Marleau-Ponty menyebut bahwa film menjadi suatu kemampuan yang mampu menjembatani cara melihat dunia. Film bukan hanya representasi, melainkan juga pengalaman dan tindakan melihat kenyataan.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·4 menit baca
Kompas
Heryunanto
Membicarakan film berarti berbicara tentang kondisi sosial dan bagaimana film berperan penting merepresentasikan bangsa lewat simbol-simbol yang dihadirkannya dalam ekspresi estetika sinematografi. Film mengungkap fungsi dan sistem tanda budaya untuk bisa menampung dan mewakili beragam permasalahan sosial budaya masyarakatnya.
Marc Ferro, kritikus film asal Perancis, berpendapat bahwa di dalam film terdapat watak yang bukan semata-mata urusan teknis film, melainkan juga kecenderungan yang mewakili representasi dari keyakinan dan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat tempat film dibuat (Eriyanto, 1997).
Film sesungguhnya adalah sebuah bangunan logika, konstruksi psikologis, persepsi, dan teori budaya masyarakat yang berguna untuk lebih memahami Indonesia menjadi media yang relevan untuk mengidentifikasi berbagai problem nasion, khususnya dalam bidang sosio-kultural.
Termutakhir, Festival Film Indonesia (FFI) 2021 menghasilkan film Penyalin Cahaya karya Wregas Bhanuteja sebagai pemenang. Film yang juga beroleh apresiasi positif di festival film Busan yang bergengsi itu mengangkat tema kekerasan seksual yang memang marak terjadi belakangan ini.
Hal ini membuktikan bahwa kenyataan sosial bangsa jika dipotret dengan baik dalam film akan mampu memberi sumbangan penting bagi kehidupan sebuah bangsa.
Seperti dalam FFI kali ini, kisah keluarga banyak dihadirkan sebagai tema. Begitu juga kisah perjuangan perempuan melawan maskulinitas lelaki, konflik kelas dalam dunia kerja hingga usaha mengangkat unsur budaya dan bahasa daerah yang juga memperoleh porsi.
Film mengungkap fungsi dan sistem tanda budaya untuk bisa menampung dan mewakili beragam permasalahan sosial budaya masyarakatnya.
Hal ini membuktikan bahwa film sebagai simbol budaya bisa menampung dan mewakili esensi beragam permasalahan sosial budaya, bahkan mampu menyentuh dan merespons kenyataan di lapangan hingga membuka persepsi baru tentang dunia.
Seturut Sasono (2005), selama ini film kerap dianggap kurang dalam kemampuannya memuat kritik sosial dibandingkan dengan media lainnya dan dianggap sepenuhnya sebagai kendaraan komersial pencari keuntungan.
Padahal, media film sebenarnya memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan media lain dalam melakukan representasi terhadap kenyataan. Jurnalisme mungkin mendasarkan kerjanya pada realitas, tetapi jurnalisme dikendalikan oleh prinsip kelayakan berita yang memenggal realitas itu dalam satuan-satuan kelayakan berita.
Sementara film nyaris tak terbatasi oleh hukum-hukum ekstrinsik macam itu. Ketika pembuat film memilih sebuah tema, maka yang membatasinya adalah hukum-hukum intrinsik film itu sendiri. Dengan pilihan yang nyaris sama luasnya dengan kehidupan itu sendiri, film punya kemungkinan yang tak terbatas.
Lebih lanjut dikatakan, film bisa menjadi kritik sosial karena film, sebagaimana media lain, berpeluang menyumbangkan sesuatu bagi masyarakatnya. Di luar proses produksinya yang sudah sedemikian rumit dan mahal, tanggung jawab film sebagai media dan wahana pengungkapan ekspresi tetap ada. Toh, pesan yang disampaikan dengan baik, akan tetap bisa menghibur.
Dengan produksi yang mahal, sebenarnya tanggung jawab film menjadi lebih lagi. Jika media film digunakan semata-mata untuk bersenang-senang dan tak mampu menangkap sedikit banyak hal yang menjadi elan di masyarakat, hal tersebut tentu merupakan pemborosan.
Adaptasi
Untuk itu, sebagai ajang apresiasi terhadap presentasi karya film di Indonesia, FFI seperti berlangsung 10 November lalu perlu membuktikan dirinya mampu beradaptasi dengan krisis dan tetap menghasilkan kualitas juga kebaruan.
Sebagai anak kandung teknologi, industri dan ekosistem perfilman harus bisa mengoptimalkan teknologi media baru seiring dengan perkembangan zaman.
Seperti dinamika antara layanan streaming over-the-top (OTT) dan bioskop sebagai budaya layar/teater yang mengalami transisi (atau bahkan transformasi) sebagai sebuah keniscayaan dalam perkembangan dunia perfilman di antara pandemi yang terjadi.
TANGKAPAN LAYAR KANAL YOUTUBE KEMENDIKBUD RI
Presiden Joko Widodo saat berfoto bersama pada acara Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) yang digelar di Jakarta, Rabu (10/11/2021) malam.
Marleau-Ponty menyebut bahwa film menjadi suatu kemampuan yang mampu menjembatani cara melihat dunia. Film bukan hanya representasi, melainkan juga pengalaman dan tindakan melihat kenyataan.
Dengannya, kita bisa memandang Indonesia melalui sinema. Indonesia dengan produksi film-film termutakhirnya sebagai sebuah kelompok masyarakat di tengah arus modernitas yang plural, multikultur serta penuh paradoks, yang ditampilkan dalam sosok-sosok gamang di tengah jepitan dua alam: identitas lokal di satu sisi dan arus global di sisi lain.
Film-film tersebut membawa kita masuk ke dalam ruang wacana yang plural. Junaidi (2006) menyebut sebagai repre -sentasi realitas, film bisa menjadi sebuah cara di mana kita bisa mengonstruksikan identitas, memilih media untuk menceritakan diri dan kehidupan kita agar identitas dan makna yang kita inginkan terbentuk.
Dengannya, film bisa berperan membentuk cultural citizenship yang melapisi bentuk kewarganegaraan (hak masyarakat/individu, hak politik, dan hak sosial) dengan hak identitas, hak untuk diakui sebagai bagian dari komunitas yang tak berdasarkan bangsa, tetapi berdasarkan misalnya etnisitas, jender, orientasi seksual, usia, wilayah, dan sebagainya (Hartley, 1999). Hal ini bisa membentuk lanskap sinema Indonesia.
Dengannya, film juga bisa menjadi soft power yang berasal dari kekayaan budaya, nilai-nilai dan kebijakan negara terhadap kondisi sosio-kultural masyarakatnya. Budaya sinema menjadi kekuatan yang mampu memberi daya hidup perkembangan dan memperkuat artikulasi sinema Indonesia dalam konteks yang lebih luas.
ARSIP PRIBADI
Purnawan Andra
Film dalam hal ini bisa menjadi contoh riil dalam kerangka pemikiran cultural engineering yang nyata dalam menyikapi sebuah ”utopia” mengenai sebuah ”kebudayaan Indonesia” (Indonesian culture). Film adalah sebuah logika alternatif pembangunan budaya bangsa.
Purnawan Andra,Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek