat keterbatasan lahan.
Konsep LIN ini dicanangkan masuk sebagai proyek strategis nasional yang nilai investasinya cukup besar karena akan ada pembangunan pelabuhan laut dan kawasan industri terpadu di kawasan Indonesia Timur, di mana Ambon New Port ini akan dijadikan sebagai pelabuhan hub yang dapat melakukan kegiatan ekspor barang langsung dari Indonesia Timur ke luar negeri. Luas tanah yang dibutuhkan sekitar 900 hektar (ha), tetapi untuk tahap pertama dibebaskan lahan sekitar 200 ha, termasuk untuk industri perikanan seluas 50 ha. Pembangunan kawasan Industri perikanan dan Ambon New Port ini akan menjadikan Maluku sebagai pusat Industri perikanan terbesar di Indonesia Timur yang akan memajukan kawasan, terutama dari sektor perikanan.
Pembangunan kawasan Industri perikanan dan Ambon New Port ini akan menjadikan Maluku sebagai pusat Industri perikanan terbesar di Indonesia Timur.
Banyaknya permasalahan dan kendala yang dihadapi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang pada akhirnya membatalkan Maluku sebagai LIN merupakan suatu kemunduran dalam sebuah rencana besar pemerintah yang mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Menurut penulis, sebaiknya program LIN ini tetap berjalan walaupun dengan skala investasi yang lebih kecil dan bahkan hanya dibutuhkan pengembangan kawasan pelabuhan yang sudah ada demi terlaksananya pembangunan Indonesia timur, khususnya di Maluku, dengan cara memanfaatkan potensi sumber daya ikan (SDI) yang dimiliki wilayah tersebut.
Lumbung ikan nasional secara harfiah dapat diartikan bahwa ketersediaan ikan berlimpah di Maluku, ini tentu berhubungan dengan jumlah dan kapasitas cold storage yang ada di Maluku. Faktanya saat ini jumlah kapasitas cold storage di Provinsi Maluku tidak lebih dari 20.000 ton yang tersebar di beberapa pulau, dan jumlah industri perikanan juga terbatas. Kondisi seperti inilah yang membuat Maluku tidak memperoleh multiplier effect dari sumber daya ikan yang melimpah di perairan Arafura, Laut Banda, Laut Seram, dan Laut Maluku.
Dibutuhkan dukungan pemerintah pusat untuk mencanangkan Maluku sebagai LIN dengan tujuan agar membuat regulasi-regulasi yang harmoni tentang kemudahan dalam berinvestasi di Maluku, termasuk membangun sarana dan prasaran pendukungnya. Terkait rencana pembangunan pelabuhan laut Internasional memang dibutuhkan, tetapi dapat dibangun secara bertahap sesuai kemampuan dana pemerintah dan bukan prioritas utama untuk saat ini.
Potensi terbesar
Maluku memiliki dan dikelilingi tiga wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPPNRI), yaitu WPPNRI 714 di perairan laut Banda, WPPNRI 715 di perairan Maluku dan Laut Seram, serta WPPNRI 718 di perairan Laut Arafura. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017 potensi sumber daya ikan di tiga WPPNRI tersebut mencapai 37 persen dari total potensi perikanan nasional, yaitu sebesar 4.669.030 ton per tahun. Jumlah Tangkapan Diperbolehkan (JTB) atau potensi lestari di perairan sebesar 80 persen dari potensi yang ada, maka peluang penangkapan ikan di tiga WPPNRI tersebut sebanyak 3.735.224 ton per tahun.
Apabila 60 persen dari potensi perikanan lestari tersebut, yaitu sebesar 2.241.135 ton per tahun, dapat dimanfaatkan secara optimal dan semua didaratkan di Maluku, maka secara kuantitatif Maluku sudah menjadi LIN. Estimasi jumlah kapal penangkap ikan ukuran besar (30 GT – 300 GT) atau izin pusat yang dibutuhkan untuk memanfaatkan potensi perikanan Maluku tersebut sebanyak 3.200 unit dan kapal penangkap ikan dengan ukuran kecil (5GT - 30GT) atau izin daerah dibutuhkan sebanyak 13.500 Unit.
Ikan hasil tangkapan yang didaratkan di Maluku akan dipasarkan dengan tujuan pasar lokal/ke Pulau Jawa dan ekspor ke luar negeri. Untuk distribusi ikan dari Maluku setiap tahun dibutuhkan reefer container ukuran 40” kurang lebih 90.000 TEUs per tahun atau reefer container ukuran 20” kurang lebih 150.000 TEUs setiap tahun.
Jumlah reefer container sebanyak ini merupakan peluang tersendiri bagi perusahaan logistik nasional . Selain itu jumlah kapal kargo yang berlayar ke Indonesia Timur juga akan meningkat. Hal ini dengan sendirinya akan menurunkan biaya angkut barang dari Jawa ke Indonesia timur yang selama ini menjadi momok bagi pembangunan di kawasan Indonesia timur.
Baca juga: Aroma Korporasi di Balik Proyek Lumbung Ikan Nasional Maluku
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa potensi perikanan di perairan sekitar Maluku sangat besar. Ini terlihat dari konsep perikanan terukur yang dicanangkan KKP, yaitu pengembangan usaha perikanan berbasis kuota. Dari empat zona penangkapanan ikan terukur yang telah dicanangkan KKP, wilayah perairan Maluku atau zona 3 adalah jumlah kuota yang paling banyak.
KKP ke depan juga membatasi kapal penangkap ikan untuk membawa hasil tangkapannya keluar dari zona penangkapan yang diizinkan. Artinya kapal-kapal ikan yang melakukan penangkapan ikan di perairan Maluku juga harus mendaratkan ikannya di pelabuhan perikanan di Maluku. Saat ini terdapat delapan pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan oleh KKP sebagai tempat pendaratan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPPNRI)718, WPP715, dan WPP714, yaitu empat pelabuhan perikanan di Provinsi Maluku, 2 di Provinsi Papua, 1 di Provinsi Papua Barat, dan 1 di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Selain itu penggunaan anak buah kapal (ABK) di atas kapal penangkap ikan yang berpangkalan di Maluku juga mengharuskan penggunaan sebagian ABK yang bekerja di atas kapal ikan berasal dari masyarakat setempat agar terbuka lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran. Inilah beberapa contoh aturan yang selaras dan dibutuhkan untuk program Maluku sebagai LIN.
Komitmen
Pemerintah daerah dan pemerintah pusat diharapkan mempunyai komitmen yang sama tentang pentingnya LIN ini bagi Indonesia timur, khususnya Provinsi Maluku. Berikut solusi yang bisa direnungkan bersama. Pertama, program Maluku sebagai lumbung ikan nasional tetap dijalankan sesuai dengan konsep awal, yaitu LIN terpusat di PPN Ambon, PPN Tual, serta Pelabuhan Perikanan Swasta di Benjina Kepualauan Aru.
Kedua, pemerintah membentuk badan khusus atau unit kerja koordinasi antarpemerintah yang bertugas untuk pengembangan Maluku sebagai LIN. Ketiga, menjadikan tiga pelabuhan perikanan tersebut sebagai kawasan ekonomi khusus agar diberikan fasilitas atau kemudahan berinvestasi.
Baca juga: Perikanan yang Berkeadilan
Keempat, mewajibkan kapal penangkap ikan untuk mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan pemerintah di Maluku. Kelima, secara bertahap pemerintah pusat membangun pelabuhan laut internasional sebagai hub untuk tujuan ekspor langsung dari Maluku. Keenam, memperbaiki komunikasi dan koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pelaku usaha agar perikanan Maluku maju dan masyarakat Maluku sejahtera.
Pada akhirnya semoga program LIN ini tidak batal dan hanya penundaan atau refocusing program sehingga dengan suksesnya Maluku sebagai LIN nanti akan menguntungkan bagi bangsa dan negara, yaitu terciptanya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari sektor perikanan dan kelautan, meningkatkan pembangunan kawasan Indonesia Timur, meningkatkan pendapatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), meningkatkan devisa, membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir baik dari Maluku maupun dari daerah lain, serta menyejahterakan masyarakat Maluku, khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Danke!
Hengky,Pemerhati Perikanan Tangkap; Pembina Pembina Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU)