Panitia Seleksi Calon Anggota KPI Pusat harus menyeleksi komisioner yang cakap, berani, bersih, dan berintegritas. Selama ini, setiap seleksi komisioner KPI, yang terplilih selalu defisit ahli.
Oleh
FATHORRAHMAN HASBUL
·6 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Seperti sebuah kejutan, tak dinyana Kementerian Komunikasi dan Informatikan (Kemkominfo) beberapa hari ini telah memaklumatkan Panitia Seleksi (Pansel) Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat untuk periode 2022-2025. Dalam formasi ini, Usman Kansong yang merupakan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik ditunjuk sebagai ketua, sedangkan anggotanya antara lain Ahmad Ramli, Rosarita Niken Widiastuti, Alisa Qotrunnada Munawaroh Wahid, Dadang Rahmat Hidayat, Raden Muhammad Samsudin Dajat Hardjakusumah, dan Justisiari Kusumah.
Para bala penyiaran ini secara kualifikasi cukup membahagiakan karena latar belakang mereka yang terampil dan profesional, representasi praktisi media, birokrat, psikolog keluarga, dan akademisi yang secara keseluruhan menjadi alamat positif dalam mata rantai dunia penyiaran. Seperti sebuah bingkai kesatuan penyiaran dari hulu ke hilir; dari soal determinisme teknologi, konten, dan dampak siaran semua sudah terhimpun sempurna.
Becermin pada pansel sebelumnya -tahun 2019 dan 2016- terjadi politik predisposisi yang banyak merugikan kandiat, termasuk para kandidat yang potensial tergajal. Bahkan pada tahun 2013 kapasitan pansel sempat diragukan sehingga investigasi majalah Tempo pada Januari 2014 mencium aroma anyir politik ekonomi kandidat dan pansel yang terintegrasi dengan aktor-aktor bisnis penyiaran secara mesra.
Jika disoal perihal harapan ideal, tentu saja masih sama seperti harapan-harapan tahun sebelumnya. Sebab dari periode ke periode jabatan, tak ada perubahan yang berarti kecuali hanya hiruk-pikuk soal posisi atau paniradya, tetapi absen dalam keseluruhan transformasi baik kelembagaan, sistem, struktur, dan pengawasan konten.
Keterbatasan regulasi kerap menjadi dalih -yang sebetulnya sudah klise- untuk menciptakan insinuasi baru bahwa mereka harus tampak bekerja dan baik-baik saja. Inilah alasan mengapa sekuat pansel baru sedikit memberikan rona adiwarna bagi publik. Meskipun tidak bisa berharap banyak, tetapi isu-isu baru penyiaran bisa kita mulai dari sini.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Ilustrasi: Suasana Evaluasi Dengar Pendapat antara Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dengan salah satu televisi swasta dalam rangka memperpanjang izin penyelenggaraan penyiaran Selasa (17/5/2016) di Jakarta.
Tantangan persisten
Terkait tantangan, isu penyiaran selalu bersifat persisten, tidak jauh berbeda masalahnya, juga penanganannya. Ini terjadi karena KPI nyaris tidak menerapkan skala prioritas sebagai regulator penyiaran, semua yang diorbitkan tak kunjung memuaskan. Dalam konteks program, isu yang diusung selalu mengenai hak dan perlindungan audiens tetapi dampak konkretnya sulit dibuktikan.
Bisa dibayangkan jumlah pengaduaan yang bersumber dari publik sejak 2019 hingga pertengahan 2021 mencapai 1,598 aduan. Jumlah ini sangat besar, dan setiap tahun cenderung meningkat. Artinya perlindungan publik yang idealnya diterapi secara serius, faktanya sedang sekarat bahkan meregang nyawa kritis. Angka pengaduan adalah hujah untuk menegaskan unjuk kerja para komisoner KPI. Bahwa kegelisahan warga terus meluap di tengah prevalensi kerja yang belum optimal.
Jumlah pengaduan juga isyarat paling mendasar bahwa intensi KPI atas kualitas konten televisi tak terlalu membuahkan hasil. Salah satunya adalah program Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang oleh KPI pada mulanya didesain untuk menciptakan formula alternatif bagi industri siaran karena dominasi rating yang lazim seperti rating Nielsen. Program ini terkonsentrasi dalam beberapa kategori meliputi tayangan religi, budaya, komedi, anak, variety show, dan beberapa kategori yang lain.
Jumlah pengaduan juga isyarat paling mendasar bahwa intensi KPI atas kualitas konten televisi tak terlalu membuahkan hasil.
Hasil survei kemudian ‘dihibahkan’ ke industri, tetapi nyatanya konten televisi tetap tak beranjak lebih baik. Dengan anggaran miliaran, program ini secara predikat adalah alternatif, tetapi secara fungsi dan dampak tetap imanen. Artinya, hanya program formalitas biasa yang tak berguna bagi peningkatan kualitas siaran.
Di level infrastruktur, terjadi patahan-patahan serius terhadap beberapa agenda rutin yang dijalankan KPI. Persoalan uji publik perpanjangan izin siaran televisi yang pernah menjadi trendsetter kemudian kalah oleh politik DPR dan industri penyiaran, telah membentuk satu pemahaman bersama bagaimana lembaga independen ini posisinya benar-benar lemah dalam relasinya dengan institusi negara yang lain, dengan industri media, dan lemah dalam relasinya dengan publik.
Bayangkan selain persoalan uji publik, agenda-agenda strategis lain seperti Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) yang harusnya menjadi bahan galian untuk memotret rekam jejak keseluruhan industri penyiaran tak memberikan progres yang mengembirakan. Evaluasi tidak berlajut, dan format acara ini nyaris eksklusif, padahal belum tentu yang mereka undang adalah bagian dari kelompok yang terdampak konten buruk siaran dan terdampak langsung konstruksi fisik industri penyiaran.
Di bilik yang berbeda, problem sumberdaya juga menjadi kendala yang mendasar. Sumberdaya bermuara pada aspek kompetensi dan kepastian prestasi. Untuk konteks yang pertama, seperti telah menjadi ritus bahwa komisioner KPI hanya secuil yang memiliki kompetensi dalam bidang media, komunikasi, dan sejenisnya baik dalam pengalaman kerja maupun pengetahuan yang bisa dibuktikan dalam bentuk karya dan artikulasi. Yang dominan adalah representasi bidang lain yang kebetulan terintegrasi dengan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan ormas yang simplifikasinya lebih berorientasi pada adaptasi interest group dan politik kelembagaan daripada visi ideal tentang kulitas penyiaran yang kompetitif, ultramodern, dan responsible.
Konteks yang kedua, kepastian prestasi juga penting di-highligt pansel. Ini berkaitan dengan komisioner petahana (incumbent) yang dalam rentang waktu kekuasaannya berkinerja tidak optimal tetapi mereka justru memiliki animo yang paling tinggi untuk kembali mencalonkan diri. Pansel perlu mempertimbangkan aspek ini sebab petahana memiliki privilege yang secara administrasi dan tes-tes tertentu mereka bisa dipastikan lolos. Idealnya tak boleh ada kesempatan kedua bagi mereka yang gagal mengemban amanat rakyat dalam bidang penyiaran.
Ihwal ini tidak boleh dianggap remeh, sebab dalam rekrutmen tahun sebelumnya, dari lima petahana yang mencalonkan diri pada tahun 2019, empat di antaranya kembali terpilih, begitu pun pada seleksi periode-periode sebelumnya. Bahkan ‘tragedi’ ini kerapkali terjadi di beberapa KPI Daerah (KPID), seperti KPID Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) misalkan, dari empat komisioner lama yang kembali mencalonkan diri, semua kembali terpilih di periode 2020-2023. Sehingga dalam setiap momen seleksi, senantiasa ada anekdot bahwa KPI secara satire diakronimkan sebagai Komisi Pemilihan Incumbent.
Gimik siaran digital
Di tengah miskinnya ‘kreativitas’ tersebut, tiba-tiba muncul agenda siaran digital melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang pada akhirnya isu ini menjadi kaplingan baru bagi KPI. Meskipun sebenarnya transformasi teknologi ini murni aspek determinisme teknologi baru, yang kebetulan harus direalisasikan daripada sebagai sebuah proposisi kreatif dari kementerian dan lembaga terkait.
Di balik maslahat digitalisasi siaran untuk meningkatkan kualitas transmisi suara dan video serta efisiensi dan diandaikan sebagai pertumbuhan ekonomi baru, posisi KPI sesungguhnya hanya mengantongi peran yang cukup arkais, semacama berputar-putar dalam standar lama; infrastruktur lama, program lama, wewenang lama, dan sanksi lama. Menjadi regulator siaran konvensional saja mereka nir prestasi, bagaimana publik bisa berharap banyak ketika dalam lanskap siaran digital ekosistemnya sangat ekstensif dan kompleks.
Pertanyaannya, apakah tema Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) KPI di Bandung yang bertajuk “Transformasi Penyiaran Era Digital” dibuat karena aktual, atau sekadar gimik? Yang jelas dalam rekrutmen komisioner kali ini isu digitalisasi hampir pasti akan dominan, tetapi jangan sampai isu-isu strategis lain terutama isu-isu yang tak berhasil dilakukan perlu terus didalami oleh pansel.
Digitalisasi secara infrastruktur hanya menjawab soal “griya-griya” teknologi baru, Tetapi soal konten, inovasi, dan sumberdaya duduk persoalannya tidak akan banyak berubah. Pansel harus menjadi prolog yang indah bagi bab-bab strategis penyiaran berikutnya melalui seleksi komisioner yang cakap, berani, bersih, dan berintegritas. Sebab sejauh mata memandang, dalam setiap seleksi komisioner KPI, yang terpilih selalu defisit ahli. Sehingga pansel jangan terlalu mengambil risiko untuk sebuah jabatan yang garis tanggungjawabnya adalah memastikan kekayaan negara di udara. Itu saja.
Fathorrahman Hasbul,Alumnus Magister Ilmu Komunikasi UGM; Direktur Riset di Institute for Political Communication and Media Studies (ICOMS), Jakarta