Meski dicaci, sinetron-sinetron yang tidak berkualitas mendapat rating tinggi. Selain masih ada "kelemahan peraturan pengawasan", publik bisa dikatakan ikut membantu "melestarikan" sinetron semacam itu.
Oleh
AHMAD HALIM
·4 menit baca
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat pada 2021 merilis hasil riset indeks kualitas program siaran televisi bersama 12 perguruan tinggi. Berdasarkan hasil riset tersebut, indeks rata-rata program sinetron hanya mendapat nilai 2,58 dari nilai standar indeks yang telah ditentukan KPI sebesar 3,00.
Hal tersebut sesungguhnya bukan kali pertama. Berdasarkan data KPI, indeks rata-rata sinertron tidak pernah naik ke angka 3,00. Pada 2020, sinetron hanya mendapat nilai 2,81; pada 2019 hanya 2,53; pada 2018 sebesar 2,28; dan pada 2017 hanya 2,55.
Abainya program sinetron dengan adegan kekerasan, ungkapan kasar, seksualitas, mempertontonkan hal-hal yang melanggar norma kesopanan, kesusilaan, tidak melindungi kepentingan anak dan remaja, lingkungan pendidikan, melecehkan orang, adegan mistik dan supranatural menjadi faktor mengapa nilai indeks sinetron selalu “terjun bebas”.
Namun Ironisnya, meskipun sinetron selalu mendapat predikat program yang memiliki kualitas rendah, ratingnya selalu tinggi. Contoh sinetron Ganteng-Ganteng Srigala (GGS) mendapat rating share 2,7/16,2. Anak Jalanan mendapat rating share tertinggi, yaitu 10,8/44. Sinetron Ikatan Cinta memperoleh rating 14,8 dan audience share 51,5 persen pada 23 Februari 2021. Bahkan, di tanggal 13 April 2021 capaian audience share meningkat menjadi 52,6 persen di episode ke-236.
Pertanyaanya, mengapa lembaga penyiaran lebih mementingkan rating daripada kualitas program? Karena, menurut Morissan (2005), rating merupakan hal yang sangat penting bagi pemasang iklan. Mereka akan selalu mencari stasiun televisi dengan program siaran yang paling banyak ditonton masyarakat sehingga produk mereka dapat diketahui lebih banyak orang.
Oleh karena itu, Production House (PH) sampai hari ini tetap memproduksi program sinetron, dan stasiun televisi akan terus menyantap demi mendongkrak rating dan mendapatkan banyak cuan (iklan). Meskipun risikonya adalah akan mendapat sanksi dari KPI.
Akar masalah
Kita ketahui bersama bahwa, KPI tidak bisa mengawasi seluruh program siaran termasuk sinetron yang belum tayang di lembaga penyiaran berjaringan. KPI baru bisa mengawasi saat program-program yang ada di lembaga penyiaran tayang mengunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya.
Oleh karena itu, dalam menentukan sebuah pelanggaran selain berpegang teguh dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Peraturan KPI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Peraturan KPI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Standar Program Siaran (P3 dan SPS), KPI juga melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan lembaga pemerintah salah satunya adalah Lembaga Sensor Film (LSF).
Dalam peraturan yang dipedomani oleh LSF, yakni Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pedoman dan Kriteria penyensoran, Penggolongan Usia Penonton, dan Penarikan Film dan Iklan Film dari Peredaran persepsi klasifikasi usia itu berbeda dengan persepsi yang ada di peraturan KPI. Kaca mata LSF, klasifikasi usia 17+ adalah dewasa. Namun di peraturan KPI, klasifikasi 18 adalah remaja. Oleh karena itu, meski sudah diberi klasifikasi dewasa oleh LSF, lembaga penyiaran tetap berani menayangkan programnya karena di peraturan KPI berubah menjadi remaja.
Alhasil, adegan syur seorang wanita menindih seorang pria dalam sinetron Buku Harian Seorang Istri “lolos dari regulasi”. KPI dianggap sebagai “pemadam kebakaran” yang baru bekerja setelah melihat api. Publik tidak menyadari bahwa pengawasan KPI itu pasca tayang bukan pra tayang.
Dan ironisnya, sinetron yang menggegerkan publik hingga ada petisi “Hentikan Siaran Sinetorn Buku Harian Seorang Istri” rating-nya cukup tinggi, yakni TVR 1,5 dengan audience share 12,9 persen. Artinya, publik mau tidak mau atau suka tidak suka bisa dikatakan ikut membantu “melestarikan” sinetron semacam itu. Dicaci tetapi ditonton.
Solusi
Sesungguhnya, KPI sudah melakukan berbagai cara agar program sinetron yang tayang di lembaga penyiaran sesuai dengan Pedoman Perilku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Dari mulai mengundang PH dan lembaga penyiaran mendiskusikan tayangan sinetron yang sehat, dan menyamakan persepsi dengan LSF dengan output MoU. Namun, kedua cara tersebut tetap saja tidak mengubah sifat sinetron (kekerasan, seksualitas, ungkapan kasar, tidak melindungi kepentingan anak, melecehkan orang lain, tidak mendidik, mistik, dan supranatural).
Oleh karena itu, ikhtiar KPI dalam menghadirkan siaran yang sehat tinggal bagaimana meyakinkan KPI Daerah untuk sama-sama mengesahkan revisi P3 dan SPS yang pada 2021 tertunda. Dalam draft revisi tersebut ada solusi untuk tayangan sinetron, yakni pada ayat (3) Pasal 40 SPS yang mengatakan “tanda lulus sensor untuk film dan sinetron dengan katagori dewasa atau di atas 17 tahun wajib ditayangkan setelah pukul 21.30 waktu setempat”.
Di ayat selanjutnya dikatakan “tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang tidak serta-merta membuktikan kesesuaian program dengan peraturan ini”. Soal sanksi administratif, juga tidak main-main, yakni dari mulai teguran tertulis, denda (radio Rp 100 juta dan TV Rp 1 miliar), penghentian sementara mata acara, pembatasan durasi dan waktu siaran, penghentian kegiatan siaran, hingga rekomendasi pencabutan izin ke Kominfo (vide Pasal 31 ayat 2).
Semoga di tahun 2022 ini revisi P3 dan SPS yang tertunda pada 2021 bisa segera disahkan melalui forum Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas).