Drama korea bisa menjadi acuan untuk meningkatkan kualitas sinetron Indonesia, mulai dari mengadopsi proses produksi drama korea hingga menjadikan Kemenparekraf sebagai tempat inkubasi ide kreatif pekerja sinetron.
Oleh
SUNDARI
·4 menit baca
Sinetron Indonesia sering menuai kritikan terkait alur cerita tak masuk akal hingga episode yang kepanjangan. Menjadi sumber iklan utama, sinema elektronik Tanah Air perlu diperbaiki. Salah satunya dengan mengadaptasi proses produksi siaran drama Korea di televisi Korea Selatan.
Rating share program siaran televisi di Indonesia masih didominasi sinema elektronik. Untuk tanggal 27 Maret 2022, misalnya, delapan dari sepuluh besar masih dikuasai sinetron. Dipimpin ‘Ikatan Cinta’ (6/32.9) dan diikuti ‘Aku Bukan Wanita Pilihan’ (5.9/25.21). Rating share mereka menunjukkan dominasi sinetron sulit dikalahkan.
Namun, kuatnya sinetron dari segi jumlah penonton ini ternyata tak diikuti dengan kualitasnya. Menurut hasil riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode kedua tahun 2021 yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sinetron masih menjadi program siaran kualitas terendah dibandingkan program lain.
Hasil survei menunjukkan banyak sinetron yang masih memuat kata-kata kasar dan mempertontonkan hal-hal yang melanggar norma kesopanan. Sejumlah alur sinetron sering kali tidak masuk akal dengan judul fantastis dan properti yang tak menggambarkan bentuk sebenarnya.
Lambat laun, sinetron Indonesia ditinggalkan penonton. Sinetron hanya jadi tontonan hiburan bagi penonton yang tak punya pilihan tontonan lain. Sementara konsumen yang mempunyai akses memilih menggunakan layanan Video on Demand (VoD) seperti Netflix, Viu, Disney + Hotstar, Plus WeTV, dan layanan lain.
Layanan berbayar tersebut banyak menghadirkan drama Korea Selatan yang ternyata digemari masyarakat Indonesia. Misalnya pada Januari 2022, ada lima drama Korea yang masuk 10 besar Netflix Indonesia. Disney + Hotstar yang mempunyai jumlah penonton terbanyak di Indonesia untuk layanan video streaming berbayar ini pun mengatakan tayangan Korea menjadi unggulan.
Begitu pula dengan VIU, platform VoD yang paling banyak menyajikan drama Korea di Indonesia. Berkat drama Korea pula, Viu menjadi layanan streaming terbanyak jumlah penggunanya menurut AMPD Media Partners Asia. Padahal drama Korea yang disajikan pun sebagian merupakan sinetron di televisi nasional Korea.
Tak mengherankan, drama Korea Selatan menjadi pilihan utama di layanan VoD dibandingkan webseries asal Indonesia. Ini menunjukkan televisi Indonesia perlu berbenah secara konten, terutama sinetronnya, jika menginginkan tetap menarik minat penonton. Meniru proses produksi drama Korea, tanpa menelan mentah-mentah budayanya, menjadi salah satu solusi agar sinetron Indonesia naik kelas.
Drama Korea populer bukan karena para aktornya yang terkenal atau lagu pengiring yang enak didengar, melainkan karena telah membangun industri yang berkelanjutan (Parcmoon, 2013). Aktor yang rupawan dengan akting bagus, setting tempat dan waktu yang enak dipandang mata, tema cerita yang timeless, dan faktor lain diorganisir dengan matang.
Produser memainkan peran untuk mencari investor atau pengiklan yang mau mendanai drama Korea sebelum dibuat. Produser bekerja sama dengan sutradara dan penulis skenario bekerja sama untuk membuat rancangan cerita bagus dan diprediksi menarik penonton. Parcmoon mengatakan jumlah investasi yang besar akan mempengaruhi kualitas drama secara positif, mulai untuk pemilihan aktor, kelengkapan setting, dan lain sebagainya.
Jumlah investasi yang besar akan mempengaruhi kualitas drama secara positif, mulai untuk pemilihan aktor, kelengkapan setting, dan lain sebagainya.
Jumlah episode dan talent menjadi perhatian penting besar tidaknya investasi yang mesti dikeluarkan penyandang dana. Semakin panjang durasi dan episode, maka semakin banyak kru dan talent yang dilibatkan sehingga anggaran semakin membengkak.
Berbeda dengan sinetron, iklan baru masuk setelah serial televisi itu berjalan. Atas nama rating dan dana iklan, episode makin panjang dan berujung kelelahan para pemainnya. Seperti yang dikeluhkan Amanda Manopo terkait naskah cerita ‘Ikatan Cinta’ yang dia anggap tak realistis hingga membuatnya stress (Tribun, 2022).
Perlu regulasi pemerintah
Sekadar menunggu inisiatif dari rumah produksi maupun stasiun televisi, tentu tidak bijak. Pemerintah Indonesia bisa berperan dalam perbaikan sinetron Indonesia seperti yang dilakukan Pemerintah Korea Selatan. Dukungan Pemerintah Korsel dijalankan lewat lembaga resmi pemerintah bernama Korea Creative Content Agency (Kocca) yang menjadi wadah inkubator industri kreatif termasuk drama Korea.
Pemerintah Indonesia bisa meniru dengan menginstruksikan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi tempat inkubasi ide kreatif pekerja sinetron dan film. Proses ini juga melibatkan lembaga lain seperti sekolah seni, pemerintah daerah, hingga KPI untuk memperkuat ekosistem.
Langkah selanjutnya, Pemerintah Indonesi perlu membuat regulasi untuk penyedia VoD yang beroperasi di Tanah Air. Selama ini, penyedia layanan VoD belum diatur pemerintah. Mereka wajib menyediakan kuota minimum konten lokal dan berkolaborasi dengan rumah produksi televisi. Hasil kolaborasi ini bisa disiarkan sebagai sinetron televisi dan series di layanan streaming yang bisa disaksikan konsumen global.
Apabila ini berhasil, kolaborasi ini menjadi lompatan besar bagi sinetron Indonesia untuk mendunia seperti drama Korea Selatan. Tak hanya menyajikan program siaran menghibur, apik, dan layak jual di bidang penyiaran tetapi juga mendorong ekonomi kreatif di Indonesia.
Sundari, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur (KPID Jatim)