Kesadaran Bertumbuh dan Ekosistem Kreatif bagi Film Indonesia
Perkembangan jagat film bisa dibaratkan layaknya sebuah taman. Apabila ekosistemnya bertumbuh, setiap tanamannya pun akan bertumbuh sehat. Artinya, pertumbuhan film sangat tergantung pada ekosistem yang mendukungnya.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·4 menit baca
Saat ini kita hidup dalam budaya media yang menunjuk pada suatu kondisi ketika tampilan audiovisual (tontonan), seperti film, menjadi utama. Film mampu menghadirkan teknologi ajaib yang mampu merekam dan menyajikan gambar figuratif dalam bentuk obyek-obyek fotografis yang dekat dengan kehidupan manusia. Ia mampu memilah adegan, memfokuskan, membesarkan, dan memperlambat sehingga membuat alih-ubah (transformasi) pengetahuan menjadi lebih mudah dipelajari.
Film menjadi penanda kehadiran teknologi yang memunculkan kultur baru yang menjembatani antara budaya layar dengan budaya penonton modern. Keduanya sebenarnya telah dikenal dalam masyarakat tradisional kita dalam bentuk wayang, seperti wayang kulit dan wayang beber. Keduanya menggunakan layar, sorotan cahaya, dan menghadirkan penonton, serta menyajikan elemen auditif berupa vokal sang dalang, nyanyian sinden, dan iringan gamelan. Tradisi wayang ini menjadi akar kultural yang menumbuhkan budaya layar modern, seperti televisi, layar gawai, film, dan layar bioskop saat ini.
Sejarah sosial
Sebagai elemen perubahan budaya, dalam konteks yang lebih luas, film bisa dibaca sebagai sejarah sosial yang terkait dengan dinamika pemikiran dan basis logika ekspresi suatu kelompok masyarakat. Seperti Loetong Kasaroeng (1926), film bisu pertama yang diproduksi di Hindia Belanda dengan modal dana dari Bupati Bandung Wiranatakusumah V dan ber-setting di Pandeglang, Jawa Barat.
Film ini bukan hanya fiksi dan mengandung aspek hiburan, melainkan menjadi contoh hasil alih wahana mitos tradisional folklor lisan ke dalam media modern mengenai pembayangan konsep tentang ”orang Jawa Barat” (Darmawan, 2017). Film dibangun oleh modal sosial ekonomi serta kesadaran dan kemauan kuat berbagai unsur untuk menyatakan suatu ekspresi dan pemikiran.
Seperti film yang menjadi dasar penetapan Hari Film Nasional 30 Maret, yaitu Darah dan Doa (1950) karya Usmar Ismail. Drama percintaan yang dibalut dalam narasi cerita hijrah pasukan Siliwangi itu bahkan sudah mencoba menggunakan perspektif kritis dalam memandang kemerdekaan Indonesia.
Film-film yang diproduksi di Hindia Belanda pada masanya menjadi wahana masyarakat memproyeksikan diri mereka dalam proses pembayangan untuk menjadi ”Indonesia” secara visual. Dengannya, film menjadi representasi ideologi, antropologi, dan nasionalisme dalam sebuah bangunan logika, konstruksi psikologi, persepsi, dan teori budaya masyarakat melalui teknik sinematografis.
Dalam perkembangannya, mengutip Hikmat Darmawan (2017), lalu muncul film-film yang lebih artikulatif dan ekspresif secara teknis serta tak lagi terpaku pada sebuah teritori budaya yang ajek dan tunggal dalam basis logikanya. Film seperti Laskar Pelangi, Ada Apa Dengan Cinta, dan Ayat-ayat Cinta, misalnya, langgam bahasa dan gaya hidup para tokohnya menampakkan sebuah orientasi naratif yang lebih ekstrovet dengan sirkulasi para tokohnya yang leluasa dan autentik.
Lebih lanjut, Hikmat mengatakan, penjelajahan ornamen lokalitas, seperti penggunaan bahasa daerah, juga muncul dalam film-film Indonesia masa kini, seperti Sokola Rimba, Sang Penari, Ziarah, Siti, atau Yuni, yang mampu menembus jejaring bioskop arus utama. Pemandangan masyarakat kontemporer yang mengangkat narasi-narasi kecil, yang selama Orde Baru terpinggirkan, juga hadir dengan kuat seperti dalam May, Istirahatlah Kata-kata, atau Istri Orang.
Interaksi kultural
Dengannya, film dapat menjadi perangkat strategis dalam interaksi kultural tanpa mengabaikan potensi komersialnya. Keduanya tidak terpisahkan dan saling berkelindan dalam setiap karya film. Adrian Jonathan (2018) menyebut bahwa untuk mencapai tujuan komersial, sineas tidak bisa lepas dari pemanfaatan unsur dan pengelolaan strategi kultural—pemahaman akan subyek, pakem budaya, kebiasaan warga, psikologi penonton, dan sebagainya. Sebaliknya, untuk mewujudkan capaian kultural, sineas tidak bisa lepas dari pemanfaatan unsur dan pengelolaan strategi komersial—perencanaan alur kas, pengedaran, promosi, akses permodalan, dan sebagainya.
Melihat perkembangan dan potensi yang dimilikinya, penting kita pahami bahwa perkembangan jagat film bisa dibaratkan layaknya sebuah taman. Apabila ekosistemnya bertumbuh, setiap tanamannya pun akan bertumbuh sehat. Artinya pertumbuhan film sangat tergantung pada ekosistem yang mendukungnya.
Dari hulu sampai hilir, dari penciptaan sampai distribusi dan ekshibisi film. Hal ini artinya perlu dukungan tersedianya sumber daya manusia yang melekat dalam dunia film, sumber daya ekonomi, sumber daya penonton, kekuatan institusi film, institusi pendidikan, komunitas, dan beragam festival.
Pemerintah menelurkan beberapa program, mulai dari film lab untuk mendukung pembuat film mengolah gagasan, project market yang membantu sebuah proyek film terhubung dengan investor dan jaringan distribusi domestik ataupun internasional, hingga peningkatan investasi konsolidasi kelembagaan sehingga penguatan ekosistemnya jadi lebih efektif (Hilmar Farid, 2021).
Dengannya film kita tumbuh, berkembang, dan belajar menjadi lebih baik dan makin kuat daya kreasi dan narasi artistiknya dengan kreativitas, kualitas, dan kontekstualisasi. Dengan demikian, kita bisa memaknai produk yang dihasilkannya sebagai ”film nasional”, yang lebih fungsional. Film diartikan secara lebih positif: bukan alat propaganda atau ekonomi semata, melainkan juga landasan etis dan estetis untuk membangun ekosistem kreatif bagi daya ekspresi yang menegaskan eksistensi jagat film kita di dunia.
Purnawan Andra, Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek